Bab 4 Tepat Waktu

1204 Words
Sella berdeham masih dalam posisi berdiri di pinggiran meja, saat dua manusia pengkhianat itu tidak menyadari kedatangannya. Seperti yang dia duga sebelumnya, Moris dan Rosy segera mendongak, tidak lupa menampakkan kekagetan atas kedatangannya tanpa suara. Buru-buru keduanya saling memisahkan diri, tersenyum menyambut Sella dengan wajah gelagapan. Mungkin dulu dirinya tidak pernah memperhatikan beberapa kejanggalan itu. Namun, sekarang Sella paham, bahwa sebenarnya Rosy telah mencoba mendapatkan perhatian Moris sejak pertama mereka dia perkenalkan. "Kau sudah datang?" sambut Moris seraya berdiri, tidak lupa menarik kursi untuk Sella lalu melayaninya untuk duduk. "Aku baru saja, kok," sahut Sella santai. Adegan ini sangat berbeda dengan yang terjadi dulu, ketika beberapa kali dia meminta maaf atas keterlambatan, tanpa melihat ekspresi Moris dan Rosy—saling memberikan kode kemesraan melalui tangannya. "Aku sudah memesankan menu favoritmu," cetus Rosy, mencoba untuk eksis setelah merasa dianggap tidak ada di antara Sella dan Moris. "Menu apa?" toleh Sella sambil tersenyum. Mau bagaimanapun, dia tidak boleh bertingkah aneh, karena itu bisa membuat semua orang curiga. "Kepiting pedas saus kacang," jawab Rosy tersenyum lebar, tidak lupa mengalihkan pandangannya pada Moris yang menatapnya takjub. "Kau tahu makanan favorit Sella? Wow, kau memang teman terbaik," puji pria itu, melemparkan tatapan bangga pada Rosy tentu saja. "Sella sangat beruntung memiliki sahabat perhatian sepertimu." Rosy tersenyum kikuk. Perempuan itu langsung menundukkan wajahnya, seolah-olah pujian itu sangat berharga baginya. Sella melengos, merasa muak sendiri melihat adegan itu. Perempuan yang sejak kecil dianggapnya sahabat itu benar-benar mencoba untuk mendapatkan perhatian juga dari kekasihnya. Sella tahu, Rosy ingin mendapatkan semua miliknya, tidak terkecuali Moris. "Aku alergi kacang. Sepertinya kau salah mengingat itu makanan favoritku atau Moris deh," tukas Sella sambil meletakkan tasnya. Dia sama sekali tidak menoleh ke arah Rosy. Dia tahu, saat ini wajah perempuan itu semerah kepiting rebus, setelah menyadari sudah keceplosan. "Ah, itu ...." Rosy menatap sendu ke arah Moris. Tentu saja, ekspresi itu membuat pria itu seakan tidak berdaya menghadapinya. "Oh, kukira makanan favorit kita sama," sahut Moris pada Sella. "Biasanya kamu tidak pernah mempermasalahkan apa pun yang dipesankan temanmu." "Tentu saja, makanan kalian berdua yang sama," balas Sella, menatap dua manusia di hadapannya sambil tersenyum. "Maafkan aku, Sell," ucap Rosy dengan tatapan sendu, ciri khas perempuan itu setiap kali menginginkan sesuatu darinya. Benar-benar ekspresi yang kini dipahami Sella sebagai sesuatu yang memuakkan. Bila dulu dia selalu terjebak untuk menjaga perasaan Rosy dengan melakukan apapun setiap perempuan itu merengek padanya. Kini, Sella tidak akan sudi lagi. "Tidak mengapa. Nikmati saja makanan kalian," tukas Sella seraya mengambil ponselnya dari dalam tas—terdengar panggilan masuk. Rosy dan Moris saling bertatapan. Mereka merasa ada yang tidak beres pada Sella. Namun, tidak berani mempertanyakan. Malam ini mereka juga sudah memesan menu paling mahal dan orang yang akan dibebankan bagian pembayaran pastilah Sella. "Hallo, Selamat malam, Pak." Sella mengangkat panggilan telepon setelah meminta izin waktu pada keduanya. "Apa kau ada waktu untuk bertemu sekarang?" jawab seorang pria dari seberang. "Oh, tentu saja. Saya akan segera datang. Kebetulan, saya hanya berada di sekitar situ." Sella menjawab seraya menarik tasnya dari atas kursi. Kepanikan pun melanda Rosy dan Moris. Mau bagaimanapun, keberadaan Sella sangat penting bagi mereka. Apalagi di tanggal tua seperti sekarang. Kebutuhan uang dari perempuan satu itu begitu berharga. "K-kau mau ke mana?" cegah Moris saat Sella mulai menarik kursinya. "Aku harus pergi. Pak Erick memanggil." Sella menampakkan senyuman penuh arti pada Moris. Ketenangan yang tidak pernah dilihatnya dalam diri Sella membuat pria itu terkesiap. Penampilan Sella malam ini memang mulai berbeda. "Emangnya Pak Erick malam-malam begini mau ngurus kerjaan apa lagi?" gerutu Rosy, menampakkan semburat wajah ketegangan pada dirinya. Sella pun mengingat acara makan malam ini sebagai hari di mana dia menguras sebagian besar tabungan miliknya. Bahkan, uang yang sedianya untuk DP mobil dan cicilan rumah baru pun harus dia relakan, demi membayar makanan mahal yang mereka pesan. Sella tidak sudi diperalat seperti itu lagi. "Aku tidak tahu. Katanya sangat penting. Jadi, aku pergi dulu, ya," pamit Sella seraya melambaikan tangan. "T-tapi, Sell!" panggil Rosy dengan suara amat ketus. Perempuan itu memperlihatkan rasa marah dan jengkel. Sella bisa merasakan aura itu. Bagian dari trik yang membuatnya selalu mengalah. Lagi-lagi, situasi yang dibenci Sella selama ini. "Kenapa? Kalian makan berdua saja. Aku juga belum pesan makanan, bukan?" tukas Sella, mengalihkan pandangan ke arah Moris, setelah melihat pria itu menatap bingung padanya. "Kami sudah pesan banyak makanan. Tidak mungkin dihabiskan kami berdua saja," sahut Moris, mencoba untuk menahan kepergian Sella. Rencananya malam ini Rosy dan Moris akan berpesta, makan enak. Namun, jelas hanya Sella yang mampu mewujudkan ini. Mereka tidak mau mengeluarkan biaya setiap kali datang bertiga. "Ya, siapa yang suruh kalian pesan makanan sebelum aku datang?" balas Sella santai. Dia masih mempertahankan senyuman hangat. Meskipun, hatinya cukup sakit, ketika mengingat waktu itu dirinya sangat bersyukur karena dua orang ini disangkanya sangat perhatian. Memesankan makanan, seolah-olah tidak ingin dirinya kelamaan menunggu. "Tahu gitu, aku tidak sudi memesankan makanan untukmu, Sell!" Lagi-lagi Rosy berkata dengan suara ketus. "Jangan, lain kali biarkan aku sendiri yang memesan menu kesukaanku. Tidak semua yang kamu sukai, aku pun menyukainya, Rosy," sahut Sella seraya berjalan meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi ke belakang. Dia berjalan meninggalkan restoran sambil tersenyum geli. Alangkah indahnya melihat dua orang itu kelabakan membayar semua tagihan. "Aku akan menentangmu, Rosy. Tidak semua yang kamu inginkan, aku harus memenuhinya," tukas Sella berbicara dalam hati. Sella berjalan menuju ke trotoar lalu menyetop taksi yang melintas. Erick mengirim pesan lagi, sepertinya tidak sabar menunggunya terlalu lama. Sella menggerutu dalam hati. Mengingat berkas pernikahan kontrak yang ditawarkan pria itu bahkan belum dia tanda tangani. "Sebenarnya apa maumu, Pak Erick," gumam Sella resah. Sella merasa belum mengenal sosok pria itu seperti apa. Asal-usulnya saja tidak tahu. Dia merasa penasaran, apa yang melandasi pria itu sehingga harus membantunya menjauhkan diri dari Moris dan Rosy di dalam kehidupan kedua ini. "Selamat malam," sapa Sella, begitu turun dari taksi, pria itu berjalan ke arahnya untuk menyambut. Tatapannya dingin, seperti cuaca malam ini. Namun, perawakan tinggi dengan bahu lebar menawarkan kesan bahwa pria itu sebenarnya mampu memberikan pelukan yang hangat. Sella bahkan harus menggeleng samar, demi bisa mengenyahkan bayangan romantis itu dari dalam pikirannya. "Kau berada di sekitar sini?" ucap pria itu, menirukan kalimat Sella saat dia menelpon tadi. "Tapi ini bahkan lebih dari lima belas menit." "Oh, itu." Sella tersenyum lebar. "Aku sedang terjebak membayar makan malam Moris dan Rosy. Jadi ...." "Kau memanfaatkan aku, padahal penawaranku belum kau beri kepastian?" sahut pria itu seraya memberikan tatapan masam kepada Sella. "Sebenarnya aku tidak ingin, tapi kau menghubungiku di waktu yang tepat. Mau bagaimana lagi?" balas Sella, masih menunjukkan senyuman manis pada bibirnya. Erick hanya bisa menatap wajah perempuan di hadapannya dalam diam. Benar-benar tidak menyangka, kini harapannya bisa saling mengobrol seperti ini bisa jadi kenyataan. "Kita bicara di dalam. Cuacanya sangat dingin," ajak pria itu seraya berjalan lebih dulu. Di depan sana terdapat Restoran Jepang. Sella mengingat pernah masuk ke sana, saat dirinya dipermalukan Rosy dalam cara ulang tahun salah satu atasan. Sella menghentikan langkahnya tepat di depan pintu. Demi mengenang kejadian yang harusnya terjadi dua tahun lagi. "Kau kenapa?" toleh Erick, tatkala merasakan Sella tidak menyusul langkahnya, masuk ke dalam restoran. "Kenapa kau ingin menolongku? Aku harus tahu, dengan siapa sebenarnya aku berhubungan," tukas Sella, seraya menatap Erick dengan tatapan penuh keseriusan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD