Sudah hampir setengah jam aku mengemudikan mobilku tanpa arah maupun tujuan, bahkan aku tak tahu dimana diriku sekarang, di jalan mana dan wilayah mana. Yang aku tahu aku hanya ingin pergi sejauh mungkin yang aku bisa, menjauh dari semua orang yang menjadi kenangan pahit di hidupku.
"Aku sudah tidak kuat di rumah itu, lama-lama aku bisa membunuh diriku sendiri karena tertekan di rumah itu."
"Itu rumah, rumah adalah tempat kita pulang dan melepas lelah sepanjang hari dengan kehangatan keluarga, tapi tempat malah menjadi Neraka bagiku."
Jalanan sangat sepi sehingga aku bisa bebas mengemudi dengan kecepatan tinggi, ini bukan tipe menyetirku namun aku mengemudi seperti ini agar aku bisa melupakan kejadian beberapa jam lalu. Saat sudah tengah malam dan semua orang sudah tidur, aku pun langsung pergi dari rumah dan tidak memberitahu siapa pun termasuk Bibi Yanti dan Pak Satpam yang sudah tidur. Sudah cukup aku memberatkan dan menambah beban mereka, aku harus bisa hidup mandiri dan menjaga diriku sendiri dari bahaya, untungnya juga penyakit Charley Horse yang tadi kambuh sudah menghilang, kaki dan tanganku sudah bisa digerakkan jadi aku bisa pergi.
"Aku harus mencari hotel untuk sementara waktu, setidaknya untuk malam ini. Tapi dimana hotel terdekat dari tempatku sekarang."
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri jalan untuk melihat apakah ada tempat menginap untuk diriku, kepergianku kali ini benar-benar serius karena aku sudah membawa semua tabungan, pakaian dan barang pribadi lainnya, uang, dan aset yang merupakan hasil jerih payahku sendiri seperti mobil, surat tanah, perhiasaan, dan lain-lain.
"Aku tak akan kembali ke rumah itu, aku harus bisa mencari tempat yang aman agar mereka tidak bisa menemukan aku."
Keluargaku punya pengaruh cukup besar di wilayah ini, mereka bisa menemukan dirimu dalam hitungan menit, aku dulu pernah memutuskan kabur dari rumah dan menginap di rumah Leva lalu mereka langsung menemukanku dan menyuruhku pulang, tak lupa mereka mengancam keluarga Leva karena sudah menyembunyikan diriku. Aku malu dan merasa bersalah pada keluarga temanku, untung mereka baik dan tak masalah dengan kejadian itu tapi sejak saat itu aku tak mau melibatkan temanku maupun keluarganya dari rumitnya kehidupan keluargaku.
Entah aku yang salah karena sibuk memikirkan kejadian di masa lalu hingga melamun dan tak konsentrasi menyetir atau memang pria yang lari untuk menyebrang jalan dengan tiba-tiba tanpa melihat kanan atau kiri itu yang salah, aku tak tahu siapa yang salah tapi yang aku kalau aku baru saja menabrak seseorang!
"Astaga, apa yang aku lakukan?"
"Aku menabrak seseorang, bagaimana jika dia mati?"
Seketika aku panik dan merasa bersalah karena tak menghentikan mobil ini dengan tepat waktu sehingga pria itu tertabrak dan terbaring di aspal jalan dengan darah di keningnya, aku pun langsung keluar mobil dan berjalan ke arah pria itu untuk memeriksa keadaannya.
"Pak, maafkan aku. Aku tidak sengaja menabrakmu."
Dia tak sadarkan diri sehingga tak bisa mendengar ucapanku, aku membalik tubuhnya untuk melihat siapa orang yang sudah aku tabrak dan aku pun langsung terkejut ketika melihat wajah pria itu. Aku tak asing dengan wajah yang baru aku lihat kemarin.
"Pria ini kan pria di kedai kopi waktu itu."
"Kondisinya parah dan aku masih memikirkan wajahnya, bodoh sekali kau ini Luna!"
Aku memukul kepalaku dengan pelan karena malah memikirkan hal lain. Akhirnya aku pun menolongnya dengan menyeretnya masuk ke dalam mobil, tubuhnya yang besar dan berotot dan jauh berbeda dengan tubuhku membuat aku kesulitan untuk memasukkannya ke dalam mobil. Lagi pula tak ada orang yang bisa aku minta bantuan.
"Kau pasti akan selamat. Kau harus bertahan."
"Sekali lagi minta maaf, aku akan mengusahakan yang terbaik agar kau tetap bertahan hidup."
"Tuhan, selamatkan nyawa pria ini, aku tak mau menjadi pembunuh yang kejam."
Sekarang aku hanya bisa berharap jika ada keajaiban agar pria ini bisa tetap hidup. Sungguh aku takut dan khawatir akan kondisinya saat ini, dia terlihat terluka parah. Namun bukan luka kecelakaan tadi karena perutnya seperti baru ditusuk oleh pisau. Seketika aku jadi gelisah karena pemikiran burukku mulai hinggap di otakku.
"Apa pria ini adalah penjahat sehingga ditusuk? Atau dia korban pembunuhan? Siapa dia?"
Kepalaku sekarang dipenuhi banyak pertanyaan. Aku pun memilih untuk fokus saja menyetir dan mencari rumah sakit. Untungnya berjarak ratusan meter dari tempat kecelakaan tadi, aku menemukan rumah sakit yang cukup besar dan pastinya memiliki fasilitas yang lengkap untuk pengobatan dan perawatan pria ini.
Aku pun langsung keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit untuk menghampiri meja resepsionis yang dijaga oleh seorang perempuan cukup cantik.
"Di dalam mobilku, ada korban tabrakan dan pembunuhan. Dia luka parah, tolong bantu dia."
"Baik Nona. Saya akan panggil suster dan dokter untuk membawanya."
Aku mengangguk dan menunggu kedatangan tim medis. Akhirnya mereka datang dengan dorong, aku pun langsung menunjukkan dimana mobilku dan berjalan di depan mereka untuk memberi arah. Setelahnya mereka meletakkan pria yang terluka parah di atas brankar dorong dan membawanya ke Unit Gawat Darurat untuk penanganan lebih lanjut.
"Aku sudah sangat berdosa telah melukai seseorang dan hampir membunuhnya, bagaimana jika dia meninggal?"
"Bagaimana jika dia punya keluarga? Bagaimana dengan keluarganya, apalagi jika dia tulang punggung keluarga. Lalu pasangannya, teman-temannya, kerabatnya. Dosaku tak akan bisa diampuni oleh mereka."
Aku hanya bisa menangis dan menunggu para tim medis menyelesaikan tugas mereka, aku tak bisa membayangkan jika pria itu meninggal dan betapa banyak orang yang akan merasa sedih karena kehilangan pria itu. Namun satu hal yang aku tak tahu, pria itu tak punya siapa pun di hidupnya kecuali dirinya sendiri.
Padahal mataku sudah terasa berat dan ingin terpejam karena mengantuk namun ketika ingat ada orang yang sedang bertahan hidup dan melawan maut di ruangan itu membuat aku berusaha tetap sadar, hingga akhirnya tiga jam berlalu dan akhirnya tim medis keluar dan menemuiku.
"Anda istrinya?"
"Bukan, saya yang menabraknya. Bagaimana kondisinya?"
"Kondisinya cukup buruk, namun kami sudah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkannya dan mengobati luka-luka ditubuhnya. Sisanya kita hanya berharap dan berdoa pada Sang Pencipta untuk nyawanya. Dua empat jam ini adalah waktu yang akan menentukan apakah dia hidup atau meninggal."
Tubuhku seketika langsung lemas mendengar ucapan dokter itu, sungguh aku tak menyangka jika kondisi pria itu sudah sangat parah. Aku pun langsung duduk di kursi sambil memikirkan ucapan dokter itu. Sedangkan dokter itu terlihat prihatin dengan kondisiku.
"Yang sabar, Nona. Yakin pada Tuhan untuk kesembuhannya. Permisi."
Aku tak membalas ucapan dokter itu serta membiarkan dokter itu pergi dari hadapanku. Aku bahkan bisa merasakan detak jantungku melemah, nafasku mulai sesak, dan tubuhku pun langsung jatuh di lantai karena tak kuat menerima informasi mengenai kondisi pria itu.
Dokter dan suster berhenti melangkah dan menoleh ke belakang ketika mendengar suara sesuatu terjatuh. Sayup-sayup, aku bisa melihat mereka berjalan ke arahku lalu semuanya gelap dan aku hanya bisa berdoa dalam hatiku.
"Selamatkan pria itu, Tuhan. Aku mungkin tak mengenalnya, namun jika kau mengambilnya ke sisimu hari ini maka aku akan mati bersamanya karena rasa bersalah ini."