“Ternyata ada satu orang lagi yang masih sadarkan diri!” Perampok itu tampak kesal ketika menyadari ada seseorang yang mencekal lengannya.
“Kau urus pemuda itu, aku yang akan membawa gadis ini. Yang lain beroperasi seperti biasa!” Perampok itu langsung berusaha membawa kabur sang gadis.
“Kau tidak akan bisa menyentuh itu barang satu titik pun!” ujar Surenpati sambil menghadang tangan para perampok tersebut.
“Kurang ajar!”
Surenpati pun terlibat pertarungan dengan pimpinan perampok. Kali ini sang pimpinan berbeda dengan codet merah yang ia temui di perjalanan kemarin. Kemampuan perampok ini memiliki ilmu bela diri yang lebih tinggi.
Selain itu terlihat dari pakaian mereka, sepertinya mereka merupakan sebuah geng yang memiliki banyak kekayaan hasil rampasan. Pakaian yang mereka gunakan terbuat dari kain yang mahal, lalu senjata yang mereka gunakan juga bukan golok murahan.
Jika bukan dari hasil rampasan seperti ini, maka mereka memiliki seorang petinggi yang menyokong mereka. Mengingat tempat ini merupakan pusat pemerintahan kerajaan Banyu Sewu. Karena di dalam dunia Adarma yang dulu, masih banyak para petinggi yang menggunakan cara kotor untuk mendapatkan keinginannya. Termasuk membayar oknum seperti ini untuk memenuhi kebutuhan petinggi tersebut.
Jurus yang dipakai oleh pimpinan perampok kali ini, tidak jauh berbeda dari jurus yang digunakan oleh codet merah kemarin, hanya saja ditambah dengan kombinasi senjata yang baik, membuat perampok kali ini terlihat lebih profesional.
Meski Surenpati tidak tahu, jurus apa yang digunakan oleh mereka. Namun setidaknya, ia juga ahli bertarung, sehingga ia bisa merasakan jurus-jurus yang dipakai oleh para ahli bela diri meski tak menguasainya.
Tapi jangan remehkan seorang surenpati, dia adalah Adarma yang merupakan tangan kanan seorang bos mafia. Petarung yang hebat di setiap medan laga. Apa pun aliran bela diri yang digunakan oleh lawan, Adarma selalu bisa mengimbanginya.
Termasuk dengan perkelahian ini. Dia harus menghadapi lawan yang bersenjata, sementara dia tak menggunakan senjata apa pun. Namun ia tak akan sampai menjadi tangan kanan mafia nomor satu jika kalah dalam pertempuran semacam ini. Dengan tubuh yang dimiliki oleh Darma, ditambah dengan jumlah tenaga dalam yang tersimpan di tubuh tersebut, kedua hal itu leibh dari cukup bagi seorang Adarma untuk menjadi pengganti senjata.
Sehingga Surenpati yang sekarang, merasa tak kesulitan menghadapi sepuluh perampok ini sekaligus.
Sayangnya, pimpinan perampok merasa jika dirinya terlalu kuat. Sehingga ia dengan jumawanya ingin menghadapi Surenpati seorang diri. Karena terlihat dari bajunya yang murahan, Surenpati tampak bukan seperti bukan seseorang yang berasal dari padepokan bela diri apalagi dari anggota bangsawan. Maka dari itu, dengan segenap rasa tinggi hati yang menumpuk dalam pikiran sang ketua perampok, ia berusaha ingin menaklukkan Surenpati seorang diri.
“Kurang ajar! Ilmu bela diri apa yang dia gunakan?” tanya sang pimpinan perampok sambil terengah-engah. Sejak tadi Surenpati tak memberikan serangan balasan. Dia hanya menghindar dan membiarkan lawannya menghabiskan tenaga untuk melawan.
Surenpati tidak berkeinginan untuk menjawab pertanyaan perampok tersebut. Ia hanya terus waspada untuk menjaga gadis bercadar merah dan mencegah para perampok itu menyentuhnya. Selain itu, ia juga harus menjaga para tamu perjamuan yang lain dari kegilangan berang. Karena tujuan dari prampok ini semua adalah menggasak harta para pengunjung hingga leudes tak bersisa.
Satu tendangan! Surenpati berhasil mengenai punggung milik seorang perampok yang berusaha mengambil barang milik Sadana.
Barang bawaan perampok hasil rampasan itu berserakan.
Surenpati berhasil mencegahnya namun pimpinan perampok merasa kesal karena lawannya menggagalkan anak buah.
“Hei! Jangan mengurusi yang bukan urusanmu! Lawanmu adalah aku.” Pimpinan perampok itu menggeram kesal.
Surenpati melihat ke sekeliling, sepertinya bangunan ini tidak akan bertahan lebih lama jika SUrenpati memberikan serangan balasan. Mengingat serangan tersebut pasti akan berdampak pula pada bangunan ini.
Namun akhirnya Surenpati berpikir untuk meminimalisir kerusakan. Ia melihat postur tubuh pimpinan perampok itu lalu memperkirakan serangan yang akan berakibat paling fatal dalam tubuhnya.
Hingga akhirnya hanya dalam satu pukulan, Surenpati berhasil mematahkan tulang selang dan dua tulang rusuk milik pria berambut gimbal tersebut.
“Kurang ... ajar ...!” Dia memuntahkan darah sambil memaki Surenpati.
Pimpinan perampok itu merasa harga dirinya runtuh, karena dia dikalahkan oleh seseorang yang bukan dari kalangan bangsawan maupun murid pedepokan mana pun.
Tanpa dia tahu, sebenarnya jika anggota kerajaan mengetahui tentang Surenpati, maka pandangan siapa pun yang ada di tempat ini akan berbeda terhadapnya.
Karena sang pimpinan kalah telak, dia menarik mundur pasukannya.
“Tunggu!” Surenpati menghentikan langkah mereka.
Perampok itu merasa kesal. Apalagi kondisi sang pimpinan yang harus dipapah untuk berjalan.
“Kembalikan semua barang jarahan kalian!” Surenpati menunjuk pada buntelan yang dibawa oleh salah satu dari mereka.
Perampok itu saling memandang satu sama lain. Mereka sebenarnya agak berat, namun melihat kondisi sang pemimpin mereka yang sudah seperti tak kuat untuk hidup, maka mereka terpaksa memberikannya. Dengan harapan Surenpati segera melepaskan mereka dan akhirnya mereka bisa mengobati sang pimpinan.
“Apakah dia murid guru Chen?” tanya salah seorang dari mereka melalui bisikannya.
“Entahlah, namun sepertinya iya. Karena murid guru Chen selalu berpenampilan sederhana dan tidak menunjukkan identitasnya.”
“Kita harus cepat pergi, karena akan sangat bahaya jika di menahan kita lebih lama lagi.”
Melihat barang curian itu sudah diberikan kembali pada Surenpati, maka dia melepaskan para perampok tersebut.
Surenpati masuk ke bagian belakang penginapan ini. Para pegawai penginapan dan restoran ini saling berjongkok sambil menggigiti kuku mereka. “Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Surenpati.
“Maaf! Maafkan kami.” Salah satu dari pegawai itu meminta ampun dengan bersujud di kaki Surenpati. “Kami yang tidak bisa melawan sama sekali saat mereka memaksa mencampurkan arak dengan obat tidur. Maafkan kami.”
Surenpati baru menyadari jika di sana terdapat puluhan gentong arak yang disimpan di belakang penginapan.
“Berapa gentong yang diberi obat tidur?” tanya Surenpati.
“Hanya arak yang diberikan pada pengunjung tadi yang kami beri obat tidur. Sisanya semua aman di sini. Namun kami minta maaf, jika kami semua bisa melawan, maka hal yang seperti ini tidak akan terjadi. Ini semua karena mengancam akan membakar tempat kerja kami ini.”
Surenpati mengangguk. “Sudahlah! Aku mengerti.”
Setelah mencari tahu apa yang terjadi pada penanggung jawab penginapan, Surenpati merasa lega. Ia hanya takut jika pemilik penginapan ini bersekongkol dengan mereka, apabila itu terjadi makan penginapan ini mau tidak mau harus berhenti beroperasi.