3. Yang Terlewatkan

2555 Words
Yasmin menatap sendu jari manisnya yang dilingkari cincin emas putih. Dia sudah menikah, itulah kenyataannya sekarang. Menolak menerima pun tidak akan mengubah kenyataan yang ada. “Non, ayo ganti bajunya. Semua orang sudah menunggu di bawah.” Bi Ijah kembali datang pada Yasmin sembari membawa gaun sederhana tapi bisa dibilang sangat anggun dan elegan. “Bik, aku boleh minta tolong?” Yasmin berujar pelan, dia benar-benar hilang harapan sekarang. Wajahnya begitu sendu, seolah hanya duka yang ada dalam hidupnya. “Tentu saja, pasti bibik bantuin memakai gaunnya.” Yasmin menggeleng, “Bukan itu, Bik.” “Lhah terus?” tanya Bik Ijah lagi, kebingungan sendiri. Yasmin tidak tahu ini salah atau benar, hanya saja, dia tidak ingin terus terjebak seperti ini. Setelah menarik napas panjang dan mengembuskan napasnya perlahan, Yasmin mengutarakan maksud hatinya, “Tolong bantu aku buat kabur dari sini, Bik. Aku tidak ingin hidup bersamanya.” “Ya Allah istigfar, Non!” Bi Ijah mengurut dadanya, terkejut. Dia tak mengira kalau Yasmin meminta permintaan yang tak mungkin bisa ia kabulkan. Bi Ijah tentu tidak memiliki keberanian sebesar itu membawa Yasmin kabur dari sini. Lagi pula, Bi Ijah sudah berpuluh-puluh tahun bekerja bersama tuannya dan dia tahu kala tuannya adalah orang baik. Yasmin sudah memikirkan ini sedari tadi. Sebentar lagi akan gelap, dia tak akan sanggup jika harus bertemu dengan suaminya sendiri. Suami paruh baya yang mungkin saja menjadikan dirinya istri muda yang ke sekian. Tidak! Yasmin tidak mau! Dia tidak bisa membayangkannya. Hingga, siluet mengerikan menari-nari di kepala Yasmin. Gadis itu mencengkeram erat kepalanya. Dia tidak pernah siap dengan pernikahan ini. Yasmin langsung bangkit dari ranjang dan meninju kaca rias dengan tangan kosong begitu saja. Suara kepyaran kaca yang hancur berkeping-keping apalagi melihat Yasmin seperti itu membuat Bi Ijah berteriak takut bukan kepalang. “TUAN! ADEN! TOLONG!” Lantai bawah yang awalnya damai, dihiasi ucapan selamat atas kebahagiaan pernikahan mereka tiba-tiba hening seketika. Suara barang pecah dan teriakan Bi Ijah sampai sana. Kedua orang lelaki yang mendengar teriakan itu saling pandang sejenak dan langsung berlari tergesa-gesa menuju lantai atas. Para tamu bahkan sampai bingung sendiri karena sang tuan rumah panik berlarian seperti itu. Saat sampai di sana, mereka terperangah melihat Yasmin sudah berdarah-darah, ada pecahan kaca yang menancap di jari-jarinya. Tidak, Yasmin mungkin sudah putus asa, tapi dia tidak patah semangat. Dia juga tidak berniat bunuh diri. Entah bagaimana semua terjadi begitu saja. Demi Tuhan Yasmin tidak berniat mengakhiri hidupnya sendiri. Setakut apapun dia dengan manusia, Tuhan lah yang paling pantas untuk dirinya takuti. Hingga akhirnya, perlahan tapi pasti, gadis itu pun perlahan kehilangan kesadaran karena syok melihat tetesan darahnya sendiri. Kalau diperbolehkan berharap, dia berharap ini terakhir kalinya dia berada di rumah ini, setelahnya bisa melarikan diri. Salah satu dari pria tadi sudah berlari sigap menangkap tubuh Yasmin karena di lantai sudah penuh dengan pecahan kaca. Kalau dia membiarkan Yasmin jatuh ke lantai, gadis itu akan terluka lebih banyak lagi tentunya. “Cepat panggilkan dokter keluarga!” teriak lelaki paruh baya yang ditujukan pada Bi Ijah. Bi Ijah tentu saja langsung lari tunggang-langgang untuk melaksanakan tugas dari tuannya. *** Mata sayu itu perlahan terbuka. Tak ada yang berubah. Semuanya masih sama. Dia tetap berada di kamar yang sama. Tiba-tiba air mengalir begitu saja dari pelupuk matanya yang sayu. Dia menyesal karena lepas kendali dan hampir saja melenyapkan dirinya sendiri. Yasmin tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Dia terlalu larut dalam kesedihan sampai melupakan fakta bahwa Tuhan selalu bersama hamba-Nya. Perbuatan tanpa pikir panjang yang dilakukan olehnya tadi tidak seharusnya dilakukan. Meski tanpa sengaja, tindakan melukai diri sendiri tentu saja tidak disukai oleh Tuhan. Gadis ini sadar jika harus instrospeksi diri dan memohon ampun banyak-banyak. Dan sebobrok-bobroknya Yasmin menjadi manusia, dia tidak bercita-cita tinggal di neraka j*****m. Hingga akhirnya, dia menangis karena kesal dengan dirinya sendiri. Menyesal setengah mati sudah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Tuhan. “Ayah,” lirihnya mengiba, berharap ini semua hanya mimpi buruk dan setelah bangun hidupnya akan kembali seperti sedia kala. . “Berhentilah menangis!” tegur sosok bersuara lelaki yang tidak jauh dari posisi Yasmin berada. Yasmin terpaku mendengar suara itu, dadanya bergemuruh hebat. Oh, dia tak akan sanggup kalau dipertemukan dengan lelaki berkepala lima itu lagi, pikirnya. Saking syok-nya, Yasmin bahkan tidak bisa mengingat suara orang padahal sedari kemarin dia selalu mendengarnya. Sambil berusaha melawan pening di kepalanya, Yasmin mencoba bersandar pada kepala ranjang. Saat berhasil, dia memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam, beristigfar dalam hati karena ingat kelakuannya yang terbujuk rayuan setan untuk marah yang berakhir merugikan dirinya sendiri. Astaghfirullah aladzim, maafkan hamba-Mu ini Ya Allah. Baru saja Yasmin merasa damai, lagi-lagi dia harus tertampar kenyataan. “Sudah sadar,” Yasmin mencoba mengatur napasnya yang tidak beratuan. Dia tahu, diam tidak akan mengubah kenyataan. Sebenarnya dia tak yakin dengan apa yang ingin dia katakan tapi ya sudahlah. Dia tak peduli lagi kalau sampai orang di depannya ini melakukan kekerasan. “Untuk apa Anda membeli saya 1 milliar?” “Hmp-apa 1 milliar? Ram, istri kamu ngelindur ya? Kok dari kemarin omongannya ngelantur terus?” orang tua itu terkekeh pelan sedangkan Yasmin menyerngit bingung. Dan tunggu, dia bilang apa tadi? Istri kamu? Ram? Ram siapa? “Bapak suami saya, kan?” Yasmin menatap pria paruh baya di depannya ini penuh tanya. “Sembarangan kalau ngomong. Itu tuh, suami kamu.” Pak tua itu tersenyum, kemudian menunjuk lelaki lain yang tidak jauh dari jendela menggunakan dagunya. Tentu saja Yasmin mengikuti arah yang ditunjuk. Seketika itu juga jantungnya seakan ingin meloncat dari tempatnya. Yasmin tergagap sesekali menatap Rama yang menatapnya datar. “Di-dia? Suami saya?” “Istirahat dulu, ya? Sepertinya bukan tangan kamu yang terluka tapi kepalamu terbentur tadi.” Pak tua itu sudah berancang-ancang untuk pergi tapi Yasmin menahannya. “Jangan!” Beliau tertegun melihat mata Yasmin yang menyiratkan ketakutan mendalam. Ada rasa iba yang membuatnya urung bangkit dan kembali duduk di ujung ranjang. “Ada apa? Ada yang sakit? Kenapa?” tanyanya lembut. “Untuk apa membeli saya satu milliar? Siapa kalian sebenarnya? Say-“ “Berhentilah bicara satu milliar." Karena geram, beliau memotong perkataan Yasmin sekali lagi. "Itu semua tidak ada artinya. Bahkan, jika semua harta yang papa miliki papa berikan untukmu, dosa papa tetap tidak akan hilang, Nak.” Ada haru saat Yasmin mendengar pria di depannya ini menyebut dirinya sendiri seorang papa. Tapi dia tidak mengerti akan maksudya tadi. “Apa maksud, Bapak?” Pria tua yang tak lain bernama Pak Ilham ini menerawang jauh ke depan dan mulai bercerita, membuka kembali luka lamanya yang menyesakkan d**a. “Nama papa Ilham. 18 tahun yang lalu papa menyerempet wanita yang sedang hamil besar. Waktu itu istri papa jantungnya kumat. Papa tidak menolong wanita itu dan tetap melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit. Papa menunggu istri papa bangun dan baru kembali ke lokasi kejadian. Begitu sampai, warga memberi tahu kalau korban dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dan setelah saya mencari tahu, ternyata wanita itu meninggal setelah melahirkan putrinya. Dan putrinya itu—" “Saya!” tebak Yasmin cepat dengan air mata yang sudah tak bisa dia bendung lagi. Dia memang tak pernah tahu bagaimana rupa ibunya. Tapi bibinya pernah bercerita kenapa ibunya sampai bisa meninggal. Ilham tertunduk dalam, “Maafkan papa, Nak. Papa minta maaf.” “Maaf Anda bilang?” Yasmin menatap Pak Ilham tak percaya. “Apa saya harus menerima permintaan maaf Anda jika istri bapak yang ayah saya tabrak?!” Pak Ilham menggeleng, “Papa menyesal dan sekarang ingin memperbaiki segalanya.” “Sekarang? Setelah 18 tahun?” Yasmin tersenyum hambar, “kemana saja Anda selama ini? Dan sekarang Anda muncul seolah menjadi pahlawan dengan membeli saya seharga 1 miliar dan menikahkan saya dengan pemuda yang tidak saya kenal!” “Tolong maafkan papa.” “Akan lebih baik jika saya dijual oleh kakak tiri saya sendiri.” kata Yasmin sembari membuang mukanya. Agaknya dia jijik dengan pria tua di depannya sekarang. “Jangan bicara seperti itu. Sekarang terserah kamu mau melaporkan papa ke polisi atau tidak. Papa sungguh menyesal.” “Untuk apa? Tidak ada gunanya, kan?" Yasmin tersenyum sarkas. "Bapak orang kaya yang bisa dengan mudah membebaskan dirinya sendiri. Bag-bagaimana bisa Bapak hidup tenang setelah menabrak ibu saya? Apa Bapak tahu apa yang kami alami?!” “Maaf.” Iya, hanya kata maaf yang mampu Pak Ilham katakan sedari tadi. Dia tahu dia salah. Tapi selama ini, dia selalu menyewa orang untuk memata-matai keluarga Yasmin. Dan bodohnya dia kecolongan karena tidak tahu kalau selama ini Yasmin disiksa. Beruntung dia bisa menggagalkan niat busuk kakak tiri Yasmin. Dan soal pernikahan itu, memang betul dia memaksa Rama untuk menikahi Yasmin. Lagipula status Rama tidak dengan siapa-siapa. Dia pikir semua keputusannya sudah benar tapi ternyata tidak semulus itu.. Yasmin tak habis pikir dengan apa yang baru dia alami. Dijual, nikah paksa, kehilangan kendali, dan sekarang kenyataan tentang kematian ibunya. Dia merasa sedang dipermainkan takdir. Apa hidupnya seperti mainan bagi orang lain? Tidak tahu kah lelaki di depannya saat ini kalau dirinya disiksa lahir batin oleh ayahnya sendiri gara-gara menganggapnya sebagai penyebab kematian ibunya sendiri. Percayalah, tidak akan ada yang mau dilahirkan seperti Yasmin. Menjadi seorang piatu tepat setelah dilahirkan. Bahkan banyak yang berpikiran kalau lebih baik tidak dilahirkan di dunia daripada harus melayangan nyawa seorang bidadari. Yasmin percaya bidadarinya masuk surga, karena Allah sudah menjamin itu. Tapi tetap saja dia tidak menyangka. “Maafkan papa. Papa melakukan ini semua karena papa peduli denganmu.” ungkap Pak Ilham lagi. Sedangkan Yasmin sendiri tersenyum sinis, tak mengerti lagi jalan pikiran pria tua di depannya. Peduli dari mananya? “Untuk apa pernikahan ini? Untuk membuat saya semakin tersiksa?” tanya Yasmin kemudian. “Tidak." Pak Ilham menggeleng tegas. "Papa hanya ingin ada yang menjagamu. Papa tidak mau ada yang melukai kamu lagi, Yas.” “Lalu Anda pikir pernikahan ini tidak menyakiti saya? Apa ada yang bertanya lebih dulu apa yang saya inginkan? Apakah ada yang bertanya apa yang saya mau? Tidak! Semua orang sama saja, egois! Kalian melakukan apa yang kalian anggap benar tanpa tahu itu memang benar atau tidak untuk saya!" Yasmin berusaha turun dari ranjang. Muak nian terus bertahan di tempat dan posisinya sekarang. “Mau ke mana?” tanya Pak Ilham panik. “Pergi dari sini.” Seru Yasmin dingin. Pak Ilham sudah mencengkeram kuat d**a kirinya yang mendadak sakit. “Papa!” Rama yang semula diam langsung memekik kencang, sudah berjalan cepat dan memegangi papanya yang kesakitan. Yasmin terpaku menatap pria tua yang sedari tadi dihujatnya tiba-tiba terlihat kesakitan, apalagi wajahnya pucat pasi seperti itu. Menakutkan sekali. “BI IJAH, TOLONG!” Teriakan Rama menggelora seantero kamar. Tak selang lama Bi Ijah datang dan membantu Rama memapah papanya munuju rumah sakit. Terakhir kali keadaaan jantung papanya memang tidak baik. Dia tidak bisa mengambil risiko dengan menunggu dokter datang. Yasmin kembali terduduk. Air matanya lolos begitu saja. Dia tak menyangka kalau diumurnya yang ke-18 tahun akan serumit ini. Harusnya dia masih hahahihi dengan teman-temannya untuk membahas mau lanjut kerja atau kuliah dimana atau paling tidak membahas perpisahan yang indah dan menyakitkan di waktu yang bersamaan. Oh Tuhan, kenapa harus semenyakitkan ini. Yasmin terduduk di samping ranjang dan menangis hebat di sana. Dia tak pernah mengira kalau hidupnya akan seperti ini. Ya Allah, aku mau sama Ayah... Mau pulang, Yah... Tolong jemput *** Yasmin terbangun saat merasakan panggilan dan usapan lembut di bahunya. Dia mengerjapkan matanya perlahan, mencoba beradaptasi dengan cahaya yang menyilaukan matanya. Sampai dia benar-benar sadar “Non, kita harus ke rumah sakit. Tuan menanyakan Non terus.” kata Bik Ijah lemah lembut. “Kenapa aku harus, Bik?” tanya Yasmin yang sudah sadar akan daratan. Jujur, Bi Ijah mendengar semua pengakuan tuannya tadi. Dia bukan bermaksud menguping, tapi memang suaranya sampai keluar kamar. “Bibik tidak mau membela siapa-siapa di sini, Non. Bibik sudah bekerja dengan tuan selama 25 tahun. Sejak Den Rama lahir, nyonya sering sakit-sakitan. Dan tuan paling tidak bisa kalau melihat istrinya menderita. Hari itu nyonya ambruk saat bermain dengan Den Rama. Tuan panik dan membawa nyonya ke rumah sakit. Malamnya tuan pulang, dia menangis dan bercerita kalau sudah membunuh seorang wanita yang sedang hamil besar. Setelah tiga hari, nyonya berpulang. Tuan menyalahkan dirinya sendiri bahkan sampai sekarang. Bibik tahu, tidak seharusnya bibik mengatakan semua ini, tapi bibik harus mengatakannya agar Non Yasmin tidak salah paham. Selama ini, tuan selalu menyewa orang untuk memata-matai Non, itu benar. Tuan juga suka cerita tentang Non Yasmin, sudah dianggap seperti putrinya sendiri. Bukan bermaksud apa-apa, tapi beliau melakukan semua ini hanya ingin tahu kalau keadaan, Non, baik-baik saja. Soal kematian mamanya Non Yasmin, tuan selalu mengirim uang setiap bulannya untuk ayah, Non. Dia mengira kalau Non hidup baik-baik saja. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Ternyata selama ini Non Yasmin disiksa. Dan malam itu tuan bertengkar hebat dengan Den Rama. Den Rama menentang keras permintaan tuan. Tuan meminta Den Rama untuk menikahi Non Yasmin, dengan tujuan supaya ada yang menjaga, Non. Karena jantung tuan kumat lagi dan Den Rama akhirnya setuju." Bik IIjah menyudahi ceritanya dan melihat Yasmin penuh harapan setelahnya. “Kenapa harus menikahkan paksa, Bik. Tidak harus dengan pernikahan bukan. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Seharusnya dia datang untuk minta maaf sama Ayah.” Yasmin menangis tergugu lagi, matanya sampai bertambah sembab. Bibik yang tak tega langsung memeluk nyonya barunya itu erat. “Yang sabar, Non. Allah tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan hamba-Nya. Kalau Allah mendatangkan ujian ini, berarti Non Yasmin kuat menjalaninya. Serahkah semuanya sama Allah, Non. Allah tidak tidur. Dia selalu mendengarkan doa hamba-Nya.” “Sekarang Non ganti baju ya, bibik tunggu di luar. Non harus ke rumah sakit.” Yasmin menghapus air matanya. Dia menurut dan bergegas menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Tentu saja pakaian yang sudah Bik Ijah siapkan, Yasmin sendiri tak tahu itu baju siapa. Saat di kamar mandi, Yasmin menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Dia meringis menatap dirinya sendiri yang menyedihkan. Sangat menyedihkan. *** Yasmin berjalan beriringan dengan Bi Ijah saat sampai di rumah sakit. Dia menunduk, tidak ingin menjadi pusat perhatian karena matanya yang sembab parah. Dia memang buruk saat menangis. Matanya itu mudah sekali sembab. Akan sulit berbohong. “Ini Non ruangannya, tuan.” Bik Ijah mempersilahkan sambil menunjuk ruangannya Pak Ilham. Menarik napas sejenak, perlahan Yasmin masuk ke dalam ruangan itu. Dia bisa melihat pria tua yang sekarang menjabat sebagai papa mertuanya tengah terbujur tak berdaya di ranjang rumah sakit dengan alat bantu pernapasan. “Yas-min,” pangilnya begitu semangat. Begitu senang orang yang paling dirinya tunggu betulan menghampirinya. Mau tak mau, Yasmin lantas mendekat. Dia bisa melihat papa mertuanya ingin mengatakan sesuatu, karena itu dia mendekatkan kepalanya. “Ma-af. Ma-afin pa-pa.” katanya terbata. Menatap pria tak berdaya di depannya ini kosong. Namun, dia menganggukkan kepalanya dan Pak Ilham langsung terisak dalam tangisan. 18 tahun berlalu tapi lukanya seperti baru kemarin dan itu sangatlah menyiksanya. Yasmin menarik napas, dia tidak mau ikut menangis. Mungkin benar jika Yasmin sempat terpukul mendengar kenyataan yang sebenarnya. Tapi dia mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Dia menepuk pundak Pak Ilham dan karena itu juga tangisan Pak Ilham semakin menjadi-jadi. Dengan memaafkan dirinya sendiri, Yasmin juga akan memaafkan Pak Ilham. Mencoba melapangkan hati, "Papa boleh izin peluk, Nak?" Yasmin diam terpaku, tapi belum sempat mengiyakan Pak Ilham lebih dulu mendekap erat tangannya, memohon. "Ampuni Papa." Rama yang sedari tadi diam mengamati memalingkan wajah sejenak sebelum akhirnya memutuskan keluar. Dia tidak pernah mengharapkan hari ini terjadi. Tidak pernah
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD