Kemudian dia pun mendekat. “Bangun! Aku tau kamu tidak tidur,” ujar Surenpati.
Lalu mendengar Surenpati berkata demikian, gadis bercadar merah itu pun mengangkat kepalanya. Dia tak berani menatap Surenpati.
“Jadi sejak tadi kau tidak tertidur?” tanya Surenpati menginterogasi.
Namun gadis itu diam saja enggan menjawab.
“Baiklah, aku tak akan mempermasalahkannya. Namun jika hal seperti ini terjadi, kau harus mencari pertolongan. Apalagi jika semua anggotamu tidak sadarkan diri.” Surenpati pun pergi meninggalkan gadis bercadar merah tersebut.
“Maafkan aku, Ksatria! Aku hanya takut mereka membunuhku.” Gadis itu merendah dan memang benar-benar terlihat ketakutan.
“Tunggu tunggu! Kau panggil aku dengan sebutan apa tadi?” tanya Surenpati.
“Ksatrian! Kau adalah ksatria dari Panca Tirta yang terkenal itu, kan?” tebak sang gadis.
Surenpati pun menegak ludahnya sendiri. Belum panjang perjalanannya, ia sudah dipergoki oleh seorang gadis. Dia mengingat-ingat nama Panca Tirta adalah nama kerajaan milik Darma dulu. Kerajaan yang tahtanya diwariskan pada Indrajaya atau sekarang disebut Surenjaya.
“Aku ... bukan Ksatria dari Panca Tirta, aku hanya warga dari perbatasan saja.” Surenpati mengelak.
“Jangan berbohong, aku sangat mengingat wajahmu walau hanya beberapa kali pertemuan saja.”
“Anda sepertinya salah orang, Nona. Nama pemuda ini adalah Surenpati, dia bukan Ksatria seperti yang Anda katakan.” Seseorang menjawab mewakili Surenpati.
Pemuda itu pun menoleh, ternyata Sadana sudah sadarkan diri.
“Paman sudah bangun?” tanya Surenpati.
“Ya, hanya kepalaku saja sedikit pusing.”
Surenpati pun meninggalkan gadis bercadar tersebut dan dia kembali bergabung dengan Sadana.
“Tunggu!” Gadis itu menghadang Surenpati. “Aku tidak mungkin salah.”
“Nona Cantik, jangan seperti ini. Jika ayahmu bangun nanti, dia akan merasa malu melihat anak gadisnya mengejar seorang pemuda seperti ini.” Sadana mengingatkan pada gadis tersebut.
Hingga gadis itu pun sadar akan dirinya lalu mundur beberapa langkah.
“Sekali lagi terima kasih, Paman.”
“Justru aku dan pengunjung lain yang berhutang budi padamu. Lagi-lagi kau menyelamatkan aku dari para orang jahat. Terima kasih, Surenpati. Aku banyak berhutang padamu!”
Tak lama kemudian, para pengunjung yang lain pun ikut terbangun. Ternyata efek dari obat tidur itu tidak terlalu lama. Hari sudah gelap jika melihat di luar penginapan sana, hal itu membuat Surenpati mau tidak mau harus menerima tawaran Sadana untuk menginap di penginapan tersebut.
Surenpati menempati sebuah kamar yang berisi empat ranjang kosong. Sadana menyewa kamar ini, untuk tidur mereka bertiga dan membiarkan satu ranjang kosong. Bukan apa-apa, namun karena di penginapan ini tak ada kamar dengan tiga ranjang kosong, maka ia terpaksa memesan kamar dengan empat tempat tidur.
“Paman Sadana, boleh aku menanyakan sesuatu?” ujar Surenpati ketika mereka sedang berada di kamar.
“Tinggal tanyakan saja, tak perlu bertanya.”
“Apakah paman tau mengenai Guru Chen?” Surenpati mengingat percakapan para anggota perampok tersebut yang menyebutkan nama Guru Chen. Dia merasa penasaran, kenapa dirinya dikira sebagai murid dari Guru Chen hingga membuat anggota perampok terpukul mundur. Lalu sehebat apa Guru Chen, jika mendengar muridnya saja para perampok itu langsung terpukul mundur.
“Guru Chen ya? Nama itu sangat terkenal dalam dunia persilatan. Hanya saja aku tidak banyak mendengar tentangnya. Jika kau bertanya pada Saudagar Bajra mungkin dia bisa memberimu penjelasan.” Sadana memberikan penjelasan.
“Saudagar Bajra?”
“Kau ingat gadis bercadar merah yang ingin bertanya padamu tadi? Dia adalah anak dari saudagar Bajra, si pengepul sutra yang juga memiliki pengolahan benang dan kain sutra.”
Surenpati mengangguk ketika dia mengingatnya. Ia agak malas untuk bertemu dengan gadis tadi, bagaimana jika gadis tersebut bersikukuh untuk mengatakan dirinya adalah Ksatria Darma? Itu akan menjadi masalah baginya di kemudian hari.
“Jadi ... bagaimana, Surenpati? Kau mau bertemu dengan Saudagar Bajra sekarang?” tawar Paman Sadana.
“Apa itu tidak akan mengganggu beliau, Paman?” tanya Surenpati. Bagaimanapun juga ia takut orang tua itu sedang beristirahat. Selain itu, dia juga malas bertemu dengan anaknya.
“Tentu tidak, Anakku. Dia sendiri juga pasti mencari teman mengobrol untuk sekarang. Akan kuantar sekarang kau ke kediamannya yang tidak jauh dari sini.”
Surenpati pun berpamitan pada sang kusir untuk pergi dengan Sadana. Kusir itu tampak lelah dan membiarkan mereka berdua pergi, karena dia sendiri sudah sangat mengantuk sementara besok pagi harus mengantar Sadana dan kembali mengendali kuda.
Penginapan ini terletak di lantai dua, jadi mereka pun harus turun terlebih dahulu untuk keluar dari penginapan. Di lantai satu penginapan ini terdapat rumah makan yang menyediakan berbagai jamuan.
Namun pucuk dicinta ulam pun tiba, ternyata Saudagar Bajra masih berada di tempat tersebut dan kini sedang mengobrol dengan pedagang lainnya.
“Saudagar Bajra banyak mengenal cendekiawan di kota ini. Mungkin Guru Chen adalah salah satu yang dikenalnya. Aku hanya pernah mendengar namanya, dia memang guru bela diri yang terkenal,” jelas Sadana sebelum mereka bertemu dengan sang saudagar.
Kemudian, tanpa kesulitan Sadana bisa membawa Surenpati duduk dalam satu lingkaran dengan saudagar Bajra dan bergabung dalam obrolan mereka. Pantas saja Sadana bisa menjadi pedagang yang sukses, meskipun ia tinggal di kampung yang jauh. Karena pria paruh baya ini memiliki kemampuan untuk melobi orang lain bahkan mendekat orang sekelas Saudagar Bajra.
“Oh, jadi ini pria yang sedang memporak porandakan hati putriku?” sambut Saudagar Bajra ketika Sadana memperkenalkan Surenpati padanya.
Surenpati hanya menundukkan pandangannya. “Salam kenal, Tuan Saudagar Bajra.”
“Ah, terima kasih. Ada apa kau ingin menemuiku? Sebelumnya aku harus berterima kasih padamu karena telah menolong orang-orang yang ada di penginapan tadi. Termasuk aku dan putriku. Kau sudah menolong kami. Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Bajra.
“Aku tidak menginginkan apa pun, Tuan Saudagar. Aku hanya ingin bertanya apa kau mengetahui tentang guru Chen?”
“Kenapa kau ingin mengetahuinya? Kau sudah memiliki kemampuan yang hebat, bukankah kau sudah memiliki guru?” tanya Bajra.
Surenpati menggeleng. “Saya belum pernah memiliki guru sama sekali.”
Semua orang di sana merasa tercengang. “Tidak mungkin!”
Mereka semua tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Surenpati.
"Putriku bahkan mengira dirimu adalah seorang ksatria dari panca tirta. Dia kini bahkan sedang menangis karena bersedih. Dia pikir kamu tidak mengenalnya."