Bab 14 Sebuah Titik Terang

1104 Words
"Tunggu sebentar, Sella!" Sella menghentikan langkahnya ketika salah seorang perempuan tidak dikenal memanggil. Dia menoleh malas, karena yakin perempuan itu hanya gerombolan satu genk dengan Rosy. Namun, harapan agar namanya bisa dibersihkan membuat Sella memaksakan diri untuk bertahan. "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, ada perempuan memakai Hoodie abu-abu, masuk ke ruangan dosen. Ketika aku intip, dia meletakkan sebuah surat. Aku tidak yakin siapa dia. Aku hanya ingin memastikan bahwa ...." "Yang jelas itu bukan aku," tegas Sella membantah. "Aku tidak pernah memiliki Hoodie, apalagi warnanya abu-abu." Sella memutar tubuhnya, menoleh pada Rosy kembali. Dia mengingat kembali, sahabatnya itu suka sekali mengenakan Hoodie dan favoritnya merupakan warna abu-abu. Rosy bercerita kalau itu salah satu kenangan bersama ayahnya. Hati Sella teramat kecewa dengan penilaiannya terhadap Rosy. "Kau menuduhku, Sella?" cetus Rosy tatkala mendapat serangan kekecewaan itu dari sorot mata sang sahabat. "Pak Irvandi mengundurkan diri dua minggu setelah surat itu tersebar dan itu atas namamu, Sella." "Apa kau bisa memberikan alamat pak Irvandi? Atau nomor telepon yang bisa dihubungi?" tukas Sella, begitu mendapat titik terang atas serangan yang bertubi-tubi padanya pada zaman kuliah. "Aku ingin mendapat konfirmasi langsung dari beliau." Perempuan itu tersenyum lalu mengangguk. Kemudian menyerahkan secarik kartu nama seorang laki-laki yang bernama Irvandi Lu. "Terima kasih," sahut Sella, merasa sangat terbantu dengan keberadaan perempuan itu. Dia meyakini sekarang, bahwa yang ingin membersihkan nama bukanlah dirinya sendiri, tetapi banyak orang. Sella berjalan lagi menuju ke meja tempat Rosy dan teman-temannya berkumpul. Dia bersedekap tangan dan mulai bergaya laksana perempuan berkelas yang tidak sudi diinjak-injak. Semua orang menatap ke arahnya. "Akan aku buktikan kalau tulisan tangan yang disebarkan atas namaku, merupakan tulisan orang jahat yang ada di antara kalian. Perempuan yang ada dalam foto pun, mencoba untuk menutupi aibnya dengan menyeret nama orang lain. Tapi, ingat. Tidak ada kejahatan yang sempurna, karena waktu yang akan menjawabnya," tutur Sella seraya melayangkan tatapannya ke semua teman masa kuliahnya lalu berbalik pergi. Sella benar-benar meninggalkan tempat itu. Sesampai di persimpangan jalan, Sella melihat Erick berdiri di samping mobilnya. Tentu saja, pria itu menatap kedatangannya, seolah telah menunggunya mendekat. Sella tersenyum simpul, berjalan lebih cepat agar pria itu tidak bosan menunggu. "Apa semua terkontrol dengan baik?" tanyanya seraya membukakan pintu untuk Sella. "Mungkin. Setidaknya aku tidak dipermalukan seperti yang dulu terjadi," jawab Sella seraya menundukkan wajahnya. "Ayo masuk, sepertinya aku mendengar suara perut kerongkongan." Sella menoleh ke arah Erick. Pipinya merah padam saat mendapati pria itu menahan senyuman. Sella menyembunyikan senyumannya saat memasuki mobil lalu duduk di jok samping sopir begitu Erick mempersilakan. "Makan di mana?" Erick segera menyalakan mesin mobilnya lalu mengemudikannya. Malam belum terlalu larut, dia masih ingin bersama Sella untuk beberapa jam ke depan. "Mana saja, yang penting perutku kenyang," jawab Sella, mengamati keindahan kota dari sela-sela jendela kaca. "Apa ada sesuatu yang kau temukan?" "Oh, kau mengingatkanku pada ini." Sella mengeluarkan sebuah kartu nama. Dosen yang dulu menjadi korban juga atas fitnah yang menimpanya. Sella menjadi merasa bersalah, karena tidak menyangka tulisan yang dulu dianggap miliknya, membuat pria itu terseret ke dalamnya. Erick menarik kartu itu dari tangan Sella. Membaca sekilas nama dan alamatnya. Lalu menyerahkannya kembali pada Sella sambil tersenyum. Tentu saja, dia tahu perasaan tidak nyaman kini dihadapi Sella. "Kau butuh bantuanku?" tanyanya dengan wajah datar. "Kau bahkan belum mengambil bantuan dariku, tapi ...." "Belum waktunya bagimu, mungkin setelah ini aku akan menggunakan hakku untuk meminta bantuanmu," ujar Erick membawa angin segar dari dalam diri Sella. "Kau bisa membantuku mempertemukan aku dengan dia?" Tatapan Sella menunjukkan harapan yang besar. "Bisa. Akan aku atur pertemuannya." "Terima kasih." "Hmm." Erick mengangguk samar. Sella dan Erick makan malam bersama. Banyak yang diceritakan Sella, terutama tentang Moris dan Rosy yang menjadi dalang atas semua masalahnya di masa kuliah. Erick bisa merasakan betapa kecewanya Sella. Persahabatan yang dianggap sempurna, bahkan Rosy dianggap sebagai saudara sendiri, nyatanya memiliki hati seburuk itu. Erick hanya bisa menyimak dalam diam. "Aku tidak tahu, siapa lagi yang bisa aku percayai," gumam Sella sedih. "Dirimu sendiri, tentunya," kata Erick pelan. "Bahkan, aku sendiri tidak tahu kalau sebenarnya di sekitarku banyak orang yang tidak tulus ketika berteman." "Yang penting orang itu bukan aku. Aku tulus membantumu." Erick berkilah. "Tidak mungkin, tandanya kau memintaku untuk jadi tunangan kontrak?" Sella mendesis lirih, tetapi malah ditanggapi Erick dengan senyuman misterius. "Aku melakukan itu untuk melindungimu. Kau pikir aku mengambil keuntungan apa? Larangan kontak fisik sudah kau tambahkan dalam pasal persetujuannya, bukan?" "Itu ...." Sella memberengut, tapi segera tersipu malu saat menyadari bahwa memang apa yang dikatakan Erick ada benarnya. Erick tidak mendapat keuntungan dari fisiknya dengan pernikahan kontrak ini. Aku akan mengantarmu pulang dan pastikan kau mulai memikirkan tempat pindah agar mantanmu itu tidak membuat keributan lagi," pinta Erick, terdengar seperti memerintah. "Aku belum punya pandangan, pindah ke mana." "Ke rumahku saja, bagaimana?" tawar Erick terdengar lebih serius dari sekadar memintanya pindah rumah. "Ti-tidak. Aku memikirkan untuk pindah ke kontrakan lain aja, selagi menunggu rumahku laku," jawab Sella dengan tatapan cemas. Tentu saja, Erick tertawa kecil melihat betapa paniknya Sella menanggapi tawarannya. Dia merasa perempuan satu ini cukup unik dan itulah kenapa dia menyukai karakternya. "Aku tadi salah bicara," ucap Erick kemudian. "Apanya yang salah?" "Maksudnya tinggal di sebelah rumahku. Kebetulan ada yang menyewakan, hanya berjarak beberapa meter dan yang pasti bersebelahan pagarnya," ungkap Erick menjelaskan. "Apakah mahal? Aku tidak berniat menghabiskan tabunganku hanya untuk menghindari Moris dan Rosy. Setidaknya, bukan seperti itu cara mainnya," ungkap Sella, berpikir lebih kritis dari sekadar menghindari pertemuan dengan Moris. Karena baginya, pria itu tetaplah belum mau menerima keputusannya untuk berpisah. "Tidak mahal. Aku pastikan itu." "Akan aku pertimbangkan lagi. Sambil jalan." "Oke, jangan berpikiran terlalu lama. Ingat, semakin cepat, maka banyak yang berhasil kau selamatkan." Sella mengangguk lalu fokus menatap lagi ke depan. Pekerjaannya masih ada satu lagi, bertemu dengan Rony. Dia masih sangat penasaran, isi dari surat yang ditulis atas namanya itu bentuknya seperti apa. Sella merasa sangat penasaran, seburuk apa isinya, sampai semua orang melecehkannya seperti itu. Sella pamit turun lalu memasuki rumah. Tidak lupa dia mengunci pintunya dari dalam. Ingatannya kembali pada sosok Rosy, di mana dia memiliki akses mudah memasuki rumahnya. Keputusan untuk pindah rumah pun dirasakan Sella sebagai jalan yang harus ditempuh. Bunyi notifikasi pesan masuk. Sella yang sedang mengganti pakaiannya pun menoleh pada ponsel yang tergeletak di atas meja. Nomer asing, Sella tidak mengenalinya. Meskipun kurang yakin, dia tetap membuka isi pesan karena merasa cukup penasaran. "Ini, Rony." Jantung Sella berdegup, merasa tidak percaya laki-laki yang terus saja mencecarnya di pesta Elsa mendapat nomernya dengan mudah. Hati-hati Sella membalas agar tidak terkesan menunggu. "Hai, Rony. Cepat sekali kau mendapat nomorku," sapa Sella membalas pesan dari Rony. "Hm, aku dapat nomormu dari Elsa. Bisakah kita bertemu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD