EP 1

1804 Words
[EVRA'S POV] Aku cuma bisa diam. Membiarkan Rayn dan Kevin tertawa terbahak-bahak setelah menggodaku. Mereka memang menyebalkan. Aku kira aku bisa ngilangin stres dengan ketemu mereka. Yang ada aku makin bete. Rasanya nyuapin buaya makan lebih baik daripada ketemu mereka. Teman k*****t. "Kenapa muka kamu ditekuk gitu, Ev? Ayolah. Harusnya kamu tuh senang, sebentar lagi nikah," tegur Rayn. Seenak jidatnya aja si k*****t satu ini ngomong. "Iya Ev. Harusnya kamu senyum lebar. Di usia menuju 31 tahun ini akhirnya ada yang mau sama kamu," Kevin menimpali. Set—an! "Sorry bro, aku belum nikah bukan karena nggak ada cewek yang mau. Tapi karena aku emang belum pengen nikah. Dan, so many ladies out there wants me!" Aku melipat tangan di d**a. Rayn dan Kevin saling pandang lalu manggut-manggut. Mencemooh. "Jadi si Aisyah ini gimana?" "Apanya yang gimana?" "Ya kalian. Apa dia masuk dalam salah satu cewek yang takluk dalam pesona Evra?" Aku memandang Rayn dan Kevin bergantian. Lalu tersenyum simpul. Apa Aisyah masuk salah satunya? Liat aja nanti. *** Emang nasib. Biasanya aku nggak komplain. Tapi hari ini aku agak bete karena ditinggal sendiri. Rayn dan Kevin yang notaben sudah berkeluarga dan punya anak terpaksa harus pulang karena beberapa hal. Padahal kami tadi lagi asyik ngobrol. Kevin harus pulang karena harus membawa Rachel cek up ke dokter kandungan. Ah iya ingatkan aku untuk membeli hadiah calon bayi mereka. Sementara Rayn harus pulang karena ada janji dating, dengan istrinya. Tck. Ah pasti aku terdengar melankolis. Tapi tak masalah. Aku terkadang memang sedikit melankolis. Tapi jika hanya berhubungan dengan kedua sahabat baikku itu. Maklum saja. Aku seperti anak ayam yang ditinggal karena dua anak ayam lainnya sudah laku terjual. Preet. Ok, stop. Fokus. "Apa Vian nggak boleh ketemu dia dulu, Ma? Sekali aja. Pengen lihat mukanya aja," aku memohon pada mama. Yap. Aku sedang membujuk mama agar mengizinkan aku bertemu 'calon istriku' itu. Masa iya tanggal pernikahan sudah ditentukan padahal aku belum melihat mukanya barang seinci saja. Aku ingin tau apa alisnya asli atau palsu. Bibirnya disulam atau tidak. Apa dia operasi kelopak mata. Ini masih yang dasar. Sudah baik aku tidak penasaran apa dia kissable atau tidak. Enak dipeluk atau tid— "Aduh, ma. Kenapa Vian dicubit?" Aku meringis memegangi lengan. Mama emang nggak main-main soal cubit mencubit. Parah. Langsung biru. "Kamu tuh. Mama tau isi kepala kamu. Senyum-senyum nggak jelas. Mikirin apa kamu?" Aku menggeleng. Emang super mama. Kayaknya semua sifat aku adalah turunan dari beliau. Gen mama mendominasi nih. "Udahlah ntar ketemu di hari H aja. Lagian kan mama udah kasih foto. Lihat di foto aja." Aku melongo. Sungguh? Apanya yang lihat di foto? Orang fotonya saja tidak jelas. Kalian mau tau seperti apa fotonya? Yap, ada 2 gadis di sana. Maksudku tidak jelas itu karena ada 2 gadis di sana. Kenapa harus foto yang ada 2 gadis? Dan aku disuruh menebak. Kan nggak lucu. Tapi aku nggak akan bohong. Dua-duanya cantik. Tapi, not my taste. Yap. Ini soal selera genks. Lagipula siapa yang bisa menilai hanya dari foto saja? 2 dimensi. Tidak bisa disentuh dan tidak ada lekuknya. Eh? Karena aku malas menebak, akhirnya aku minta foto lainnya pada mama. Dengan bujukan maut akhirnya mama mau memberikan foto yang lain. Dan... Yap. Cuma punggungnya genks. Astaga. Memangnya aku menikah sama punggung. Memangnya orang bisa dinilai dari punggung. Lalu apa setelah menikah aku hanya akan melihat punggungnya saja? Kan TIDAK! Astaga. "Tapi, ma—" kembali ke topik tadi. "Udah nggak ada tapi-tapian. Sana kamu pergi. Mama mau baca dari tadi nggak jadi-jadi. Udah jangan ganggu mama. Liatin Momo sana.." mama mengusirku dengan 'halus' dan 'bijaksana'. Thanks mom. *** Gini amat ya. Aku merebahkan diri di kasur. Menghela napas. Rasanya aku belum terlalu tua. Baru mau 31. Dan aku laki-laki. Kenapa harus dijodohkan dengan buru-buru. Mama dan papa bersikap seolah aku ini nggak laku. Takut keburu kadaluarsa. Huft. Sebenarnya aku heran kenapa papa ngotot mau jodohin aku sama si Aisyah-Aisyah itu. Astaga. Namanya! Apa papa terlilit hutang? Tidak mungkin. Kemarin aku masuk kantor semua masih aman. Nama papa masih masuk dalam daftar orang kaya dan berpengaruh di majalah X. Aku juga nggak dapat sms pengaduan keterlambatan p********n gaji. Jadi kenapa? Apa papa berhutang sesuatu ke keluarga Aisy, huft, cewek itu. Tapi berhutang apa? Nggak mungkin duit, kan? "Meongg.." aku tersadar. "Hai Momo.." aku langsung mengambil Momo, kucing kesayanganku itu dan meletakkannya di atas d**a. Yap. Aku suka kucing. Momo itu kucing Persia yang udah aku pelihara kurang lebih 7 tahun. Sebenarnya ada 2, tapi yang satu dibawa kabur sama si k*****t Taka, sepupuku yang kuliah di Amsterdam. Oh ya, namanya Sana. "Kenapa sih mama dan papa maksa aku nikah? Padahal kan aku masih belum mau nikah. Masih muda juga. Kan sia-sia kalau masih muda udah dikerangkeng." Momo mengeong lagi. Sepertinya dia setuju dengan argumenku. Anak pintar. Hanya Momo yang setia padaku. Tck. "Apa kita kabur aja, Mo?" ... [AISYAH'S POV] "Ai!" Aku menoleh. "Kenapa?" "Ini mau dihidang ke mangkuk yang mana? Apa ambil mangkuk baru?" Aku menghentikan gerakanku yang tengah mengaduk masakan di wajan. "Pakai yang biasa aja. Ngapain pakai yang baru. Kayak mau ada apa aja," ucapku. Kak Noorah, kakak sepupuku yang keturunan Malaysia itu melotot. "Hey, ini kan acara penting. Calon mertua kamu kan mau datang." Aku memutar bola mata. Yap. Selama satu minggu ini telingaku selalu berdengung karena mendengar hal itu. Seluruh keluargaku tak henti-hentinya membahas 'calon keluarga baruku' yang artinya aku akan segera menikah. Menikah. Di umur 23 tahun. Aku bukannya nggak mau. Sebenarnya aku pernah membayangkan ingin menikah muda. Tapi, dengan orang yang aku kenal dan aku mau tentunya. Huft. Terlihat jelas kalau aku nggak mengenal calon suamiku, kan? Ya begitulah. Aku memang nggak kenal sama 'beliau'. Kenapa beliau? Karena kata Umi dan Abi waktu itu ke kak Noorah umur calon suamiku itu sudah 30 tahun. Astaga. Aku bukannya parno Abi menikahkan aku dengan pria tua, toh nyatanya zaman sekarang banyak sekali pria yang sudah kepala 3 bahkan 4 masih terlihat muda dan fresh. Kak Noorah juga bilang kalau laki-laki justru makin berkarisma saat mereka makin berumur. Makin matang katanya. Tapi, tetap saja. 7 tahun. Apa itu baik-baik saja? "Pakai yang baru aja, Noo. Ini si Ai kalau diikutin bisa keburu kabur calon mantu Umi," tiba-tiba Umi muncul di dapur. Menghadiadiku sebuah cubitan. Astaga. Umi kalau nyubit memang tidak main-main. Aku hanya bisa meringis menggosok bekas cubitan umi. "Ya kan mubazir, Mi. Kenapa juga harus pakai yang baru kalau yang lama masih bagus? Itu pamer namanya, nggak baik. Itu juga berlebihan. Umi bilang sesuatu yang berlebihan itu nggak baik." Umi memukul lenganku. "Pinternya anak Umi ini bicara yah." Aku nyengir. Kak Noorah kembali dengan mangkuk baru. Masih kinclong, halus dan mulus. "Jam berapa mereka mau datang, Umi?" tanya kak Noo. "Katanya sudah di jalan. Mungkin sebentar lagi." Aku memanyunkan bibir. "Kamu nggak siap-siap, Ai?" tanya kak Noo lagi. Aku menggeleng. Mematikan api kompor. "Dia nih pakai acara nggak mau ketemu. Katanya taatuf aja. Biar Umi sama Abi yang urus," jelas Umi. "Yap. Ketemu di hari H aja," tambahku. Kak Noo manggut-manggut. "Kamu nggak takut dia parno terus kabur? Karena nggak lihat muka kamu sebelum nikah." Aku menggeleng mantap. Tapi amit-amit sih. Jangan sampai. Lagipula kan aku sudah kirim foto. Walaupun foto berdua dengan kak Noo. "Kalau kabur berarti nggak jodoh," aku nyengir. "Udah udah. Cepet lanjutin kerjanya. Ai, kamu ke rumah bibi Alya ya. Bilang mau ambil pesanan Umi.." Aku membuang napas pelan kemudian langsung meninggalkan dapur. Rumah Bibi Alya tidak terlalu jauh dari rumahku. Hanya berjarak 2 rumah. Lagipula aku nggak perlu takut panas karena di sini pohonnya masih tinggi-tinggi dan rindang. Maklumlah. Desa. "Ini, bilang ke Umi nanti Bibi nyusul ke sana. Arzan mau dimandiin dulu.." Aku mengangguk. "Oke, Bi.." "Pomp.. pomp.." suara klakson mobil mengagetkanku. "Eh, kak Ale, mau ke mana?" "Mau jemput Kitna. Kamu dari mana?" Kak Ale keluar dari dalam mobil. "Dari rumah Bi Alya." "Aku mau nganter kamu pulang tapi tanggung. Rumah kamu cuma 30 meter dari sini." Aku sontak tertawa. Kak Ale memang selalu bisa memperbaiki suasana hati. Jenis laki-laki idaman. "Kak Ale kapan balik ke Jerman?" "Dua minggu lagi, InsyaAllah. Kenapa? Mau ikut?" Aku tersenyum tipis, menggeleng. "Eh iya, selamat ya, kak.." "Untuk?" "Kan bentar lagi mau wisuda." Kak Ale tersenyum hangat. "Makasih ya.." "Wah udah spesialis nih ya. Mau kerja di mana?" "Belum tau. Lihat situasi dulu. Abah sama Bunda pengennya di Indo, tapi lihat rezeki lah." Dia sekali lagi tersenyum. Astaga. Kenapa senyumnya adem banget? Kayak kulkas. Syejuq. "Hm, amin deh. Yang terbaik buat kakak. Oh ya, aku buru-buru nih. Aku balik dulu ya." Rasanya aku hanya pergi sebentar. Tapi saat balik tau-tau sudah ada dua mobil di rumah. Bukan mobil Abi. Soalnya Abi nggak pakai mobil jenis seperti itu. Abi sukanya mobil ganas kayak Range Rover. Apa mereka udah datang? "Mereka udah datang, kak?" Aku lewat pintu belakang. "Nggak tau. Udah mungkin. Tapi belum masuk rumah." "Mereka udah mau datang. Udah siap kan?" Umi muncul sudah dengan pakaian rapi. Karena aku menolak menampakkan diri, alhasil Umi dan kak Noorah harus rela bolak balik. Soalnya Mbok Ta, ART di rumah sedang izin pulang kampung. Soalnya ini masih dalam suasana lebaran. Jadilah Umi dan kak Noo yang mempersiapkan segalanya. Pekerjaan dapur sudah hampir selesai. "Ai, ambilin ember yang di dekat bunga lily itu ya. Bawa ke sini.." pinta Umi. Aku menurut. Menuju ke taman samping. Saat itulah tak sengaja aku mendengar seseorang bicara. Karena penasaran aku mengintip dari balik pohon tanaman Abi. Seorang laki-laki sepertinya sedang menelpon. Tampilannya, hm, celana biru navy, kemeja putih, jas warna senada dengan celana. Lumayan. Dia berbalik. Wew. It's more than lumayan. Dia tampan. Sungguh. "Harusnya kalian bantu aku. Astaga. Percuma bicara sama kalian. Kalau nggak niat membantu nggak usah telpon!" Ujarnya terdengar kesal. Laki-laki itu menghela napas. "Emang sih nggak benar-benar buruk. Tapi maksudku, hey, kalian tau kan, namanya aja udah terdengar aneh. Kintani Aisyah. Apa nggak ada nama yang lebih aneh dari itu? Mana aku nggak lihat mukanya lagi." Astaga. Apa dia baru saja menghina namaku? Rasa kagumku hilang seketika. Dia menghina namaku. Dasar laki-laki menyebalkan. Beraninya dia. Aku rasanya ingin memukul kepalanya dengan ember ini. "Cantik katamu. Bagaimana kalau ternyata foto itu palsu? Bagaimana kalau ternyata dia nggak punya hidung? Atau hidungnya bengkok? Terus ternyata gigi depannya nggak ada?" Aku mendengus. Melipat tangan di d**a. Nggak ada gigi katanya. Hidung bengkok? "Di foto kayaknya alisnya disulam." Aku melotot. Alis disulam? "Ai, kamu ngapain dis—" "Kak sttt.." aku langsung memberi kode pada kak Noo dan langsung membawa kak Noo masuk. Hampir saja ketahuan. Kalau ketahuan mengintip kan berabe. Untung kak Noo nggak sewot pengen tau. Setelah semua selesai, kak Noo dan Umi meninggalkan dapur dan menyambut tamu. Aku? Aku memilih pergi ke taman belakang. Duduk di ayunan di bawah pohon mahoni. Aku membuang napas pelan. Pernikahan ini terasa semakin nyata. Aku benar-benar akan menikah? "Dia bilang namaku aneh? Sulam alis? Hidung bengkok?" Aku mencibir. "Lihat aja nanti. Apa dia masih bisa ngomong gitu." Aku menarik napas dalam. "Btw, dia cukup muda untuk umur 30 tahun.." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD