Berpisah

1073 Words
Aku sadar saat kita pergi dari pulau cinta maka hubungan ini akan berakhir. Ya, aku harus sadar kita berbeda, walau nanti kami kembali menjadi orang asing tapi aku tidak akan pernah melupakannya. Keinginan kecilku sudah terwujud, merasakan honey moon yang tidak biasa. Tapi ini bukan akhir dari kisahku, tapi ini adalah awal dari semuanya. *** “Sasya.” “Ya, ada apa?” Jun Hee menatapku. Kaca mata hitam  menghalangiku untuk menatap matanya. Aku tidak tahu bagaimana dia memandangku saat ini, yang jelas ia memanggil namaku dengan lembut. “Boleh aku meminta nomor ponselmu?” tanya Jun Hee. Tidak ada nada keraguan dari suaranya. Jun Hee sangat tegas dan berwibawa. “Ini.”  Kuserahkan kartu namaku padanya. Jun Hee menyimpannya di dompet, ia pun mengeluarkan sebuah kartu dan memberikannya untukku. “Aku harap suatu hari nanti kita bisa bertemu,” kata Jun Hee.  Aku mengangguk. Hari ini kami harus berpisah, Jun Hee akan kembali ke negaranya dan aku harus kembali ke duniaku. Kami tidak tahu apakah suatu saat nanti akan dipertemukan lagi atau tidak. Pertemuan singkat ini sangat membekas untukku. *** “Mana oleh-oleh untukku?” tanya Raya saat pantatku baru saja duduk di mobilnya. Raya yang akan mengantarku kembali ke apartemen sederhana yang kutinggali selama setahun ini. “Ini.” Aku memberinya sebuah gantungan kunci yang kubeli di perjalanan pulang. Aku tidak mengerti kenapa tertarik dengan gantungan kunci kayu itu.Mungkin karena unik dan imut. “Hanya ini?” Raya cemberut sepertinya dia ingin hadiah yang lebih bagus, tapi sayang aku bukan orang yang suka belanja, jadi kalau tidak mood ya malas belanja. “Aku bahkan sempat berpikir jika kau akan memberikan produk lokal yang khas,” ujar Raya. Aku merasa bersalah telah mematahkan angan sahabatku yang terlalu berharap. Bagaimana aku bisa berbelanja kalau Jun Hee tidak mengajakku untuk shopping. Aku tidak mau merepotkan pria itu hanya untuk menungguku berbelanja. Aku yakin Jun Hee pun tidak keberatan jika aku ingin berhenti di sebuah toko pernak-pernik.Tapi kami harus kembali ke bandara tepat waktu. “Bagaimana kalau malam ini aku traktir makan di café, anggap saja sebagai perayaan kedatanganku.” Raya menggeleng. Sekarang  aku tahu apa yang ada dipikirannya. “Bagaimana kalau makan di restaurant korea?” tawarku. “Aku setuju,” ujarnya. Raya tidak pernah berubah selalu bisa merampok uangku dengan cara yang halus. Tapi dia teman yang baik walau sifatnya kadang menyebalkan. Kami bisa sedekat ini karena bicaranya yang ceplas-ceplos dan jujur. Raya temanku satu-satunya yang membuat aku merasakan teman yang sesungguhnya. Bukan teman bayangan. “Inget jam 8 malam,” kata Raya sebelum pergi dengan mobilnya. “Dasar,giliran dapat traktiran terus saja diingetin.” Tiga hari cukup membuatku rindu dengan kamar sederhana ini. Meski kecil tapi aku nyaman. Perjuanganku untuk mendapatkan kamar sederhana ini tidak mudah, banyak perjuangan yang aku lalui. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur. Entah kenapa aku teringat pada Jun Hee. Walau dia memberiku kartu namanya tapi aku tidak berani menghubunginya terlebih dulu. Bukan gengsi tapi aku tahu posisiku bukan siapa-siapa baginya. Kami hanya bertemu sebentar dan berpisah begitu saja. Sangat miris. Suara ponsel mengagetkanku. Aku segera mencari ponselku dan sayangnya aku lupa menaruhnya di mana. Setelah lama mencari ponsel itu ternyata ada di bawah bantal. Aku bernapas lega. Dua panggilan tidak terjawab dari Hiro Tanaka. Bos pelit namun perhatian. Aku sedikit kecewa bukan Jun Hee yang menghubungiku tapi Hiro. Untuk apa juga pria itu menelepon sore-sore, lagi pula aku masih punya cuti sampai besok. “Halo,” sapaku saat menerima panggilannya. “Buka e-mail mu. Dari tadi aku diteror terus,” keluhnya. “Diteror? Sama siapa?” “Sudah buka saja email mu dan kau tahu siapa pelakunya.” Sambungan terpetus, bahkan aku tidak sempat mengucapkan salam penutup atau sampai jumpa dan basa-basi lainnya. Ini salah satu kebiasaan Hiro yang paling menyebalkan saat kami berkomunikasi. Aku penasaran siapa yang berani meneror pria galak seperti Hiro yang membuatnya terus menghubungiku. Dalam sekejap aku tahu siapa orang itu. Song Jun Hee. Dia mengirimiku sebuah pesan. Rasanya ingin berteriak dan loncat-loncat saat tmembuka pesan itu. Hai, sedang apa? Apa aku mengganggu? Pertanyaan yang klise, tapi sanggup membuatku melayang. Aku merasa seperti remaja yang baru mengenal cinta. Aku seperti ditarik ke masa SMA, zaman di mana hanya ada ponsel kecil yang hanya bisa dipakai untuk berkirim pesan dan menelepon. Sangat kuno. Kau tidak menggangguku. Tapi mengganggu Hiro, dia mengeluh padaku. Aku menatap laptopku terus menerus. Rasanya tidak ingin berpaling sedikit pun. Tidak sabar menunggu balasan dari Jun Hee. Apa ini yang dia rasakan saat menunggu balasan dari pesanku? Tidak heran kalau Jun Hee meneror Hiro karena aku pun ingin melakukan hal yang sama sekarang. Benarkah? Apa yang dia katakan? Apa sesuatu yang buruk? Sederetan kalimat itu membuatku melayang. Perasaan ini tidak pernah aku rasakan saat bersama Jun Hee selama tiga hari. Ini terasa mendebarkan. Tanganku bahkan gemetar untuk membalas pesannya. Dia mengeluh diteror dan menyuruhku membuka email. Hanya itu. Aku setia menunggu balasan dari Jun Hee saat pesan itu terkirim. Bahkan aku enggan beranjak dari depan laptop hanya untuk sekadar mandi. Suara ketukan pintu membuatku kesal, siapa yang bertamu di saat seperti ini? Mengganggu saja. “Iya, sebentar,” teriakku sambil mengikat rambut. Raya menatapku dari atas sampai bawah saat aku membuka pintu. “Kau mau makan malam dengan pakaian seperti itu?” Raya menunjuk penampilanku yang memakai kaos dan celana sama seperti sore tadi. Bahkan aku belum mandi karena asik berbalas pesan. “Aku lupa. Aku mandi dulu.” Aku langsung berlari saat melihat Raya akan mengomel. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi kusempatkan untuk melihat laptopku. Ternyata Jun Hee belum membalas pesanku. Mungkin dia kelelahan dan tertidur.  “Cepet banget mandinya. Pasti cuma cuci muka saja,” tebak Raya. “Enak saja. Kamu kira aku jorok gak mandi?” kuambil tas dan ponsel yang ada di atas meja. “Yuk, berangkat.” Malam itu kami makan di sebuah restaurant korea yang berada tidak jauh dari apartemenku.   Kami duduk di meja dekat tembok. Aku dan Raya tidak suka mencari tempat duduk yang ada di tengah-tegah. Seorang pelayan menghampiri kami dan mencatat pesanan. Saat aku tersenyum mengucapkan terima kasih pada pelayan itu tanpa sengaja aku melihat Kevin dan Raina masuk ke dalam restaurant. Aku memalingkan wajah. Kenapa di saat seperti ini mereka harus muncul. Terutama Kevin. Aku jadi takut dengannya. “Apa yang harus aku lakukan?” “Kamu bilang apa sih? Jangan bisik-bisik dong,” kata Raya.  Aku meoleh dan tersneyum pada Raya. Aku belum menceritakan pengalamanku pada Raya selama honeymoon. Jika Raya tahu masalahku dengan Kevin dan Raina pasti dia akan marah. “Sasya Kamila?” Tubuhku menegang saat sebuah suara menyapaku. Aku tidak mau menoleh tapi kepalaku otomatis menatap dua orang yang tidak ingin aku lihat.   “Aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini,” ujar Raina sambil memeluk erat lengan Kevin. Aku menatap Kevin sekilas. Pria itu hanya diam menatapku.  Apa dia marah? Aku merasa takut jika Kevin menaruh dendam padaku dan Jun Hee, tapi aku rasa pria itu masih punya pikiran untuk merenungi kesalahannya. Aku menatap Raina dan Kevin secara bergantian. “Dunia sangat sempit,” ujarku dengan senyum paksa. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD