Entah sudah berapa lama aku tertidur hingga aku lupa apa penyebab aku bisa sampai di tempat yang sangat aku benci yaitu rumah sakit. Aku langsung bangun dan menatap sekitar ruangan serba putih dengan aroma obat-obatan. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi semalam.
Sekarang aku sudah ingat apa yang terjadi dan memutuskan untuk langsung pergi dari sini sebelum banyak yang mengenali wajahku. Bagaimana pun kondisiku, pantang bagiku berada di sini karena pekerjaanku meskipun kondisi tubuhku masih lemah.
"b******n itu berhasil menjebakku, dia menusuk perutku. Lihat saja nanti, aku akan membalasnya dengan lebih menyakitkan."
Jika orang lain akan merintih kesakitan saat melepas paksa infus di tangan maka tidak denganku, rasa sakit itu sudah hilang sejak aku menjadi pembunuh bayaran. Aku pun langsung turun dari brankar dan keluar dari ruangan dengan langkah pelan karena baru saja mendapat perawatan.
"Pak!"
"Tunggu, Pak."
"Anda belum sehat sepenuhnya!"
"Anda harus beristirahat, Pak!"
Aku tak mempedulikan teriakan suster yang melihat aku sudah berjalan dan keluar dari ruanganku. Dia berlari dan mengejarku dari belakang lalu menggenggam pergelangan tanganku untuk menahan dia.
Aku langsung menghempaskan tangan suster itu dan lanjut berjalan. Ingin rasanya aku menembak kepala suster itu karena tak tahan dengan suara teriakannya yang berisik dan membuat aku jadi pusat perhatian. Namun sayangnya banyak orang di sini yang akan melihat rencana kejamku itu.
"Penjaga, tahan pasien pria itu!"
"Berhenti, Pak."
Para penjaga di pintu depan langsung menghadang jalanku dengan berdiri di depanku. Suster itu pun menghela nafas lega karena aku berhasil dihentikan, dia menghampiriku dan bicara padaku.
"Wanita yang membawamu ke sini sangat khawatir dengan kondisimu sampai dia pingsan. Namun kau malah membahayakan hidupmu sendiri dengan pergi dan tak mendengarkan perkataan saya sebagai suster yang merawat Anda."
Keningku mengerut bingung saat tahu ada wanita yang membawaku ke sini, namun aku langsung memasang wajah datar lagi seakan tak terpengaruh akan omelan suster itu.
"Jangan berusaha mengatur saya jika kalian ingin tetap hidup."
Suster dan penjaga itu langsung terkejut dan takut mendengar ancamanku, apalagi ketika aku memberikan tatapan menghunus ke arah mereka seakan siap menghabisi mereka jika masih menghadang jalanku.
Penjaga itu pun langsung menyingkir dari jalanku dan suster itu tak berani lagi untuk berteriak mencegahku. Aku hampir saja sudah keluar dari rumah sakit jika saja tanganku tak ditarik hingga tubuhku berbalik badan dan menghadap wanita cantik yang wajahnya terasa tak asing di mataku. Ya, aku baru ingat jika dia pengidap Charley Horse itu.
Aku hendak mengancam wanita itu lagi namun aku terkejut saat dia tiba-tiba memeluk tubuhku dengan erat hingga aku tahu jika dia bahagia mengetahui aku masih hidup.
"Maaf karena telah menabrakmu. Aku bersyukur dan senang karena kau akhirnya sembuh. Tolong tinggal sejenak di rumah sakit sampai kondisimu benar-benar pulih atau aku akan terus merasa bersalah."
"Namun aku tidak peduli."
Aku langsung mendorong tubuh wanita itu hingga pelukannya terlepas dan tubuhnya menjauh dariku. Dia terlihat tak menyangka jika aku bisa berlaku kasar pada wanita. Aku tak suka disentuh oleh kaum wanita itu, aku benci kaum hawa. Menurutku mereka menjijikkan dengan segudang perlakuan buruk mereka, kecuali ibu pantiku dulu.
"Kau pasti marah karena kejadian itu, aku mengerti dan paham reaksimu saat ini. Jika kau ingin pergi, setidaknya ambil uang ini untuk pengobatanmu, aku tahu ini tak sopan memberikan uang sebagai ucapan maaf namun kau tidak mau terus di rumah sakit."
Dia mengulurkan sepuluh lembar uang kertas berwarna merah dan aku pun mengambilnya lalu melemparnya ke wajah cantik itu. Dia mulai terlihat kesal dan marah saat perlakuanku sudah mulai kurang ajar dan tak sopan.
"Aku tak butuh uangmu. Jangan pernah bicara dan bertemu lagi denganku. Aku bisa sial bertemu orang cacat mulu!"
Aku menatap mengejek padanya saat ingat siaran televisi tentang kondisinya dan kejadian di kedai kopi, pasti sekarang dia sakit hati dengan ucapanku. Aku pun langsung berbalik badan dan hendak berjalan keluar dari pintu rumah sakit namun langkahku terhenti ketika mendengar ucapannya.
"Aku mungkin cacat fisik. Namun kau cacat hati hingga tak bisa mengerti jika tidak ada yang mau memiliki fisik sepertiku, ini bukan kemauanku melainkan takdir Tuhan."
Dia berjalan mendahuluiku dan sengaja menyenggol bahuku, lalu menoleh sekilas ke belakang untuk memberikan tatapan tajamnya padaku dan meninggalkan aku yang menatapnya dengan kilat kemarahan di mataku dan tangan mengepal kuat karena merasa dipermalukan oleh gadis cacat ini.
[][][][][][][][][][][][][][][][][][]
Malam ini, aku mendapat tugas baru yang cukup menantang karena harus membunuh salah satu anggota klan mafia yang berbahaya. Ketua mafia langsung yang memberiku penjelasan dan arahan apa yang harus aku lakukan. Aku menyimak dengan serius setiap kata yang keluar dari bibirnya.
"Kau harus membunuh Alan Melike. Dia memiliki istri bernama Raseda Melike dan putra laki-laki bernama Akran Melike. Ini semua data lengkap mereka seperti letak rumah, potret rumah, keterangan tentang kehidupan mereka. Silahkan kau baca berkas ini."
Aku mengangguk mengerti lalu mengambil berkas dalam map hitam itu lalu membacanya dengan teliti dan tersenyum miring saat melihat kehidupan sempurna keluarga Melike ini akan hancur. Aku kenal keluarga ini dan cukup mengejutkan saat Alan Melike ternyata anggota klan mafia berbahaya. Sebentar lagi keluarga ini akan hancur di tanganku.
"Cukup menarik. Kapan aku harus melakukakannya?"
"Seminggu lagi, namun kau harus berhati-hati karena sekarang dia sudah bekerja sama dengan ketua Klan Mafia Italia. Ada yang melindunginya hingga aku kesulitan menangkap dan membunuhnya."
"Tidak masalah, aku suka bahaya."
"Baiklah kalau begitu berarti kau siap untuk menjalankan misi ini. Kau memang pantas dihandalkan."
Dia terlihat begitu senang saat tahu aku siap mengambil misi ini. Namun ketua mafia yang sudah berumur ini tak tahu jika ada niat lain aku mengambil misi ini. Misi yang tak lain dan tak bukan adalah membunuh kakekku ini. Membunuh pria yang menolak kehadiranku sebagai putera mendiang puterinya. Aku tahu semua ini dari ibu panti dan semakin dekat aku dengannya maka semakin cepat aku membunuhnya.
"Terima kasih, Pak."
Kami pun berjabat tangan sebagai tanda kerja sama dimulai. Dia pun pergi dari apartemenku ini. Sedangkan aku mulai menyesap secangkir Vodka sambil tersenyum licik saat akhirnya penantian hampir empat belas tahun akan terbayar.
"Bersiap-siaplah menyambut mautmu, Loren Raxbandra."
Tangerang, 10 Januari 2021