Melawan Rasa Takut

1094 Words
Gadis berkerudung itu menggigit bibir atasnya dengan tangan yang masih mencengkram samping rok seragamnya. Matanya sedari tadi melirik cemas, beberapa murid di sekolah sana terang-terangan menatapnya. Tenggorokannya makin kering saat kakinya makin melangkah jauh, masuk ke dalam sekolah barunya itu dengan Alvaro di sebelahnya. "Pa, Qila mau pu--" Syaqila menggantungkan omongannya saat melihat wajah berbinar papa angkatnya itu yang nampak bahagia di sampingnya. Bahagia karena bisa melihat Syaqila kembali sekolah umum lagi. "Kenapa, nak? Tadi kamu mau ngomong apa?" Tutur Alvaro dengan menautkan alis membuat Syaqila menggeleng pelan. Tidak tega mengutarakan keinginannya untuk membatalkan saja sekolah di sana. Syaqila tidak ingin melihat pria itu merasa kecewa nantinya. "Permisi." Kata Alvaro dengan menyempatkan mengetuk pintu ruang TU membuat beberapa guru mengangkat wajah dan sontak tersenyum ramah ke arahnya. "Oh bapak yang kemarin telepon ya, ada anak bapak yang mau daftar sekolah?" Ujar staff perempuan itu ramah lalu melirik sekilas Syaqila yang masih berdiri tidak tenang. "Iya, bu. Benar sekali," balas Alvaro tersenyum lebar. "Kalau begitu bapak silahkan isi formulir anak bapak, dan anak bapak harus ke ruangan OSIS buat ikut tes dulu." Jelas staff membuat Alvaro mengangguk lalu menoleh pelan ke arah ponakannya itu. "Gakpapa, kan Syaqila pergi sendiri? Atau mau papa temanin?" Tuturnya lembut, Syaqila menggeleng lemah membuat Alvaro menghela pelan. "Ruangannya dimana?" Kata Syaqila lirih. Staff yang bertugas beranjak berdiri hendak menunjukan salah satu ruangan tempat dimana Syaqila harus melakukan tes penerimaan murid baru. Namun, terhenti saat sosok murid tampan itu berjalan mendekat ke arah mereka. "Biar saya yang antar." Ujarnya dengan sekilas melirik Syaqila yang hanya mengerjap samar. Sedangkan, Alvaro mengerutkan kening merasa mencium bau-bau modus anak SMA. "Oh Adam mau ngantarin? Bagus kalau begitu, emang kelas kamu lagi kosong apa gimana? Kenapa keliaran?" Pemuda itu mengerjap pelan dengan raut wajahnya yang masih datar. "Olahraga." Staff mengangguk saja lalu kembali menatap Syaqila yang masih berdiri canggung. "Kamu diantarin sama Adam aja ya? Dia murid yang bisa diandalin kok." Ujar wanita membuat Syaqila mengangguk saja lalu berbalik pergi saat melihat cowok bernama Adam itu melangkah memimpin di depannya. Syaqila masih melangkah mengekori Adam yang hanya mengatupkan bibirnya rapat. Tidak berniat bertanya basa-basi seperti anak-anak pada umumnya. Cowok pemilik hidung mancung itu hanya berjalan lurus tanpa menoleh pada Syaqila yang tidak tahu harus berbuat apa. Suasananya terlalu serius. Syaqila merunduk saat beberapa murid berjalan ke arah keduanya. Murid yang memakai seragam olahraga. Mungkin teman kelasnya cowok jangkung di depannya ini. "Woi Adam kenapa keluyuran lo. Udah mau praktek ege," "Mau antarin dia dulu," balasnya lalu kembali melangkah membuat teman-temannya bersorak heboh. Menggoda pemuda yang kelihatan pendiam itu. "Siapa tuh Adam. Kenalin sama kita dong?" "Semangat kapten modusnya." "Anak kelas pasti mendukungmu." "Adam dan Hawa ya? Aseeeekkkkk asek jos." "Cie sekarang Adam sukanya sama yang ukhti-ukhti ya," Syaqila yang masih mendengar suara berisik anak kelas Adam jadi makin merunduk takut. Sama sekali tidak ingin menjadi pusat perhatian. Gadis itu hanya ingin sekolah dengan tenang tanpa ada masalah-masalah lagi yang membuatnya teringat akan sekolah lamanya. Cowok bernama lengkap Adam Maulana itu hanya menghela pelan. Sudah terbiasa dengan kebobrokan teman sekelasnya yang tidak tahu tempat. Tapi pemuda itu terdiam melirik kecil gadis di sampingnya yang masih diam seperti risih karena godaan tak berfaedah tadi. "Ini ruangannya." Tuturnya lalu membukakan pintu pelan membuat Syaqila sontak melangkah masuk dan mendudukan diri di salah satu kursi. Adam juga masuk ke dalam dan berjalan pelan ke arah lemari sembari membuka laci. Pemuda itu dengan tenangnya mengeluarkan kertas soal lalu menyodorkan ke arah Syaqila. "Kerjainnya santai saja. Lagian tes begini cuma formalitas, 99 % murid yang mendaftar bakalan diterima di sekolah ini." Jelasnya pelan membuat Qila mengangguk samar. "Soal tadi, gue minta maaf." Kata Adam pelan membuat Syaqila menautkan alis. "Soal teman kelas gue." "H-hm." Balas Syaqila lalu merunduk hendak mengerjakan soal namun gadis itu kembali mengangkat wajah karena Adam masih belum beranjak. "Nama gue Adam, Adam Maulana." "O-oke." Kata Syaqila kaget karena pemuda itu mendadak memperkenalkan diri. "Aku Sya--" "Syaqila." Potong Adam cepat membuat Syaqila melebarkan matanya kaget. Kenapa pemuda asing ini mengenali namanya. "Kamu kenal aku?" "Hm. Dan sekarang gue yang akan jagain lo disini," ********** Remaja berseragam putih abu-abu itu terlihat bersenandung dengan menggoyang-goyangkan bahunya ke kiri dan kanan. Kepalanya sedari tadi mangguk-mangguk dengan matanya yang terpejam seperti orang mabuk.  Pemuda itu kembali mengangkat tangan lalu memutar tubuhnya dengan mengibaskan rambutnya layaknya bintang iklan shampoo di tv. "Arrayan!" Pemuda itu tersentak lalu mendengkus kasar merasa waktu bersantainya akan terganggu karena suara cempreng mamanya di luar kamarnya. "Kenapa sih, mah? Kalau jam segini tuh jangan gangguin Arrayan bisa gak sih. Arrayan tuh lagi menyiapkan rencana besar-besaran untuk mengubah masa depan Arrayan nanti." Cerocosnya panjang lebar membuat sang mama tertawa hambar. "Arrayan, anakku sayang. Sapu tangan kemarin mana? Kenapa gak ada di seragam kamu?" Arrayan menelan salivanya kasar dengan berusaha tetap tenang walau keringat dinginnya sudah terlihat pada pelipisnya. "Sa-sapu tangan apaan? Rayan gak tahu, mah. Bahkan, Arrayan gak pernah ngasih ke abang-abang mahasiswa di depan halte karena abang itu mukanya penuh lumpur. Serius Arrayan gak tahu, mah." Jelasnya dengan raut serius membuat mamanya berbalik pergi. Arrayan sontak bernafas lega. Akhirnya mamanya tidak menyadari kesalahan Arrayan. Arrayan tersentak dan melompat kaget melihat mamanya berlari kecil ke arahnya dengan memegang gagang sapu. "Dasar kamu ya, itu sapu tangan mahal." Kesal mamanya sudah mengejar membuat Arrayan memekik lalu berlari menaiki tangga berusaha menghindari amukan sang mama. "Kan tadi Arrayan bilang gak tahu." Balasnya masih mencoba berbohong namun mamanya malah mengayunkan gagang sapu dan memukul b****g pemuda itu. "Mama jangan durhaka sama anak sendiri dong. Gak boleh pukul-pukul anak, Arrayan aduin kak setia ya." "Kak Seto. SETOOOOO?!" amuknya tambah geram membuat remaja itu makin menarik diri dan mengetuk-ngetuk pintu kamar Syaqila berharap kakak sepupunya itu mau menolongnya. "Kamu begonya nurun siapa sih?" "Nurun mamalah." Balas Arrayan lalu tersenyum lega melihat Syaqila yang sudah membuka pintu dan kini berdiri kebingungan melihat keduanya. "Kak, tolongin gue. Mama mau siksa gue cuma gara-gara sapu tangan, tolongin gue kak." Ujarnya dengan memasang wajah sendu membuat Syaqila menghela pelan. "Kenapa, mah?" Tanya Syaqila membuat Azura menurunkan gagang sapu yang ia pegang lalu melotot ke arah Arrayan. "Dia hilangin sapu tangan mama," "Sapu tangan doang elah, mah. Nanti kalau Arrayan punya uang Arrayan beliin selusin." "Itu bukan sapu tangan biasa Arrayan, itu sapu tangan dari kakek kamu." Arrayan mematung dengan mengerjap samar. Pemuda itu menggigit kuku sembari merasa bersalah lalu menatap Syaqila sendu. "Kak bantuin gue, kak. Masalahnya gue udah kasih ke abang mahasiswa karena tuh abang kelihatan menderita gitu lho." "Astaga." "Gue malu mau minta balik. Bantuin gue ya kak, temanin gue ya." Syaqila menghela pelan dengan menggigir bibirnya. Gadis itu melirik sang mama yang nampak lelah dengan sikap Arrayan yang tidak bisa diatur. Sampai menghilangkan sapu tangan berharga itu. Syaqila menelan salivanya kasar lalu berusaha memberanikan diri lalu menoleh ke Arrayan. "Kampus orang itu, dimana?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD