Bab 5 Bermain Manipulatif

1248 Words
Dua jam sepeninggal Sella dari restoran. Rosy dan Moris tampak sudah selesai makan. Pria itu berpamitan ke toilet untuk mengecek dompet dan terpaksa menggunakan kartu kreditnya, yang sebenarnya sudah hampir mencapai limit. Dalam hati, Moris merasa sangat jengkel karena Sella sudah melakukan tindakan yang tidak biasa, ditambah Rosy ternyata ketinggalan dompetnya. Moris merasa sangat sial tanpa Sella di sisinya. ''Dia terlihat sangat manis dan gagah?" gumam Rosy dengan tatapan kagum. Apalagi saat Mors mengatakan akan membayar sendiri semua tagihan makan malam mereka, hati Rosy dibuat berbunga-bunga. Kekasih sahabatnya itu memang layak dijadikan pasangan idaman. Rosy bangkit dari kursi begitu melihat Moris keluar dari lorong toilet. Melihat pria itu dari kejauhan menawarkan aura ketampanan yang belum disadari Rosy sebelumnya. Timbul niatan Rosy untuk mendapatkan apa yang dimiliki Sella, termasuk Moris. "Harusnya pria seperti dirimu tidak bersanding dengan wanita aneh seperti Sella," batin Rosy sambil bersedekap tangan. Namun, dia sadar jika ingin mendapatkan pria seperti Moris, tentu dia harus mampu terlihat lebih unggul daripada Sella. "Kau sudah lama menunggu?" Moris berjalan menghampiri. Tidak ketinggalan menunjukkan senyuman manis dan menawan seperti dia biasanya. Rosy membalas senyuman, tidak lupa menambahkan gerakan mengaitkan ujung rambut poninya pada daun telinga. Sebuah gerakan khas yang sebenarnya menjadi andalan Rosy sejak remaja. "Apa kau serius akan membayar tagihannya sendiri? Aku sebenarnya sangat tidak enak." "Tidak masalah, sungguh," sahut Moris seraya mengibaskan kedua tangannya. "Kalau saja Sella tidak buru-buru pergi, aku pasti akan meminta kartu kreditnya dulu," ucap Rosy dengan gaya seolah semua yang terjadi atas kesalahan Sella. "Iya, lain kali pastikan untuk melakukan itu sebelum mengizinkannya untuk meninggalkan kita," sahut Moris sependapat dengan Rosy. "Baiklah, kau bayar dulu tagihannya. Aku akan menunggumu di ujung sana," ucap Rosy seraya meyipitkan matanya, tentu gerakan rayuan itu ditambahkan saat dirinya memberikan senyumanya pada Moris. Rosy segera meninggalkan Moris, berjalan melewatinya dengan gerakan kaki dan pinggul dibuat semenarik mungkin. Tentu saja, Moris terpancing untuk melihat gerakan indah itu sampai melongo. Bahkan sampai Rosy berdiri menunggunya di ujung ruang, barulah dia tersadar dan fokus ke arah kasir untuk membayar. Moris mengantarkan Rosy pulang. Beberapa kali dia pernah melakukannya. Itulah kenapa dia bisa tahu di mana tempat tinggal Rosy tanpa meminta alamatnya. Rosy terlihat menjaga sikap dengan berusaha duduk tenang tanpa mengajak bicara Moris. Dia ingin memberikan kesan kalem pada Moris, sama seperti Sella yang menjadi tipe ideal pria itu kenapa memilih memacari wanita seperti Sella. "Lumayan lengang, ya," ucap Moris begitu membelokkan kendaraannya ke arah jalan raya. Tampak kanan dan kiri bangunan megah tengah kota yang dihiasi temaram lampu warna-warni. Beberapa pusat perbelanjaan berjejer dipenuhi orang-orang, begitu juga dengan beberapa restoran mewah yang menyediakan fasilitas kenyamanan bagi pengunjung yang datang. "Tunggu!" Rosy berteriak keras. Tangannya mengisyaratkan untuk memperlambat laju kendaraan pada Moris. Tentu saja secara spontan Moris melakukan apa yang diminta Rosy. Padahal dia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan sahabat kekasihnya itu. "Coba lihat ke seberang sana!" pinta Rosy seraya menurunkan kaca mobil di sampingnya. "Ada apa?" Moris mencoba semakin memperlambat laju kendaraannya setelah memastikan berada di jalur yang aman. Rosy menatap Moris lalu mengalihkan tatapannya ke arah sepasang pria dan wanita yang sedang berjalan bersandingan dari restoran menuju ke arah mobil. Tampak pria itu membukakan pintu untuk sang wanita. Moris mengenalinya sebagai Sella dan Erick. Namun, backgroung restoran mewah yang membelakangi mereka yang membuat raut wajah pria itu berubah sangat menakutkan. Tentu saja Rosy sangat menyukai momen seperti ini. Sella yang selama ini tidak memiliki kecacatan, kini kebusukannya terkuak di depan mata Moris sendiri. Rosy pun bersorak dalam hati. "Sepertinya mereka habi berkencan, bukan bertemu karena pekerjaan," ucap Rosy, mencoba memanaskan situasi, yang diyakini Rosy sebenarnya sudah cukup menyulut emosi pria itu. "Hubungi ponselnya," pinta pria itu seraya menepikan mobil. Rosy memberikan senyuman saat menarik ponselnya dari dalam tas lalu mulai melakukan panggilan ke kontak Sella. Sesuai yang diharapkan, Sella menolak panggilan, meskipun dia mencobanya berkali-kali. "Dia tidak mau mengangkat panggilanku," ujar Rosy seraya memasukkan lagi ponselnya ke dalam tas. "Benar-benar!" Moris memukul setir kemudi dengan tatapan gelap. Rosy bisa merasakan peningkatan amarah itu melebihi ekspektasinya. Rasanya sangat puas melihat drama seperti ini hadir di depan matanya. Maka tugasnya kini menjadi peri penolong yang bisa saja sangat dibutuhkan Moris ke depannya. "Kita pulang saja. Percuma kamu menyayangi perempuan seperti dia," ungkap Rosy seraya menutup kaca jendela bagiannya, yang artinya menyudahi semuanya. "Maksudmu?" Tatapan Moris mulai menunjukkan ketenangan. Pria itu mulai menjalankan kendaraannya, meninggalkan lokasi. "Lho, bukankah sudah jadi rahasia umum, seperti apa Sella semasa kuliah?" Mata Rosy menyipit, memberikan suguhan seolah terdapat rahasia besar dalam diri Sella yang tidak diketahui siapa pun. Mors pun berubah sangat antusias dalam mendengarkan penuturan Rosy. "Aku tinggal satu kos dengan Sella saat kuliah. Kami sama-sama perantauan sebagai mahasiswi." "Kau mau menceritakan tentang apa?' Moris sesekali menoleh ke arah Rosy. Dia benar-benar merasa penasaran dengan kisah hidup Sella di masa sekolah. "Dia dan aku sama-sama dari keluarga miskin. Ibunya bahkan sudah meninggal sejak dia masih kecil. Dan ayahnya pun meninggal karena serangan jantung, beberapa bulan setelah kami wisuda." "Oya?" sambung Moris kaget. "Iya, setelah tahu tentang kelakuan Sella demi mendapatkan nilai bagus di semua mata kuliah," lanjut Rosy dengan tatapan meyakinkan. "Memangnya apa yang dilakukan Sella, sampai membuat ayahnya jantungan?' "Jangan polos, Moris. Kau memang pria yang sangat baik, sampai tidak bisa memikirkan kenakalan apa yang dilakukan perempuan demi bisa mendapatkan apa yang mereka mau," tukas Rosy seraya tertawa kecil. Kening Moris pun berkerut dalam. Dia belum memahami apa yang dimaksud Rosy tetang tingkah polah kekasihnya di masa lalu. "Seperti yang kau lihat barusan. Penyakit Sella kambuh. Dia menggoda setiap pria yang menurutnya bisa memuluskan kepentingannya, termasuk karier. Ah, seperti pak Erick misalnya," tambah Rosy, seraya menyunggingkan senyuman tipis ke arah Moris. Tangan Moris terkepal erat mendengar cerita yang disampaikan wanita yang merupakan teman baik Sella itu. Darahnya langsung mendidih, apalagi saat ini memang sepertinya Sella mulai menjauhinya, dan memanfaatkan kesempatan untuk bersama Erick, pria yang memiliki jabatan di atasnya. "Aku kasihan padamu, Moris. Kenapa melabuhkan cintamu untuk perempuan selevel dengan Sella." "Kukira dia wanita yang baik." Moris menggeleng tidak percaya. "Itu sudah keturunan sih, karena yang aku tahu ... Sella juga hasil dari perselingkuhan orang tuanya." Mata Moris membulat kaget. Dia tidak menyangka Sella memiliki latar belakang keluarga seburuk itu. Rosy pun segera turun dari mobil begitu mobil Moris berhenti di depan rumahnya. Dia merasa sudah cukup membuat Moris terprovokasi atas cerita yang dia suguhkan. "Kau tidak ingin mampir minum dulu di dalam?" tawar Rosy seraya menurunkan kepalanya, agar bisa melihat wajah Moris dari luar. "Lain kali saja. Aku masih ada urusan dengan Sella," tolak Moris seraya menjalankan mobilnya. Rosy bersedekap tangan, tertawa lepas saat melihat mobil Moris sudah tidak terlihat. Hatinya sangat puas, setidaknya Sella tidak boleh semudah itu mendapatkan perhatian dari dua laki-laki sekaligus, terutama sekelas Erick dan Moris. "Pecundang tidak akan pernah jadi pemenang," batin Rosy seraya membalik badan, memasuki rumah. Bayangan indah kebersamaan bersama pria malam ini harus dikuburnya kuat-kuat. "Sudah berapa tahun ya, aku tidak lagi bercinta," gumamnya seraya melemparkan tas ke arah sofa. "Mungkin kau duluan saja malam ini, Sella. Kurelakan sementara Moris untukmu malam ini ," ucap Rosy lagi sambil tergelak, menampakkan semburat misteri yang hanya jadi rahasianya sendiri. Moris langsung menuju ke rumah Sella. Tampak lengang, karena pemiliknya belum pulang. Dia memilih untuk memarkir agak jauh lalu menunggu Sella di samping pintu. Kebetulan, keberadaan lampu berada di ujung teras dan terdapat ranting pepohonan di sekitarnya, sehingga keberadaanya tidak begitu terlihat dalam keremangan. "Selama ini kau terlihat sangat lugu, ternyata lebih busuk dari para wanita malam," desis Moris, menampakkan aura harimau yang siap menerkam buruan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD