Sikap aneh Indra

1310 Words
"Sayang," ucap seseorang kembali. Kedua orang yang tengah berdebat itu, langsung menolehkan mata. Kelopak mata keduanya membelalak memandang orang tersebut dengan rasa tak percaya. "Mama!" pekik Embun begitu antusias, sampai wanita itu tak sadar saking senangnya melihat Rosa yang tengah berjalan mendekat kearah ranjangnya. Namun ringisan kecil wanita tersebut berikan setelah melihat wajah dunianya itu, kini ada di sana bersama dia. Cakrawala yang menyadari wanitanya tengah menahan sakit, langsung bertanya. Pria tersebut takut hal buruk terjadi lagi pada Embun juga calon bayi mereka. "Kamu baik-baik saja? Jangan terlalu banyak gerak. Ingat pesan, Dokter!" peringat Cakrawala seraya mengelus lembut perut Embun yang masih rata. "Apaan, sih?" bentak Embun sambil menepis tangan Cakrawala. Sepertinya wanita itu merasa sangat jijik akan sentuhan Cakrawala. Terlihat dari raut wajahnya yang menunjukan rasa kesal yang mendalam. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Rosa ingin mengakhiri perdebatan Cakrawala dengan putrinya. Wanita paruh baya tersebut memeluk hangat sang putri yang tengah terbaring lemah. Hati kecilnya merasa tersentil melihat kondisi sang putri yang semakin kurus dengan wajah memucat. Mendapat pelukan dari sang mama yang sangat dirindukannya itu, air mata Embun langsung meleleh. Dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya di depan Rosa. Dengan suara parau gadis itu, langsung mengeluarkan unek-unek dalam hatinya yang selama ini dipendamnya sendiri. "Mama, aku sangat merindukan mu. Kenapa Mama perginya lama? Dan Mama tahu? Aku sangat kesal melihat dia terus gentayangan didekat aku," rajuk Embun dengan bibir mengerucut. Gadis itu menatap tajam Cakrawala yang tengah menatapnya pula. "Sutt, kamu tuh ya, sembarangan aja kalau ngomong. Masa iya Cakrawala disebut gentayangan. Kamu pikir dia itu hantu," ucap Rosa seraya tersenyum lembut. "Tapi memang iya, Mah. Dia terus-terusan ngintilin aku, sampai-sampai risih dibuatnya. Apalagi sejak aku sama Papa dirawat, makin menjadi lah dia." Adu Embun seperti anak kecil. Rupanya gadis itu merasa tak terima Cakrawala yang merawat dirinya. Kehadiran Rosa disana membuat gadis tersebut bisa menumpahkan segala kekesalannya. "Maaf, Embun. Bukan maksud saya mengintil terus, tapi saya hanya takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi sama kamu juga Tuan. Jika ada saya disini, kemungkinan besar saya bisa cepat bertindak. Hanya itu," ucap Cakrawala terdengar lirih. Bahkan pemuda itu menundukan wajahnya dalam seakan ingin menunjukan rasa kecewa karena tidak diinginkan. "Halah kamu itu cuman modus saja, Cakra. Yang ada kamu sengaja memanfaatkannya 'kan? Karena gue tahu trik jahat lho," ucap Embun sambil melototkan kedua bola matanya. "Tidak. Niat saya benar-benar tulus dari hati. Rasa khawatir saya semakin menjadi saat mengetahui kamu berniat membuang calon bayi kita," ucap Cakrawala terdengar lirih. Bahkan pria itu lupa dengan panggilan Non yang selama ini dia sematkan untuk Embun. Hatinya terasa getir mendengar tuduhan dari wanita yang sangat dicintainya tersebut. "Bohong!" teriak Embun dengan napas tersenggal menahan amarah. "Sudah.. sudah... kalian itu seperti anak kecil saja. Setiap bertemu selalu saja bertengkar," lerai Rosa pada keduanya sebelum Cakrawala kembali mendebat putrinya. Cakrawala langsung terdiam mendengar leraian Rosa, tapi tidak dengan Embun. Kehadiran Rosa disampingnya seakan timbul kekuatan untuk terus memojokan Cakrawala. "Embun kesal, Mah. Kenapa sih harus dia yang jadi bapaknya anak Embun? Makanya waktu itu Embun gelap mata ingin melenyapkan bayi sialan ini," tunjuk Embun pada perutnya. Sorot matanya memancarkan kebencian yang luar biasa. Hatinya tidak bisa menerima kenyataan pahit itu. "Astagfirulloh, Embun." pekik Rosa. "Kamu itu sangat keterlaluan. Jangan ulangi lagi kesalahan itu. Harusnya kamu mendengar apa kata Mama bukan mengikuti ide gila papa kamu." "Tapi—" kalimat Embun menggantung setelah mendengar pintu kamarnya di buka sangat keras seseorang. "Papa!" pekik Embun. Mendengar suaminya disebut, tubuh Rosa menegang. Wanita itu tak mampu sekedar membalikan badan, untuk menyambut pria yang sudah dua puluh enam tahun hidup bersama tersebut. Sedangkan Indra, kelopak matanya terbuka lebar antara percaya juga tidak percaya wanita yang beberapa bulan tak dilihatnya itu, tengah duduk membelakangi dia. Dengan suara berat pria itu memerintahkan asisten rumah tangganya yang selama ini merawat dirinya, agar mendorong kursi rodanya untuk mendekati wanita yang telah membuat dirinya kalah hingga harus dirawat. "Mah," lirihnya. Rosa masih bergeming. Wanita paruh baya tersebut seolah tuli. Dia sama sekali tak merespon Indra. Hening sesaat, hanya suara detak jantung masing-masing yang terdengar. Indra si pria arogan, kini hanya bisa diam dengan tatapan nanar kearah istrinya. Sedangkan Rosa berada dipersimpangan dilema antara harus menjawab sang suami, atau tetap pada keputusannya untuk tetap diam. Begitu pula dengan Embun juga Cakrawala, mereka menunggu reaksi apa yang akan ditunjukan Rosa. Sesaat menunggu, kembali Indra memberanikan diri untuk bicara pada sang istri yang sampai detik itu pun tak mengubah posisinya masih tetap diam mematung. "Apa kabarnya, Mah? Apa selama pisah dari Papa, Mama baik-baik saja? Mama tahu, Papa sampai harus dirawat karena ditinggal Mama," cerocos Indra seraya semakin mendekat ke arah Rosa. Dengan hati-hati pria itu berusaha bangkit dari kursi rodanya. Melihat itu sang asisten rumah tangga ingin membantu, tetapi tangan Indra mengangkat memberi isyarat untuk tidak membantunya. Suara gaduh membuyarkan lamunan Rosa, wanita paruh baya tersebut baru menyadari jika sang suami tengah bersujud di kakinya. "Pah," lirih Rosa. Sebagai wanita muslim yang tahu aturan, Rosa cepat membantu suaminya agar berdiri. Meski kepayahan, tetapi Indra kembali bisa berdiri dan berhadapan dengan Rosa. "Maafkan Papa, Mah." Ucap Indra seraya memeluk tubuh istri yang selama ini dirindukannya. Cairan bening yang sedari tadi menganak sungai karena ditahan Rosa, akhirnya jebol juga. Rosa terisak dalam rengkuhan Indra. "Maafkan Mama juga, Pah. Mama salah sudah menelantarkan Papa sampai harus masuk rumah sakit." "Mama tidak salah. Disini kesalahan semuanya berada di tangan Papa. Putri kita harus masuk rumah sakit karena salah Papa juga. Mama jangan pergi lagi karena Papa tidak sanggup harus berpisah dengan Mama. Papa janji akan menuruti kemauan Mama asal Mama tetap berada di sisi Papa." "Pah! Kemauan Mama apa yang dimaksud? Kalau Embun harus menikah dengan dia, Embun gak setuju. Lebih baik Embun mati saja," ancam Embun sambil mendengus kesal. Gadis itu tersulut emosi setelah mendengar percakapan kedua orangtuanya. "Tidak ada jalan lain Embun, selain kamu harus menurut kepada kami. Papa tidak mau Mama pergi lagi dari hidup Papa. Kamu jangan egois," ucap Indra penuh penekanan. "Egois, kata Papa?! Disini siapa yang egois? Aku atau kalian, hah? Pokoknya aku gak mau harus menikah dengan Sopir itu." Tunjuk Embun pada Cakrawala. Mendapatkan penolakan mentah-mentah dari Embun tidak membuat Caktawala sakit hati, justru sebaliknya dia semakin yakin akan membuat wanita yang berada dihadapannya itu, takluk dan berbalik menjadi bucin. "Ya, kamu egois tidak memikirkan calon bayi itu. Perut kamu akan semakin membuncit, Embun. Papa tidak mau sampai orang-orang tahu kamu hamil tanpa suami." Kening Cakrawala mengkerut menandakan keheranan tengah dia rasakan. Betapa tidak, Indra yang sebelumnya sangat membenci dirinya, tiba-tiba berbalik baik dan menyetujui pernikahan dia dengan putrinya. "Carikan saja pria bayaran buat nikahin Embun pura-pura. Setelah anak sialan ini lahir, Embun akan menceraikan dia. Embun lebih suka begitu daripada harus menikah dengan dia. Sudah tidak punya masa depan menyebalkan lagi. Apa kata teman-teman Embun nanti jika mereka tahu, Pah. Embun pasti akan diejek habis-habisa," keluh gadis itu sambil membuang muka setelah bertemu tatap dengan Cakrawala. "Istighfar, Embun. Mama tidak akan pernah setuju kamu menikah dengan laki-laki lain. Jika kamu masih membantah dan Papa menyetujui keinginan Embun, maaf lebih baik Mama pergi lagi dan takakan kembali." Gertak Rosa dengan suara tercekat. Hati Rosa terkoyak setelah mendengar hinaan demi hinaan yang Embun lontarkan pada Cakrawala. Sebagai seorang ibu, dia merasa gagal mendidik putrinya itu. "Kenapa, Mah? Memang semua yang Embun katakan itu benar adanya 'kan? Itu kenyataannya," ucap Embun enteng. Pria yang tengah menjadi bahan perdebatan keluarga tersebut, hanya bisa menundukan kepala rasanya ingin ikut mendebat, tetapi dia takut akan semakin menjadi runyam. Untuk itu Cakrawala lebih memilih diam. Helaan napas berat Indra hembuskan. Disini dia harus tegas agar istrinya tidak pergi meninggalkan dia lagi. Kepergian Rosa sudah membuat dia gila. "Setuju atau tidak setuju, keputusan Papa sudah tidak bisa dibantah kamu harus menikah dengan dia. Dan kamu jangan coba-coba melenyapkan janin itu, kalau sampai nekat kamu harus tanggung akibatnya." Ujar Indra terdengar tegas seraya melirik Cakrawala yang tengah diam mematung di belakangnya. "Tidak!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD