3

1109 Words
Shei duduk di dekat jendela apartemennya, menikmati hujan rintik-rintik sambil menyesap hot matcha favoritnya. Seketika ia terbayang wajah Alden, Pria dingin yang sebentar lagi menjadi suaminya. Entah akan seperti apa pernikahan mereka nanti. Jika di n****+ semua akan berakhir happy ending sesuai keinginannya, tapi di dunia nyata yang ia jalani ini bukan ia yang mengatur. Ia hanya berharap semua akan baik-baik saja.  Tok tok tok! Suara ketukan pintu memecah lamunan Shei. Ia sangat tau siapa yang akan mengganggunya di tengah hujan seperti ini. Siapa lagi kalo bukan Bian, alias tetangga apartemennya. Ia pun berjalan menuju pintu dan membukanya. Sosok Bian terjatuh tepat didepannya. Untung saja Shei sudah meletakkan cangkir hot matchanya di meja, kalo tidak bisa tumpah gara-gara Bian. "Lo kenapa sih Bi? Kok mabok gini? Lo minum? Astaga! Bau alkohol!" Shei sangat terkejut dengan keadaan Bian yang didepannya sekarang. Segera ia berusaha membopong tubuh jangkung itu ke dekat sofa. Bian tampak sangat kacau dan beberapa kali mengigau." Lo abis putus sama pacar lo lagi?" Pikir Shei yang memang tau kelakuan sahabatnya ini. Tapi aneh, selama ini Bian tidak pernah seperti ini walaupun putus dari pacarnya yang cantik dan model majalah dewasa pula. Jadi apa yang membuat Bian sampai seperti ini? "Jangan nikah Shei... Jangan.." Bian mengigau lagi. "Gue belum nikah." Suasana  hati Shei malah jadi tidak enak. Kembali diingatkan tentang perjodohan itu lagi. "Nanti gue sama siapa." Sahut Bian sambil memeluk bantal sofa. Shei terkekeh geli. Masa iya Bian mabuk seperti ini karena takut ia akan berubah setelah menikah nanti? "Lo tetep sahabat gue." Terdengar suara nafas Bian yang makin berat dan teratur, tanda jika pria itu sudah terlelap. Jangan salah sangka walaupun sering saling menginap di apartemen tapi mereka tau batasan apalagi di negara asia tenggara ini. Jelas mereka masih menerapkan norma-norma yang berlaku. Walaupun Bian tampak nakal dan playboy, Shei yakin diluar sana dia sangat menghormati wanita terutama ibunya. Meski tidak merasakan kasih sayang ibu kandungnya sama sekali, Bian sangat menghormati kaum hawa. Ya kalo soal gonta ganti pacar itu beda cerita. Toh kebanyakan wanitanya yang seenaknya makanya Bian putusin. *** Tok tok! Shei mengerjapkan matanya, menyadarkan dirinya untuk kembali ke alam nyata. Entah apa yang dimimpikannya ia sudah lupa. Ia melirik Bian yang masih tertidur di sofa. Sekilas ia melirik ke jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi." Bi! Lo gak kerja?" Ia langsung menggoyangkan tubuh Bian, tapi pria itu malah berbalik kemudian terjatuh ke karpet bulu yang berada dibawah sofa. Tok tok! Shei baru ingat suara ketukan pintu yang membangunkannya. Siapa juga yang bertamu sepagi ini? Ia segera beranjak dari kasur lantainya karena semalam ia sangat malas untuk tidur di kamar dan takut Bian butuh sesuatu. Nyatanya mereka sama-sama tertidur lelap. Ia membuka knop pintu dan seketika bola matanya melebar."Lo..." "Siapa Shei?" Bian muncul di belakang Shei sambil mengucek matanya. "Alden. Tau darimana apartemen gu.. gue?" Tanya Shei agak tak enak hati. Apalagi keadaan ia dan Bian bisa saja menimbulkan kesalahpahaman bagi yang belum tau hubungan persahabatan mereka. "Cuma mau mampir aja. Ngasih sarapan dari nyokap gue. Dan katanya lo udah balik ke apartemen lo. Nih." Alden menyodorkan kotak makan yang langsung Shei terima. Shei tersenyum canggung." Makasih ya." "Ya udah gue mau berangkat kerja. Dan..." Alden menatap kearah Bian." Gak baik cowok asing dikamar cewek kayak lo gini." Ucapnya sambil berlalu. "Gue sahabatnya Shei dari kecil! Inget tuh!" Bian tampak tidak terima dibilang orang asing. "Udah Bi. Lo mending balik sono ke apartemen lo. Kerja sono!" Shei mendorong Bian keluar dari pintu apartemennya kemudian menutupnya rapat-rapat. "Jahat lo Shei!" Sahut Bian diluar apartemen Shei sambil memeluk bantal sofa milik wanita itu. *** Bian duduk di kursi kerjanya dengan gelisah. Berkali-kali ia mengingat wajah Alden, calon suami Shei yang sungguh mengesalkan itu. Tadinya ia berpikir pria itu akan segera lenyap dan membatalkan pernikahan mereka karena salah paham dengan persahabatannya dengan Shei. Nyatanya pria itu malah tampak santai dan seperti meremehkannya. "Iya tau gue kalah telak! Lo gak tau aja kalo kelakuan Shei yang manja dan mellow abis karena tulisannya sendiri. Lo bakal dipalakin matcha latte terus sama Shei!" Ucap Bian seakan Alden ada di hadapannya.  "Permisi pak." Sedetik kemudian Bian membenarkan posisi duduknya dan menatap karyawan yang masuk ke ruangannya." Kok gak ketuk pintu dulu?" Ucapnya agak ketus, membuat si karyawan agak sungkan. "Udah pak padahal. Mungkin bapak gak denger gara-gara..." "Udah gak usah dibahas. Ada apa?" Bian berusaha mengalihkan apa yang akan dibicarakan karyawannya. Rusak sudah imagenya kalo dia tau ia sedang ngedumel sendiri. "Ini pak cuma minta tanda tangan." *** Seandainya mood bisa di charger, mungkin akan Shei charger full demi meyelesaikan ceritanya. Sejak acara makan malam yang ternyata perjodohan itu, satu part pun belum dapat Shei selesaikan. Padahal deadlinenya sebentar lagi tapi ceritanya belum sampai separuhnya. Ditambah hari ini entah kenapa Alden menemuinya di cafe favoritnya, membuat wanita ini tidak dapat melanjutkan pekerjaannya.  "Gak mau coba minuman lain?" Tanya Alden yang melihat Shei sudah menghabiskan dua cup matcha latte dengan ekstra wipcream. "Sorry. Ini tak akan tergantikan." Shei memeluk cup ketiganya. Sepertinya kedua orang tua mereka serius untuk mendekatkan ia dan Alden.  Alden tidak berkomentar dan lebih memilih untuk menyesap hot chocolatenya." Lanjutin aja kerjaan lo." Ucapnya ketika melihat Shei hanya meletakkan jari-jarinya diatas keyboardnya. Shei menautkan alisnya." Sejak kapan gue lagi nulis terus sambil diliatin orang? Gak konsen tau." Ucapnya yang terdengar agak ketus. Biarin deh biar Alden tau sifat Shei, jadi gak kaget kalo istrinya ini nanti sensitif dan gampang mellow. What? Istri? Shei merasa sudah gila sepertinya. "Oke. Sorry. Gue cuma jalanin apa yang disuruh nyokap." Shei tersenyum miring." Gue kira lo cuma cowok dingin tapi lo juga ternyata anak mami ya." Ucapnya, sedikit membuat Alden tersinggung. Apa salahnya menjalankan perintah orangtuanya sendiri? "Ya seharusnya lo juga bisa nolak perjodohan ini. Tapi gue liat lo fine aja. Siapa juga yang bakal nolak dijodohin sama dokter ganteng kayak gue." Alden malah memasang tampang konyol, sangat tidak sesuai dengan image awalnya yang terlihat dingin. "Cih! Kalo bukan karena kebahagiaan orangtua gue juga, gue ogah." "Ya terus aja lo hidup dalam dunia lo. Inget lo itu juga manusia, wanita, pasti butuh seseorang nantinya." " Iya nanti. Entah kapan. Bukan secepat ini." Kilah Shei, tidak mau kalah. "Terserah. Intinya setelah nikah nanti pun gue gak akan ganggu kegiatan lo, apapun yang mau lo lakuin terserah. Tapi jaga kehormatan lo sebagai wanita." Ucap Alden tepat sasaran. "Maksud lo apa? Mau bahas yang soal Bian di apartemen gue?" Alden tampak acuh. "Gue tau kodrat gue dan gue tau norma. Ya pokoknya setelah nikah dan itu cuma status. Selebihnya kita hidup di dunia masing-masing. Dan... Jangan melewati batas." Shei segera berdiri dari tempatnya, membereskan laptopnya dan pergi dari sana. Sifat yang sama. Alden membatin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD