Pemuda berambut hitam pekat itu terlihat buru-buru mengancing seragam sekolahnya lalu melesat keluar dari kamarnya sembari menyempatkan mengampil ransel hitamnya di samping kasur. Dengan melongokan kepala mencari papa dan mamanya. Cowok yang tidak lain adalah Elhaq itu sontak tersenyum lebar melihat sang mama sudah rapi dengan baju dinasnya. Begitu pun dengan sang papa, yang menjadi dosen di salah satu kampus di kotanya.
"Mah, ada sesuatu yang mau dibalikin ke tante Azura gak. Kayak mangkok atau tupperware gitu," ujarnya dengan wajah berbinar membuat sang mama menautkan alisnya bingung. "Emangnya kenapa nanyain mangkok sih. Buruan sarapan, entar telat ke sekolahnya." Balas sang mama sudah mendudukan diri menikmati sarapan paginya bersama sang suami yang hanya fokus membaca koran dengan sesekali menyeruput tehnya. "Gakpapa, mah. Biar Elhaq yang balikin. Kalau minjam atau atau ada barang orang di rumah kita tuh harus dibalikin cepat, mah. Nanti bisa jadi dosa," jelasnya sudah jadi mode ustadz. Mamanya menghela pelan sembari menolehkan kepala ke dapur. "Cuma mangkok kaca, tapi belum di cuci."
"Oke." Kata Elhaq cepat lalu melesat ke dapur dan mengambil mangkok kotor sembari mencucinya masih dengan ranselnya dipunggung. "Elhaq berangkat sekolah dulu ya, mah." Ujarnya setelah selesai membilas mangkok lalu dengan antusiasnya berlari keluar dan berbelok ke rumah Arrayan.
Kedua orang tuanya saling pandang dengan mengernyitkan dahi merasa bingung. Mendadak sikap anaknya berbeda dari biasanya. Elhaq yang biasanya tidak mau ke dapur apalagi menyentuh piring kotor, tiba-tiba menjadi rajin. Entah kenapa.
Elhaq mengembungkan pipi dengan menghela nafas pelan. Pemuda itu berdehem pelan sembari menyisir rambut hitamnya dengan tangan lalu bergerak mengetuk pintu dengan mangkok kaca di tangan kirinya.
"Arrayan." Panggilnya setengah berteriak lalu membuka pintu rumah membuat sosokberkerudung yang ingin keluar jadi tersentak kaget. Begitu pun dengan Elhaq yang hampir menjatuhkan mangkoknya. "A-arayannya mana?" Gagapnya dengan berusaha cool di depan gadis di hadapnnya ini. "Udah berangkat." Balas Syaqila lalu berjalan keluar dan mendudukan diri dengan memakai sepatunya membuat Elhaq melongo di tempat. "Om Azura sama tante Alvaronya?"
"Hng?" Elhaq mengatupkan bibirnya rapat. Merutuki dirinya sendiri kenapa mendadak gugup di depan Syaqila. Padahal Elhaq pengen punya image cool di depan cewek ini. Nyatanya ekspektasi tidak sesuai dengan realita. "Om Alvaro sama tante Azura maksud gue," ulangnya dengan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Pergi. Riena juga,"
Elhaq mengangguk dengan berdiri mematung di depan pintu membuat Syaqila yang hendak mengambil tasnya di samping pintu jadi terdiam.
"Mau balikin mangkok?" Tanyanya membuat Elhaq mengangguk cepat. "Yaudah, sini." Tutur Qila dengan meraih mangkok kaca di tangan Elhaq lalu berjalan masuk ke dalam rumah kemudian meletakan mangkoknya di atas meja. Gadis itu pun berjalan keluar dengan menyempatkan menutup pintu rapat. Elhaq masih diam. Mendadak blank. Tidak tahu harus berkata dan melakukan apa. Otaknya mendadak kosong. Bibirnya juga seperti terkunci mati.
"Masih mau di sini?"
"E-eh gak."
"Yaudah ke sekolah. Udah mau telat,"
"O-oke."
Elhaq mengulum bibir dengan mengekori Syaqila yang berjalan lebih dulu di depannya. Pemuda itu menampar kecil pipinya lalu mengaduh pelan. Ternyata sekarang bukanlah mimpi. Ia dan Syaqila berangkat sekolah bareng. Berangkat sekolah ples bareng ya. Suatu kemajuan yang besar.
"J-jadi lo selama ini tinggal di rumah Arrayan. Gue sama sekali gak tahu," ujarnya mencoba mencairkan suasana membuat Syaqila mengangguk saja. "Gue sering main ke rumah Arrayan, tapi gak pernah ketemu sama lo. Elo gak pernah keluar kamar ya?"
Syaqila menghentikan langkahnya dengan mengerjap samar. Gadis itu menolehkan kepala menghadap Elhaq seutuhnya.
"Jangan ngobrol, udah telat." Tutur Syaqila dengan dinginnya membuat pemuda itu mengangguk lalu berdehem canggung.
Keduanya kembali melangkah dengan sama-sama mengatupkan bibirnya rapat. Elhaq tidak henti-hentinya melirik Syaqila yang berjalan tenang tanpa berniat membuka obrolan lagi. Padahal Elhaq masih ingin berbicara dengan gadis di sebelahnya ini.
Elhaq mendadak menghentikan langkahnya saat Syaqila berbelok ke jalan yang berbeda membuat pemuda itu secara naluri mengejar. Elhaq mengerjap samar dengan membasahi bibir bawah melihat Syaqila yang mendekati anak kecil yang sedang menangis sendirian di pinggir jalan tanpa orang tuanyanya.
"Mama kamu kemana?" Tutur Syaqila sudah berjongkok dengan menatap anak cowok itu yang masih sesegukan. "Gak tahu. Mama dari tadi hilang." Ujarnya masih tersedu membuat Syaqila menghela pelan lalu menjulurkan tangan menyeka air mata balita itu. "Gakpapa, nanti kakak bantuin cari ya." Katanya berusaha menangkan dengan perlahan menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman.
Elhaq sontak terdiam dengan terpana begitu saja melihat Syaqila kini tersenyum lembut ke arah anak kecil di depan keduanya. Pemuda itu baru menyadari ternyata Syaqila punya lesung pipit dan juga gigi gingsul yang menggemaskan.
Syaqila kerudungan. Punya senyum manis sampai lesung pipit dan juga gigi gingsul. Suka anak kecil. Cantik. Paket komplit inimah. Cuma kurang satu, kurang Elhaqnya.
"Kamu duluan aja berangkatnya. Aku mau nungguin mama anak ini,"
"Eh gue juga. Gue juga mau nungguin mamanya, kan tadi kita lihat sama-sama. Nanti kalau ada apa-apa sama anak ini gue juga yang bakalan bertanggung jawab dan gu--"
"Iya, iya. Gak usah kepanjangan juga." Potong Syaqila cepat. Penat juga mendengar penjelasan panjang pemuda di sampingnya ini. Elhaq mengulum bibir lalu mendekat dengan ikut berjongkok. "Sambil tungguin mamamu, gimana kalau abang gendong. Tapi janji, gak boleh nangis lagi. Oke?" Ujarnya dengan menjulurkan tangan mengusap kepala mungil balita itu. Syaqila diam-diam melirik, memperhatikan pemuda itu dari samping. Rahangnya tegas, hidugnya juga mancung. Bulu matanya lentik dan rambutnya hitam pekat tebal. Pemuda ini bisa dikategorikan tampan. Proporsi tubuhnya juga tinggi tegap. Seperti Syahid.
Elhaq beranjak berdiri dengan menggendong anak cowok yang sudah perlahan mengerjapkan mata merasa ngantuk. Mungkin lelah karena menangis sedari tadi.
"Elhaq."
"Eh iya?" Latah Elhaq saat Syaqila memanggil namanya. "Mau minuman gak? Aku mau beli minum juga soalnya di minimarket depan." Tanyanya membuat Elhaq mengangguk saja lalu tersenyum melihat Syaqila menyebrang dan berlari kecil masuk ke dalam sana.
Elhaq memainkan bibir lalu tersentak sendiri. Baru sadar akan satu hal.
"Eh dia tahu nama gue? Eh beneran dia manggil Elhaq tadi kan? Bisa reka ulang gak sih? Eh suaranya juga merdu tadi." Cerocosnya lalu tersenyum lebar sembari meloncat-loncet kesenangan walau anak kecil dalam gendongannya.
"Woi Bang El!"
Elhaq hampir nyungsep ke tanah kalau saja tidak berpegangan pada trotoar. Pemuda itu berdecak kesal lalu menoleh ke belakang melihat Arrayan yang berlari kecil ke arahnya.
"Ngapain lompat-lompat bang. Baterei abang soak ya?" Cibirnya dengan memainkan kedua alisnya naik-turun. "Ck. Apasih lo. Ngagetin aja nih bocah." Balas Elhaq kesal. "Lah bang, sekarang abang jadi pencuri anak dibawah umur? Astagfirullahal adzim, jangan begitu kak, dosa."
"Bukan elah, ini anak yang gue temuin. Tadi nangis di sini, makanya mau tungguin mamanya. Gue sama Syaqila."
"Wah kebetulan dong, kak. Bilangin kak Qilanya ya, gak usah bantuin cariin sapu tangan. Arrayan udah ketemu abangnya, dan sekarang mau main ke rumah." Katanya lalu menolehkan kepala. "Noh, orangnya." Tambahnya dengan tersenyum bangga.
Elhaq hanya mengerjap samar memandangi pemuda di depannya yang kini tersenyum ramah padanya.
"Sekarang kita berdua soib, ya kan bang?"
"Iya." Balas pemuda itu pelan. Mengiyakan saja ucapan tidak berfaedah remaja yang baru dikenalnya itu. "Eh kakak sepupu gue tuh!" Ujar Rayan membuat Elhaq dan pemuda itu menoleh ke samping.
Pemuda berkulit putih itu terdiam dengan mematung di tempatnya. Dadanya naik turun merasa sesak. Matanya bergerak tidak cemas dengan bibirnya yang bergerak pelan menggumamkan sebuah nama.
"S-syaqila."