Shei duduk di halte bus sambil memeluk tas laptopnya. Entah kenapa hujan malah bertambah deras semenjak ia pergi keluar dari cafe demi menjauh dari si dokter gila yang akan menjadi suaminya itu. Kelihatannya aja dingin tapi pria itu ternyata rese juga.
"Hmm. Harusnya royalti tulisan gue bisa buat beli mobil. Tapi males kalo harus nyetir sendiri." Keluh Shei saat merasa dirinya sangat butuh mobil pribadi di situasi seperti ini. Bukan malah kabur mencari bus untuk pulang.
Tin tin!
Sebuah mobil BMW putih berhenti tepat didepan posisi Shei duduk. Kaca mobil terbuka dan memunculkan sosok yang sangat tidak ingin ia lihat sekarang.
"Ayo masuk. Kita harus fitting baju." Ucap Alden tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Sambil cemberut, Shei masuk ke dalam mobil itu untuk pertama kalinya. Setidaknya ia akan dapat tumpangan untuk pulang nanti.
"Calon istri penurut." Ucap Alden sambil menyembunyikan senyumnya.
Shei memicingkan matanya. Entah kenapa sebutan istri masih sangat asing di telinganya. Apa ini terlalu cepat?
Beberapa menit kemudian mereka sampai di sebuah butik dengan nuansa gold. Tapi untungnya koleksi gaun disana tidak serba gold, bisa-bisa mata Shei rusak beneran.
Tante Karin sudah ada disana duluan, ia tampak sangat tertarik memperhatikan detail gaun di depannya. Dengan model d**a yang tidak terlalu rendah dan model tangannya yang cantik.
"Kamu coba ini sayang. Pasti cantik deh." Ia menyodorkan gaun itu ke Shei.
Dengan tak enak hati Shei segera mengambil gaun itu, membawanya ke ruang ganti dan memakainnya. Gaun silver itu terlihat begitu cantik dan pas dipakai olehnya. Ia pun keluar dari ruang ganti dan menunjukkan kepada Karin- calon mertuanya.
"Tuh kan bener pilihan mami. Ya kan Al?" Karin menoleh ke anaknya yang hanya berdiri di sampingnya tanpa minat.
Alden hanya mengangguk tak tertarik. Ia sibuk memainkan ponselnya.
"Ayo kita pilih dua gaun lagi untuk resepsi kalian. Kalo itu cocoknya untuk gaun pas akad nanti." Karin tampak antusias memilih gaun-gaun disana.
Shei memilih untuk duduk di salah satu sofa kecil, memperhatikan Alden yang entah sedang apa dengan ponselnya itu. Sekilas Alden melirik Shei sampai tatapan mata mereka bertemu, tapi Shei malah memutar bola matanya tanpa minat.
"Jadi kalian udah sedekat apa nih? Jalan bareng udah? Mulai ada chemistry belum?" Tanya Karin sambil menunggu penyelesaian p********n sewa gaun disana.
"Be.. belum Tan. Masih biasa aja." Jawab Shei canggung. Boro-boro chemistry yang ada ia makin dongkol jika harus bertemu Alden setiap hari.
"Kamu jangan sok sibuk deh Al. Ajak Shei jalan-jalan. Dinner. Iya dinner. Malam ini kalian dinner ya biar mami pesankan restoran yang bagus." Karin mulai sibuk dengan ponselnya.
Shei menatap Alden berharap pria itu akan segera menolaknya. Karena ia benar-benar sudah muak berada terlalu lama dengan pria itu. Sayangnya ternyata memang Alden anak mami. Dia tidak berkomentar sedikit pun.
"Dan... Shei. Kamu manggil Alden apa?" Tanya tante Karin lagi setelah urusan reservasi resto yang ia inginkan selesai.
"Hah? Gimana Tan?"
"Biar makin deket. Gimana kalo kamu panggil Alden dengan sebutan mas Al? Bagus kan tuh?"
Mas Al? Shei seketika mengerutkan keningnya. Dapat ia lihat bibir Alden yang menyunggingkan senyum kemenangan.
***
Shei melirik malah pria didepannya. Seperti yang sudah kalian tebak, mereka sekarang berada di sebuah restoran dengan nuansa romantisme dimana banyak lilin aromatik yang berada di tiap meja, yang sebenarnya malah mengganggu pernafasan Shei. Bagaimana orang-orang disini bisa menikmati makanan mereka dengan wangi-wangian seperti ini?
"Nyokap lo niat banget." Shei akhirnya pasrah.
"Biarin aja. Cepet atau lambat juga lo bakal ketemu gue terus. Jadi siap-siap mood lo bakal ancur terus." Ucap Alden dengan santainya.
"Oh my God. Dimana cerita happy ending gue." Shei menelungkupkan wajahnya ke meja.
"Hidup itu bukan lo yang nentuin. Tapi Tuhan. Lo bisa aja bikin cerita yang selalu happy ending tapi apa iya kehidupan akan selalu begitu?" Kali ini Alden tampak serius, ia agak muak dengan sifat Shei yang selalu mengelukan soal kehidupan yang happy ending. Apa dia tidak pernah patah hati sebelumnya?
Shei mengangguk setuju. "Apalagi kalo gue harus menghabiskan sisa hidup gue sama makhluk kayak elo. Sudah jelas bakal sad ending."
Mata Alden melebar, sebegitu yakinnya Shei akan buruknya akibat dari pernikahan mereka nanti. Ya walaupun ia sendiri akan menjalaninya dengan senang hati, tapi segala tanggung jawab dan hak Shei akan ia penuhi sebagai seorang pria. Walaupun soal cinta.. itu terlalu rumit. Alden belum bisa memastikannya. Ia sendiri masih belum pulih dari rasa sakitnya.
"Terserah lo deh."
***
"Lo darimana aja?"
Shei hampir aja melompat saking kagetnya dengan kemunculan Bian yang secara tiba-tiba disampingnya." Gak usah ngagetin orang kali." Shei memungut kunci apartemennya yang terjatuh akibat reflek terkejutnya tadi. Kemudian membuka pintu apartemennya.
"Gue nanya Shei."
"Abis makan gue. Kenapa sih? Kepo banget."
"Tumben makan sendiri. Biasanya ngajak gue. Pas ke Cafe juga gue gak liat lo." Ucap Bian sambil mengikuti Shei masuk.
"Sama Alden. Puas lo?" Shei mendorong tubuh Bian keluar dari apartemennya dan menutup pintunya rapat. Tak lupa ia menguncinya.
Bian mengacak-acak rambutnya." Jadi nih gue pesen karangan bunganya ya?" Ia berbicara pada dirinya sendiri.
Shei berbaring diatas sofanya, entah kenapa rasanya hari ini begitu melelahkan. Jauh lebih lelah dibanding saat ia harus menulis seharian di laptopnya. Lalu setelah menikah nanti apa yang akan ia lakukan setiap harinya? Ia hanya penulis lepas yang tidak perlu pergi kesana kemari seperti pekerja kantoran. Kadang ia hanya cukup menghadiri pertemuan fans atau sekedar datang ke acara launching bukunya. Itu pun jarang sekali. Lalu ia akan tinggal dimana? Sejauh yang Shei tau, Alden masih tinggal bersama dengan orangtuanya. Gak mungkin Shei harus disana kan? Yang ada ia gak akan bisa melanjutkan pekerjaannya karena kecerewetan Tante Karin yang suka banget ngobrol itu. Disini? Apa Alden mau? Apalagi apartemen ini kecil dan hanya ada satu kamar. Masa ia harus berbagi kamar dengan pria nyebelin itu? Tidak mungkin ia menyuruh Alden tidur di sofa seumur hidupnya. Tidur bareng?
Big No!
Shei menutupi wajahnya sendiri, ia merasa mulai gila sekarang. Kenapa juga pernikahan itu serumit ini? Belum dijalanin aja udah bikin pusing, gimana segelah dijalanin?
Terlebih, bagaimana Shei akan menghabiskan seluruh hidupnya bersama Alden? Ya walaupun besar kemungkinan mereka akan berpisah suatu saat nanti. Toh pernikahan ini karena terpaksa. Mungkin saja orangtua mereka nanti akan mengerti jika kedua anaknya tidak mampu lagi meneruskan hubungan pernikahannya.
Butuh berapa tahun? 1? 2? 3?