Kesabaran Cakrawala

1311 Words
Dua hari berlalu dari perdebatan panjang Embun dengan kedua orangtuanya. Pada akhirnya wanita itu terpaksa menerima keputusan keluarga besarnya, untuk menikah dengan Cakrawala. Meski hati merasa kesal, tetapi dia harus rela mengalah agar Mamanya tidak pergi lagi dari rumah mereka. Embun bersama Indra sudah dinyatakan sehat oleh Dokter yang menangani keduanya. Namun Embun diharuskan bed rest agar janinnya tetap kuat. Cakrawala sendiri sangat bersyukur Embun mau menuruti perintah Dokternya, dari sejak awal mengetahui Embun mengandung darah daging dirinya, Cakrawala bertekad menjadikan wanita itu istri sekaligus ibu dari anaknya tersebut. Bahkan Cakrawala tak segan untuk tetap menunggui Embun walaupun berkali-kali wanita itu mengusirnya. Seperti sore itu Embun tengah cemberut karena Cakrawala masih betah berada di kamar dirinya. Tarikan napas dalam Cakrawala, jelas terlihat. Rupanya pria itu mati-matian menahan kekesalan dihatinya atas sikap sang wanita. Namun dia harus tetap tenang juga sabar menghadapi Embun. Dengan penuh kehati-hatian dia mencoba merayu wanitanya itu. "Embun, tolong bersikaplah dewasa. Jangan kekanak-kanakan terus. Saya disini ingin mengurus kamu. Nyonya harus mengurusi Tuan, apa kamu tidak kasihan sama dia harus ngurus dua orang yang sakit?" tanya Cakrawala lembut. "Nggak! Apa urusannya lo mau ngurusin gue, hah? Siapa elo? Pokoknya gue gak mau. Elo harus cabut dari hadapan gue sekarang juga. Cepat!" bentak Embun dengan mata melotot, terpancar kilatan amarah disorot mata bulatnya. "Embun. Kamu jangan begitu, Nak. Sengaja Mama minta bantuan Cakrawala untuk jagain kamu. Mama nggak bisa harus mengurus dua orang yang sakit sekaligus. Kamu tahu kan Mama udah tidak muda lagi, udah cepat lelah." Rosa memberi pengertian pada putrinya itu. "Ma-ma!" ucap Embun terbata-bata. Dia tidak menyadari kehadiran Mamanya disitu sebelumnya. Fokusnya hanya pada pria yang kini tengah menatap dirinya dengan wajah sendu. Semakin muak Embun dibuatnya melihat ekspresi yang ditunjukan Cakrawala. Wanita itu mendengus kesal. "Kamu harus bersikap baik pada Cakrawala, Sayang. Dia yang akan menjadi imam kamu," ucap Rosa seraya mengelus lembut tangan sang putri. "Mah boleh gak, tolong batalkan rencana pernikahan itu? Karena aku nggak sanggup kalau harus hidup bareng dia. Bagaimana kami bisa hidup bahagia jika didalamnya tidak ada cinta sama sekali. Please, Mah." Mohon Embun dengan sorot mata sendu. Tarikan napas berat Rosa begitu kentara sekali, wanita itu membalas tatapan sang putri tak kalah sendu. Sedangkan Cakrawala membuang muka dengan raut kecewa, bahkan matanya sampai berkabut, tetapi pria itu sembunyikan. "Maaf Nyonya boleh saya menumpang kamar mandinya? Saya sudah tidak tahan ingin buang air kecil," izin Cakrawala pada Rosa. Pria itu sengaja meminta izin agar dirinya bisa mengekpresikan rasa kesalnya di dalam kamar mandi nanti. Cakrawala sudah tak bisa menahan rasa kesal juga kecewa karena sikap yang ditunjukan Embun. "Kamu mau pakai kamar mandinya? Boleh, silakan." Jawab Rosa. Namun tiba-tiba seruan penolakan terdengar dari bibir Embun. "Jangan! Elo bisa memakai kamar mandi yang ada diluar. Itu privasi, elo jangan lancang, ya." Cegah Embun sambil memelotkan matanya. "Sutt, tidak boleh gitu, Sayang. Biarkan Cakra memakai kamar mandi yang ada di sini aja." Rosa menimpali omongan sang putri. "Cakra kamu boleh memakai kamar mandi itu." Cakrawala bergeming, pria itu merasa bingung harus mengambil sikap bagaimana. Dia hanya diam mematung tak beranjak sama sekali. Embun sendiri kembali membuang muka saking kesalnya. Lagi-lagi dia harus mengalah. Hening. "Cakra." Seru Rosa memecah keheningan. Mendengar namanya dipanggil membuat Cakrawala tersadar. Pria tersebut menolehkan mata seraya menjawab seruan dari Rosa. "Oh, iya, Nyonya. Maaf ada apa?" tanya Cakrawala sedikit gugup. Tampak Rosa menghembuskan napas berat. Wanita paruh baya itu merasa iba atas perlakuan sang putri pada Cakrawala, hingga pemuda itu tampak tak fokus. "Kamu ingin memakai kamar mandinya 'kan? Silakan pakai saja jangan ragu," ucap Rosa sambil tersenyum hangat. Gelengan kepala Cakrawala berikan. Sepertinya pria tersebut enggan untuk memaksakan keinginannya, setelah melihat ekpresi yang ditunjukan Embun. Sampai-sampai Rosa mengerutkan kening merasa heran atas penolakan Cakrawala. "Kenapa kamu tidak jadi ke kamar mandinya? Kalau mau buang hajat jangan ditahan, bisa-bisa nanti kamu sakit lho, Cakra. Ayo jangan sungkan, lagi pula nanti jika udah sah menikah bakal jadi milik kalian berdua." Ucap Rosa setengah memaksa. "Tapi, Mah—" protesan Embun terpotong oleh angkatan tangan Rosa sebagai tanda harus diam. Gadis itu hanya bisa cemberut tak kuasa melawan keputusan mamanya itu. Cakrawala semakin merasakan dilema. Namun demi untuk menutupi kepura-puraannya pria mengabaikan protesan Embun. "Baik Nyonya terimakasih atas pengertiannya. Saya sudah tidak tahan lagi, permisi." Ucap Cakrawala sambil gegas masuk ke dalam kamar mandi tanpa melihat Embun. * * * Hari berganti malam, Cakrawala tampak gelisah. Berulangkali pria itu duduk lantas berdiri lalu duduk kembali, seakan dia mendapatkan posisi yang tidak nyaman. Gerak-gerik pria tersebut tak luput dari penglihatan Embun yang tengah terbaring di ranjangnya. Kening Embun mengkerut, merasa aneh atas sikap yang diperlihatkan Cakrawala yang tak seperti biasanya. Namun dia tak mau ambil pusing. Bodo amat Cakrawala mau melakukan apapun. Namun lama-lama wanita itu merasa gerah juga dengan tingkah Cakrawala yang tak bisa diam. Saking kesal juga merasa terganggu, Embun pura-pura tidur dengan sengaja memejamkan kedua matanya. Tampak Cakrawala semakin gelisah, bahkan pria tersebut kini tengah berjalan mondar-mandir seperti orang yang tidak ada kerjaan. "Ckk, ngapain sih lo mondar-mandir terus? Apa gak ada kerjaan yang lain lagi? Atau ada janji ketemuan sama pacar lo, udah sono pergi. Pusing gue lihat lo yang gak bisa diam," akhirnya Embun tak tahan juga, wanita itu langsung menyemprotkan protesannya. Sejenak Cakrawala menolehkan wajah, bahkan tubuhnya yang tengah berjalan langsung diam membeku. Dia menatap Embun yang juga tengah menatapnya. Pertemuan dua manik mata berbeda pemilik tak terelakan lagi. Namun gegas Embun membuang muka tak ingin berlama-lama mereka terjebak dalam tatapan yang terasa aneh. Cakrawala sendiri hanya bisa menghembuskan napas gusar. "Embun, bolehkan saya minta izin untuk keluar sebentar. Saya janji akan cepat kembali lagi kesini." Cakrawala memberanikan diri minta izin pada wanita yang kini tengah memunggunginya setelah mereka tadi saling bertubrukan pandangan. Tak ada respon apapun dari Embun. Perempuan itu bergeming seakan tak mendengar dengan apa yang diucapkan Cakrawala. "Saya tahu kamu belum tidur dan saya tahu juga jika kamu mendengar apa yang salah bilang. Sekali lagi saya izin, boleh tidak saya keluar sebentar?" tanya ulang Cakrawala sambil mengusap lengan Embun lembut "Ckk, apaan sih bawel banget. Hey, berani banget lo sentuh-sentuh gue. Pergi aja sana, gak usah izin sama gue. Lo kira gue itu siapanya elo," sungut Embun sambil membalikan tubuhnya dan menatap nyalang Cakrawala. "Jangan marah, saya hanya menghargaimu saja. Jika kamu tidak suka, maaf." Ucap Cakrawala lembut. Mati-matian pria itu menahan rasa kesal di hatinya mendengar ucapan Embun. Namun sebagai pria yang sudah cukup dewasa dia belajar memahami sikap Embun. Embun mendengus kesal mendapati jawaban dari Cakrawala. Wajah cantiknya ditekuk sedemikian rupa. Hembusan napas kasar kembali terdengar dari mulut Cakrawala. "Ya sudah saya pamit. Kamu istirahat saja. Secepatnya saya akan kembali." Tak menunggu jawaban dari Embun, pria itu membalikan badan lantas melangkah menuju pintu. Embun sendiri hanya diam menatap kepergian Cakrawala yang semakin menghilang di balik pintu. Perasaan perempuan itu campuraduk. Rasa benci pada Cakrawala semakin kuat mengakar di dalam hatinya. Tak terasa cairan bening menetes di kedua pipi mulus Embun. "Tuhan kenapa semua ini terjadi padaku?" Embun menangis tersedu-sedu sendirian. Sesak di dadanya begitu kuat terasa. Apalagi rasa mual kembali menyeruak hingga dirinya tak kuat menahan. Perlahan perempuan itu bangkit dari ranjangnya berjalan perlahan menuju kamar mandi. Entah kenapa setiap dirinya merasakan sedih karena merutuki nasib harus menikah dengan Cakrawala, perasaan mual selalu datang lebih kuat. Seolah janin dalam kandungannya sedang memprotes dirinya. Setelah memuntahkan isi perutnya, kembali Embun membaringkan tubuh lemasnya di ranjang. Wanita itu mencoba memejamkan kedua matanya berharap bisa tertidur dengan nyenyak, dan esok harinya bisa merubah keadaan terlepas dari semua masalah yang tengah dialaminya. Waktu hampir mendekati dini hari, Embun kembali terbangun. Wanita itu merasakan tenggorokannya kering. Tangannya menggapai gelas yang ada di nikas. Namun tiba-tiba uluran tangan seseorang telah memberikan gelas berisi air putih itu. "Kamu haus? Nih saya ambilkan." Jantung Embun berpacu dengan cepat tidak seperti biasanya. Wanita itu perlahan berusaha mengumpulkan nyawanya kembali. Gelas berisi air itu hanya Embun tatap tanpa berminat mengambilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD