Raykan berdiri di depan ruang ICU dengan wajah cemas. Pria itu mondar-mandir sambil mengusap wajahnya dengan sangat kasar. Ia menyesal, menyesal membiarkan Varizen berada di tangan Berto. Nyatanya cinta pria itu membawa luka yang mendalam. Bukan hanya luka batin, tapi luka fisik juga. Beberapa kali, Raykan menengok ke dalam ruangan itu. Sudah tiga jam lamanya, proses operasi belum juga selesai. Pria itu mendesah untuk kesekian kalinya. Ponsel yang ada di dalam saku pun berdering. Dengan sangat kasar, Raykan memencet tombol hijau untuk menjawab panggilan itu tanpa tahu siapa yang telah menghubunginya. “Aku sibuk. Jangan menggangguku.” Pria itu hendka menutup panggilan tersebut, tapi dahinya berkerut ketika mendengar suara yang familiar. “Kau mulai berani tak sopan padaku, Ray.” Suara