Bagian 3

1015 Words
"Aduh ... tidak ada darah?" Aku merasa aneh saat melihat tanganku yang telah memegang pelipis masih bersih tidak berdarah. Aku selamat, bagaimana mungkin timah panas itu tidak mampu melubangi kepalaku. Ini adalah keajaiban. Terima kasih Tuhan. "Orang asing? Kenapa dikau bisa ada disini?" Suara berat terdengar samar di telingaku. Karena bagaimanapun juga telingaku ini masih berdengung, suara senapan tadi seakan masih bersarang di kepalaku. Baru saja aku menyatakan euphoria karena selamat dari kematian. Aku baru menyadari kalau aku berada di sebuah tempat, yang ... ee ... bagaimana harus kujelaskan. Ini gelap, kosong, tidak ada batasnya. Penglihatanku seakan tak ada ujungnya, namun batas penglihatanku seakan berhenti tepat di depanku. Entah bagaimana harus kujelaskan. "Busana apa yang engkau kenakan itu kisanak?" Astaga, aku lupa pada suara yang menyapaku. Aku menoleh ke arahnya. Hah? Pemain film kolosal? Apa ada seorang yang mengerjaiku. "Kisanak, berasal darimanakah anda?" "Sepertinya dia bukan berasal dari tempat kita ksatria." Aku mendengar percakapan kedua orang itu. Satu orang cukup muda, usia 30-an sama sepertiku, dan semakin kuteliti wajahnya mirip denganku, hanya saja dia berambut panjang. Dan menggunakan kostum seperti sedang bermain film kolosal. Satu orang lagi adalah orang tua. Bahkan mungkin lebih tua dari bos Javid. Dia tampak kurus, tulang rusuknya jelas terlihat dibalik baju lusuhnya, sangat berbanding terbalik dengan orang disebelahnya, yang begitu kekar dengan otot yang menonjol di perutnya. Semakin dipikir orang ini memang memiliki fisik yang sama denganku. "Apakah kisanak baru saja mengalami kematian?" Orang berwajah mirip denganku itu menyentuh pundakku. Aku sontak memandang ke arahnya. "Kematian?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku melihat pada telapak tanganku, meraba tubuh dan kepalaku. Semua utuh. Tapi apa ini adalah wujud rohku. Aku, Sang Pembeku Lidah. Namun kini lidahku sendiri yang menjadi beku, kelu. Aku tak mampu menjawab pertanyaan orang di hadapanku. Perasaan takut apa ini? Energi negatif yang tiba-tiba menjalar di dadaku. Membuat napasku sesak dan jantungku berdegup kencang. "A - aku ma - ti?" Sahutku terbata-bata. Aku ingin mengelak kenyataan. Mungkin benar ini hanyalah rohku. Aku menutup telingaku, aku tak sanggup mendengar jawaban dari orang di hadapanku. Kepalaku berkeringat dingin, seluruh tubuhku bergetar. Sungguh sebuah aura kematian yang begitu mencekat. "Hei Mpu bodoh! Kenapa kau masih disitu? Cepat tolong orang ini!" Orang tersebut tampak memanggil orang tua yang berada jauh di belakangnya. "Aku tidak mengerti! Aura kematian milik orang tersebut sedang menyiksanya, sepertinya dia melakukan banyak kesalahan di kehidupannya!" Ucap orang tua yang dipanggil mpu tersebut. Aku memang kini masih merasa kesakitan, mungkin benar apa yang orang tua itu katakan. Jika memang aku sudah mati, aku pasti tidak akan mendapat kematian yang damai. "Aku akan mencoba menolongnya!" Ucap sang mpu. "To - tolong!" Seumur hidupku baru kali ini aku memohon pada orang lain. Ah, aku salah, aku sudah tidak hidup lagi. Mungkin, aku harus mati dulu baru bisa merasakan bagaimana mengais permohonan pada orang lain. Aku kesulitan menghirup napasku, apakah sesakit ini mati? Aku melihat pak tua itu menghampiriku, dia menyentuh dahiku. Hangat! Sangat nyaman! Kini aku bisa menghembuskan napasku dengan normal kembali. Aku mengangkat kepalaku, menghirup oksigen sebanyak yang aku bisa. "Tapi ini tidak bertahan lama, kematian akan menyiksanya kembali setelah ini," orang tua itu berkata seakan meminta kembali permen yang telah ia berikan pada anak kecil. "Maaf! Tempat apakah ini?" Tanyaku memberanikan diri. "Saya juga kurang mengerti kisanak, yang jelas kami berdua juga telah mengalami kematian, sama sepertimu!" Jawab pemuda yang berwajah mirip denganku itu. "Panggil saya Darma, dan ini Mpu Kasinoman." Orang itu membungkukkan badannya. "Saya Adharma," jawabku. Darma? Adharma? Bahkan nama kita juga hampir mirip. Aku mencoba mengajak pemuda di depanku bersalaman, dia menyambut tanganku. "Aargh," energi apa ini? Kulihat Darma juga kesakitan karena bersalaman denganku. "Tunggu! Jabatkan tangan kalian sekali lagi! Aku melihat bahwa ada sebuah kesatuan dari kalian!" Sang mpu berkata. Tapi baik aku maupun Darma, kami saling berpandangan seakan enggan mengikuti saran dari sang mpu. Karena kami merasakan rasa sakit yang begitu menyiksa di bagian tangan kami saat kami bersentuhan. "Percayalah padaku! Mungkin jawaban atas masalah kalian berdua!" Jelas mpu. "Masalah, maksudmu?" Tanyaku. "Begini nak, aku mengalirkan energi matahari yang kumiliki untuk menyembuhkanmu, tapi itu sifatnya sementara, sesaat lagi kematian akan menyiksa jiwamu lagi. Sementara Darma, dia juga punya masalahnya sendiri." Darma mengangguk mendengar penjelasan dari sang mpu. Apa masalah yang dimiliki Darma? Ah, masa bodoh! "Ayo!" Ajak Darma padaku. Dia mengulurkan tangannya lagi. Entah mengapa, aku merasakan Darma memiliki jiwa yang begitu ksatria. Dia begitu pemberani, dan seakan dia adalah jenis orang yang akan membantu tanpa pamrih. Sepertinya jika kita hidup pada masa yang sama, dia akan menjadi lawan yang cukup tangguh bagiku. Aku tidak boleh kalah darinya. Rasa sakit ini kecil bagiku. Kusambar saja tangan Darma, dan terjadilah. "Aarrgh ... aarggh ... " raungan dari kita berdua terus bersahutan pada ruang tak berujung ini. Aku terlalu meremehkan rasa sakit ini. Kulitku seakan disayat dari ujung kaki hingga kepala. Tulangku seakan dicabut paksa dari tubuhku. Aku merasakan pula panas yang membakar pada seluruh tubuhku. Aku tak bisa bertahan lagi. *** "Aaw," aku menutup mataku dari sorot matahari yang menyilaukan. "Dimana ini?" Aku menyadari jika aku tidak berada di tempat yang tadi. Tidak ada Darma, tidak ada Mpu Kasinoman. Aku meraba tempat tidurku. Hanyalah kayu, tidak berkasur. Aku mengamati ruangan di sekitarku, sebuah bilik bambu, bukan bangunan yang yang terbuat dari dinding. Aku mencoba turun dari ranjang. Tanah. Kakiku langsung menginjak tanah, bahkan rumah ini tidak memiliki ubin. "Kanda ... Kanda Darma? Kau bangun?" Seorang laki-laki seumuran denganku begitu histeris dan berlari menghampiri. Dia tidak pernah ada dalam hidupku. Namun aku merasa begitu mengenalnya. Aku tau dia, dia adalah Indrajaya. Seorang pangeran dari kerajaan Panca Tirta, adik kembarku. Aku merasa sangat menyayanginya. Perasaan ini begitu lucu. Aku bisa menyayangi orang lain, bahkan aku tidak pernah memiliki saudara. Yang kutahu, hanya bos Javid yang sudah merawatku. "Kanda ... kau pulih?" Dia mendekatiku sambil melihat dadaku. "Luka dari keris kasinoman hilang, aku sungguh tidak percaya, Ibu kau harus lihat ini!" Ucapnya lagi. Kemudian seorang wanita berpakaian kebaya mirip dengan Raden Ajeng Kartini mendekat. Matanya berkaca-kaca melihatku, dia memelukku.Sekali lagi ada perasaan aneh ini. Aku menyayanginya seperti ibu kandungku sendiri, dan aku mengenalnya sebagai ratu. *** Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD