4. Mari Bersandiwara

3042 Words
Meski seperti hukum tak tertulis, sudah sedari dulu manusia diajarkan untuk fokus pada apa yang bisa dikendalikan, bukan fokus kepada sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Yasmin mencoba menata hatinya kembali. Selama ini, dirinya selalu meyakini bahwa yang terjadi adalah kehendak Tuhan dan itu pastilah yang terbaik. Karena itu, kali ini biarkan bagaimana gadis itu mengatur isi hatinya. Mengedepankan kebencian hanya akan membuatnya semakin tersiksa. Lagi pula, papa mertuanya sudah dihukum dengan rasa bersalahnya selama ini. "Yas, kamu maafin papa, kan?" Pak Ilham kembali bertanya entah ini sampai yang keberapa. Dia hanya ingin memastikan kalau Yasmin benar-benar memaafkannya. Dia hanya takut kalau kemarin Yasmin baik kepadanya karena dia sedang sakit. "Iya, Pak. Tidak ada gunanya juga menyimpan dendam." Sahut Yasmin pelan, menarik tangannya menjauh, tidak nyaman. Pada akhirnya, Pak Ilham bisa tersenyum dengan lebar. Wajah polos menantunya ini seakan-akan berbicara bahwa Yasmin memang tulus sudah memaafkan dirinya. "Terima kasih banyak, lapang sekali hatimu," katanya. "Dan soal pernikahan—" Yasmin diam, tidak tahu-menahu. Oh ayolah, dia hanyalah gadis berusia 18 tahun. Meski dihitung sudah cukup, tetap saja Yasmin tidak mengerti apa-apa tentang pernikahan. Pak Ilham menghela napas panjang, dia tahu kalau sebenarnya Yasmin kecewa, tapi dia berpikir kalau ini adalah keputusan terbaik dari yang paling baik. "Meskipun terkesan cuek, Rama anak yang baik. Papa percaya dia juga bisa menjadi suami yang baik buat kamu. Dia memang begitu dengan orang yang baru dikenal." Orang baru? Yasmin meringis tanpa kentara, menertawai hidupnya sendiri. Nama lengkap suaminya saja dia tidak tahu. Itu bukan lagi orang baru, tapi benar-benar orang asing yang dipaksa hidup bersama. Dan sepertinya tidak akan mudah untuk menjalani pernikahan ini. "Maafkan keegoisan papa karena memaksakan pernikahan ini. Tapi papa tidak punya pilihan lain lagi. Papa ingin ada yang menjagamu. Dan papa hanya bisa percaya dengan anak papa sendiri, Rama." Kata Pak Ilham. Yasmin terdiam cukup lama. Dia tidak tahu apakah ini benar atau salah. Tapi yang pasti, Yasmin merasa perlu untuk mengungkapkan keinginannya. Dia tidak ingin pernikahan yang Pak Ilham ciptakan. "Tidak bisakah berpisah saja? Bapak tidak perlu melakukan semua ini. Saya bisa hidup dengan baik tanpa bantuan. Selama ini saya berkecukupan hidup bersama ayah." Jujur, jika ditanya dari mana Yasmin bisa berkata demikian maka dia pun tidak tahu jawabannya. Yasmin hanyalah gadis yang umurnya saja masih 18 tahun. Dia tidak pernah memikirkan pernikahan apalagi memimpikannya. Kalau lah suatu hari nanti Yasmin akan menikah, dia ingin belajar dulu untuk memperdalam ilmu agamanya agar pernikahannya berkah dunia akhirat. Namun sekarang, jangankan belajar, mau mengambil napas saja rasanya Yasmin harus izin dengan orang-orang baru di sekitarnya. Yasmin belum banyak mengerti. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam hubungan ini. Tidak ada yang mengajarkannya tentang bab pernikahan sama sekali. Pak IIham mematung di tempat, jantungnya mulai memompa darah melewati batas normal lagi sejak Yasmin mengatakan kata bercerai. Seperti kaset rusak, Yasmin yang polos panik sendiri saat melihat Pak Ilham kembali dalam kesakitan. "Tolong!" ujarnya naik satu oktaf, jelas gemetaran. Beruntung Bi Ijah langsung memanggilkan dokter dan Rama ikut masuk bersamanya. Dan setelah menunggu di luar dengan perasaan campur aduk, akhirnya dokter keluar dan mengatakan keadaan Pak Ilham kepada mereka semua. "Tolong jangan membuat Pak Ilham merasa tertekan. Jantungnya dalam kondisi tidak baik untuk saat ini. Semakin dipaksa untuk berpikir keras, kinerja jantungnya juga semakin berat. Tolong pengertiannya, pasien tidak boleh berpikiran berat karena bisa memperburuk keadaannya." Rama mengangguk kaku, "baik, terima kasih, Dok." Yasmin hanya diam menatap Pak Ilham. Dia menjadi merasa bersalah sendiri. Apa iya dia terlalu egois dengan memaksakan kehendaknya. Tapi, apa baik juga jika dia tetap meneruskan pernikahan dadakan ini? Dia takut jika diteruskan malah bertambah rumit. Yasmin hanya ingin menanggulangi semuanya sejak awal dari pada semakin kacau ke depannya. Tapi nyatanya, yang dia harapkan tidak terjadi semestinya. Baru mengatakan begitu saja, Pak Ilham sakit lagi. Karena tak berani melihat ke arah siapapun, Yasmin bergeming di tempat. Hingga terasa sebuah gerakan dan pintu dibuka—tutup, Rama sekali lagi keluar, seperti tadi. Bi Ijah juga turut terdiam di tempat, hanya diam mengamati Yasmin. Beliau merasa kasihan, tapi tak tahu harus melakukan apa yang setidaknya bisa meringankan beban di pundak gadis manis di depannya ini. Yasmin mundur dua langkah, sedikit pening hingga Bi Ijah yang masih segar bugar langsung berjalan pelan untuk menghampiri menantu rumah tempatnya bekerja selama ini, khawatir jika Yasmin sakit. "Non, nggak papa kan?" Menerima tahanan Bi Ijah, Yasmin memegangi tangannya, kemudian dibantu untuk duduk di sofa. "Iya, terima kasih, Bik." "Kalo butuh sesuatu jangan sungkan bilang ke bibik ya non," Hanya anggukan lemah yang Yasmin beri dengan pikiran melanglang buana. Padahal, dua hari yang lalu dia masih disiksa seperti biasa oleh ayahnya sendiri. Rasanya begitu asing, tak ada satupun yang Yasmin kenal. Dalam sekejap mata, dia jadi istri orang diusianya yang baru menginjak 18 tahun. Usia yang sangat muda—menurut pandangannya sendiri. Kalau ini cerita n****+, Yasmin tidak akan mempermasalahkannya, tapi ini hidupnya. Dia sendiri yang menjadi tokoh utama dalam alur cerita ini. Entahlah, Yasmin tak tahu bagaimana alur akan membawanya ke mana. Tapi yang pasti, dia merasa tak bahagia berada di sini. Berada di tengah-tengah orang asing yang menjelma jadi saudara terdekat, bahkan suami. Itu bahkan tak pernah ada dalam mimpinya sekalipun. *** Pagi ini Yasmin tengah berkutat di dapur, membantu Bi Ijah memasak untuk menyambut kedatangan Pak Ilham yang hari ini sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Pak Ilham dirawat kurang lebih 9 hari. Rentang waktu itu, Yasmin selalu mengunjunginya walau hanya di pagi hari. Yasmin anggap waktu yang tersisa memang sengaja Tuhan berikan pada dirinya agar dia bisa berpikir. Semuanya sudah terjadi. Dirinya sudah menikah, itulah yang Yasmin sadari sedari awal. Sekali lagi, menolak pun, tidak akan mengubah kenyataan yang ada. Justru hanya akan menambah sesak di d**a jika Yasmin terus saja menolak semua yang sudah digariskan oleh Tuhan. Waktu yang berlalu pun, Yasmin tak pernah bicara pada Rama sama sekali. Baik Rama maupun Yasmin tak pernah berusaha untuk berbicara. Mereka terlalu canggung dalam satu ruangan berdua. Apalagi Yasmin seperti menyadari kalau Rama juga tidak menginginkan pernikahan ini. Meski tidak tertulis dengan jelas, Yasmin juga bisa merasakannya. Baik dirinya maupun Rama sama-sama tidak nyaman dengan hubungan ini. "Jangan ngalamun, Non. Nanti tangannya terluka!" peringat Bi Ijah dan sukses menyadarkan Yasmin saat itu juga. "Non tau tidak, Non? Sejak Non ada di sini, Bibik merasa ada temennya. Sebelum Non datang, rumah ini seperti rumah hantu. Sepi sekali, bahkan lebih ramai kuburan di kamping Bibi." Ceritanya. Yasmin menyerngitkan keningnya bingung kemudian tersemyum saat mendengar penuturan Bik Ijah. Ada-ada saja, pikirnya. "Tuan pergi pagi buta dan pulang tengah malam. Kalau Den Rama pergi pagi, pulang, dan setelah itu pergi lagi kalau tuan pulang. Mereka seperti tidak ingin bertemu di bawah atap yang sama." jelasnya. Jika tadi Yasmin mendengarkan dengan seksama, kini dia tidak ingin tahu lebih banyak lagi. Dari cerita Bik Ijah, Yasmin seakan menyimpulkan sepihak bahwa sebelum ini, keluarga Pak Ilham tidak bahagia seperti yang dirinya bayangkan. "Non, Non tidak berpikir untuk pergi dari sini, kan?" tanya Bi Ijah hati-hati karena Yasmin diam saja sepanjang ceritanya. Walaupun statusnya di sini hanya asisten rumah tangga, tapi Bi Ijah sudah menganggap keluarga tuannya seperti keluarga sendiri. Apalagi Bi Ijah sebatangkara di sini, tak punya sanak keluarga. Keluarganya ada di kampung semua. Yasmin menerawang jauh ke depan sebelum menjawab pertanyaan Bik Ijah, ada sesak yang merongrong rongga dadanya. "Apa aku bisa pergi?" "Karena kami kaya?" Yasmin dan Bi Ijah kompak menoleh untuk melihat siapa yang bicara. Dan ternyata, orang itu adalah Rama. "Dasar tidak tahu malu!" cibir Rama dan langsung naik ke lantai atas. Gadis ini diam, mencoba mencerna. Tidak tahu malu katanya tadi? Kalau dia bisa menolak, seharusnya dia yang menolak, Yasmin sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menikah waktu itu. Tapi sekarang malah dia yang disalahkan, dimaki-maki di saat Rama pantas untuk mempertanyakan dirinya sendiri—bukan Yasmin. Bi Ijah mengusap bahu Yasmin lembut. "Jangan dengarkan omongan orang yang sedang emosi, Non." Yasmin tersenyum kecil dan mengangguk pasti. Bi Ijah benar, tidak akan ada habisnya jika meladeni orang yang sedang dikuasai amarah. Lagi pula, dia tidak mempermasalahkan omongan Rama sama sekali. Kalau yang dikatakannya tidak benar, kenapa harus marah? Kalau pun benar, Yasmin juga tak perlu menjelaskan apapun kepadanya. "Assalamualaikum." Yasmin dan Bi Ijah kembali menoleh untuk melihat siapa yang datang lagi. Ternyata Pak Ilham sudah pulang. Dia duduk manis di kursi roda yang didorong oleh supirnya. Yasmin langsung menatap atas, di mana kamarnya berada. Bagaimana bisa pemuda itu pergi begitu saja dan membiarkan ayahnya sendiri dibantu orang lain padahal dia tidak ada kesibukan sama sekali. Pak Iiham benar-benar sudah dihukum. Yasmin menghela napas panjang dan berjalan pelan untuk menghampiri Pak Ilham. Tanpa aba-aba, dia langsung mencium tangan papa mertuanya. Pak Ilham terpaku, dia tak percaya dengan apa yang baru saja ia rasakan. Sejak istrinya meninggal, Rama tak pernah mencium tangannya. Dan sekarang, setelah 18 tahun ada yang mencium tangannya lagi. Itupun dari seorang gadis yang sudah ia renggut ibunya. Gadis itu mendongak karena mendengar isakan. Dia bingung melihat papa mertuanya yang menangis tergugu. "Bapak sakit lagi?" tanya Yasmin sedikit khawatir. Pak Ilham menggeleng, "Boleh minta tolong lagi, Nak?" tanya Pak Ilham, Yasmin langsung mengangguk pasti. "Bisa memanggil papa ini, papa?" Ada diam yang tenggelam dalam lamunan. Bicara soal papa, dia merindukan ayahnya. Memang benar selama ini Hendrawan selalu menyiksanya. Tapi tak dipungkiri kalau Yasmin merindukan ayahnya itu. Dia sangat merindukannya. Tak semua hal tentang Hendrawan selalu menyakitkan. Buktinya, ketika Yasmin sakit, Hendrawan merawatnya dengan baik meski disela-sela merawatnya diimbangi dengan dumelan-dumelan kecil. Selama ini dia tak pernah jauh dari ayahnya. Meski peran seorang ayah bisa dibilang tidak ada. Namun Yasmin ambil pendapatnya sendiri bahwa didikan keras ayahnya sebagai bekalnya mengarungi kehidupan. Seperti posisinya saat ini—yang serba salah. Pak Ilham menepuk bahu Yasmin pelan hingga membuat gadis itu tersentak dari lamunannya dan mengangguk pasti. Dan di saat bersamaan, Yasmin bisa dengan jelas melihat air mata jatuh dari pelupuk mata mertuanya ini. Untuk sesaat, Yasmin merasa kalau ada yang mengharapkannya, ada yang bersyukur atas kelahirannya setelah belasan tahun ini dia hanya tahu kebencian orang-orang. Namun kali ini, Tuhan seakan menjawab bahwa semua yang terjadi memang sudah digariskan. Sementara Rama yang memperhatikan dari lantai atas menatap jengah drama yang tengah terjadi. Dia muak. *** Yasmin berjalan gontai memasuki kamarnya saat malam sudah bertahkta. Dan pertama kali yang dia lihat adalah Rama yang tertidur dengan berbagai kertas berserakan di atas ranjang. Perempuan ini menghela napas lemah dan bergegas mengemasi semua kertas. Ya memangnya Yasmin harus bagaimana lagi? Kepalanya pusing melihat ruangan yang berantakan. Jantungnya saja berdebar tidak karuan harus memasuki kamar laki-laki yang bahkan tak dirinya kenal ini. Dan apa iya Yamsin harus membuat drama dengan tidak mau masuk kamar atau tidur di kamar lain. Oh ayolah ini bukan sinetron. Saat mencoba mengambil kertas yang ditindih oleh Rama, Rama pun terjaga dan langsung menatap Yasmin garang. "Ngapain kamu?! Jangan sentuh!" lelaki itu langsung bangkit dan menarik paksa kertas yang Yasmin genggam sampai ada yang sobek. "Mau kamu apa, sih!" dia marah lagi, langsung turun dari ranjang, berdiri, mengusap wajahnya kasar dan menatap Yasmin tajam. "Hanya merapikan saja." bela Yasmin kepada dirinya sendiri. Benar, kan? Kan bisa saja Rama berganti posisi menindih kertas yang lain sampai lecek atau lebih parahnya sobek. Rama tak menggubris pembelaan yang Yasmin berikan, yang ada dia langsung pergi menuju kamar mandi. Lelaki itu berpegangan pada sisi wastafel, menatap datar wajahnya sendiri dari cermin. Saat mengingat pernikahannya dengan Yasmin, kepalanya ingin pecah. Karena tak mau berpikir tentang hal tak berguna seperti itu, Rama bergegas mencuci wajah dan keluar setelahnya. Saat keluar dari kamar mandi, Rama tak mendapati Yasmin dimana pun. Dia tak peduli, bahkan kalau sampai Yasmin kabur pun, dia tak peduli. Akan lebih baik kalau waktu aksi cermin pecah perempuan itu benar-benar mati. Tapi sayang, itu semua tidak terjadi. Perempuan itu masih sehat walafiat sampai sekarang. Rencana Tuhan memang ajaib. Oh Tuhan tolong ampuni pemikiran Rama yang salah kaprah mendoakan istrinya sendiri meninggal. Tak mungkin juga berbagi kamar dengan perempuan asing, Rama memutuskan untuk keluar dari kamar. Ah, bukan dari kamar saja tapi keluar dari rumah lebih tepatnya. Yasmin yang ternyata sembunyi di ruang ganti langsung keluar saat mendengar pintu kamar tertutup keras. Dia menatap nanar pintu yang baru saja digunakan seorang pemuda untuk keluar. Jujur, butuh keberanian besar untuk masuk kamar tadi. Dadanya bergemuruh hebat. Dia takut bertemu dengan Rama, suaminya sendiri. Apalagi di ruangan serba tertutup seperti ini. Gadis ini tak pernah tahu apa yang akan terjadi padanya esok. Dia juga tak tahu bagaimana nasib pernikahannya nanti. Pernikahan yang mereka jalani ini terlalu dini. Yasmin bahkan masih berpikir kalau ini semua hanyalah mimpi. Tapi dia sadar, memang inilah kenyataannya. Terlepas dari itu semua, dia akan mencoba untuk menerima jalan yang ada di depannya. Lagi pula semua sudah terjadi. Tidak dijadikan pemuas napsu saja dia sudah bersyukur. Bahkan harus dilarat, dia dinikahkan secara sah dan ayahnya mengetahui pernikahan ini meski tidak datang pun Yasmin harus bersyukur berkali-kali lipat. Sebenarnya, dia juga bingung harus bersikap bagaimana saat hanya berdua dengan Rama. Ini bukan pernikahan pada umumnya, seperti laki-laki dan perempuan yang saling menyukai, tapi ini justru kebalikannya. Yasmin hanya lah ABG yang semestinya masih hahahihi menikmati masa-masa akhir SMK-nya. Dia sudah bermimpi akan bekerja keras saat PKL nanti. Mengingat SMK, Yasmin jadi rindu kedua temannya. Ingin sekali dia memberi kabar, tapi tak punya alat komunikasi. Entah bagaimana gawainya yang dibawa oleh Imas. Dan mengingat Imas, Yasmin jadi ingat ayahnya. Apa ayahnya tidak khawatir dengan keadaannya sekarang—yang sudah menjadi menantu dari orang yang sudah menabrak istrinya hingga meninggal. Ataukah karena ini Yasmin kian dibenci? Memikirkan semua itu pun sudah membuat Yasmin sangat terluka. *** Suara azan yang begitu merdu membangunkan Yasmin dari tidur panjangnya. Dia langsung menunaikan kewajibannya sebagai seorang Muslim untuk salat. Saat selesai, dia bergegas turun untuk menyiapkan sarapan pagi. Yasmin bersyukur. Selama ini, ayahnya selalu menyuruhnya untuk memasak. Karena itu dia jadi bisa memasak. Bicara soal Rama, Yasmin tak melihatnya sama sekali sejak semalam. Ada rasa syukur yang Yasmin Langitkan. Tapi dia sadar, hari bicara berdua dengan Rama pasti akan datang. Pada akhirnya, Yasmin Kembali menerawang jauh ke depan. Jika di rumah, dia pasti sudah siap untuk berangkat sekolah dengan jalan kaki demi menghemat pengeluaran. Jadi, bersyukurlah kalian yang sekolah masih dibiayai orang tua. Namun sekarang, Yasmin bahkan tak tahu bagaimana caranya keluar dari rumah. "Selamat pagi," sapa Pak Ilham dengan senyum sumringah saat masuk ke dapur. Bi Ijah ikut tersenyum, untuk pertama kali dia melihat tuannya kembali ceria seperti 18 tahun yang lalu. "Pagi," balas Yasmin seadanya. Dia ingin diam saja, tapi takut kalau Pak Ilham tertekan atau bagaimana. Entahlah, semoga gerak-geriknya seperti diawasi, Yasmin merasa tidak leluasa dalam bersikap. "Masak apa, Yas?" "Bubur." Pak Ilham mengerti. "Rama mana?" tanyanya lagi sembari celingak-celinguk mencari keberadaan putranya. Yasmin yang ditanyai terdiam cukup lama, dia mana tahu? Yasmin tak biasa dengan keadaan seperti ini. Dia benar-benar canggung dan tidak tahu harus menjawab apa jika ditanyai soal Rama. "Dia-" "Ada apa, Pa?" tiba-tiba terdengar suara disusul dengan kedatangan Rama dari pintu masuk. Tanpa sadar, Yasmin menghela napasnya lega. Tanpa sengaja, Rama menyelamatkan dirinya dari pertanyaan yang mertuanya lontarkan. Terima kasih untuk Rama. "Dari mana?" tanya Pak Ilham. "Jogging." Rama. "Besok-besok Yasmin diajak keliling kompleks. Ayo sarapan dulu." Yasmin membantu Bi Ijah untuk menata makanan di meja makan segera. Setelah itu mereka makan dalam keheningan. Selesai makan, Yasmin langsung membereskan meja makan. "Jangan pergi dulu!" cegah Pak Ilham saat Rama bangkit dan ingin pergi. Mendapat peringatan seperti itu Rama langsung mendudukkan tubuhnya kembali. "Yasmin sini, Nak." Yasmin yang dipanggil turut menoleh dan bergegas menghampiri papa mertuanya. "Iya?" "Duduk dulu." titah Pak Ilham. Gadis yang memakai kerudung ini tentu saja duduk di samping Rama, memang mau dimana lagi. "Papa tahu kalian berdua tidak nyaman dengan pernikahan ini. Kalian masih sangat muda, apalagi Yasmin. Kamu harus jaga napsu kamu, Ram!" Rama mendelik tak percaya dengan apa yang baru saja papanya katakan. "Dan kamu, Yas." Pak Ilham beralih menatap Yasmin. "Sekarang kamu sudah menjadi seorang istri. Papa menikahkan kalian karena papa percaya anak papa bisa menjaga kamu. Papa mohon, coba buka hati kalian untuk menerima satu sama lain. Papa percaya kalian bisa hidup berdampingan." Rama diam saja karena dia tidak ingin kalau papanya sampai kambuh lagi. Walaupun ada rasa benci dalam dirinya pada sosok papanya ini, tapi Rama masih ada rasa sayang pada papanya. Bagaimanapun juga, papanya tetaplah papanya. Beliau yang membesarkannnya sampai sebesar ini. "Papa istirahat saja, biar aku yang ke kantor!" Kata Rama yang sudah bangkit dan berlalu pergi menuju kamar. Yasmin diam sedari tadi, bahkan saat Rama sudah pergi sekali pun. Dia tak tahu harus bersikap bagaimana. Sekali lagi, dia merasa aneh dengan semua ini. Ada yang mengganjal di hatinya. Dia merasa tak pantas untuk menerima semua perhatian baik ini meskipun dia sebenarnya pantas mendapatkan yang lebih dari ini. Selama ini, dia selalu diperlakukan buruk. Jadi dia bingung harus bagaimana saat ada orang baru yang memperlakukannya sebaik ini. "Yas?" "Ah, iya." perempuan itu gelagapan sendiri, tidak sadar sudah melamun sejak Pak Ilham menerangkan tentang pernikahan mereka. "Susulin suami kamu, siapkan keperluannya pergi ke kantor. Celana, kemeja dan dasi." kata Pak Ilham. "Baik, Pa." Pada akhirnya, Yasmin memang harus bergegas pergi ke kamarnya. Saat masuk, dia tak melihat siapa pun tapi mendengar gemericik air dari kamar mandi. Yasmin langsung membuka lemari. Dia mengambil jurusan tata busana, jadi sekurang-kurangnya dia bisa menilai cocok tidaknya suatu pakaian jika dipakai seseorang. Dia memilihkan kemeja berwarna dark grey dan dasi berwarna hitam senada dengan celananya. Kemudian pintu kamar mandi terbuka. Yasmin menoleh dan mendapati Rama telanjang d**a dengan handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya. Refleks, Yasmin langsung memalingkan wajah. Dia berjalan kaku kemudian meletakkan pakaian yang sudah dipersiapkannya di ranjang dan berlalu pergi. "Tunggu!" cegah Rama saat Yasmin menuju pintu luar. Langkah Yasmin terhenti dengan jantung yang berdetak tak karuan, seolah apa yang akan dikatakan oleh Rama akan menentukan hidup dan matinya. "Bersikaplah layaknya suami istri di depan Papa." Rama menatap punggung Yasmin datar. Hanya itu? Baiklah, tanpa menjawab, Yasmin langsung keluar dari kamar. Rama tak peduli dan mengambil pakaian sendiri di lemari. Tak mau memakai pakaian yang Yasmin pilihkan. Sedangkan Yasmin sendiri memegangi dadanya yang bekerja tak normal. Tadi, dia sempat berpikir yang tidak-tidak. Takut jika diapa-apakan atau mungkin dirinya saja yang terlalu percaya diri. Menurut Yasmin, dirinya masih sangat kecil diumur 18 tahun sudah menikah. Bahkan sudah beberapa saat berlalu pun, Yasmin tidak tahu umur suaminya sendiri. Meresahkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD