Cinta seperti apa yang dipilih? Cinta penuh kebahagian atau cinta yang penuh penderitaan. Berbicara tentang rasa yang membuat manusia berada dititik perubahan dalam tubuhnya, adalah sebuah anugrah yang diberikan dari Tuhan. Tinggal bagaimana manusia itu memilihnya.
Rasa cinta itu bisa manis, bisa juga pahit. Jika berasa manis, tentu kebagahian yang diperoleh. Namun, jika berasa pahit, penderitaan yang menjadi duri ketika melangkah menggapai cinta.
Varizen duduk di depan meja rias sambil menyisir rambutnya. Ia melamun, menatap kosong ke wajah dengan lekat. Sejauh hatinya berkata, wajah itu merupakan sumber petaka. Namun, sebisa mungkin pikiran buruk ditepisnya menjauh.
“Ini anugerah, bukan petaka,” gumam Varizen dengan keyakinan yang kuat. Hidupnya yang menderita harus dijalani dengan senyum tanpa paksaan. Hati gadis itu ikhlas menerima segala hal yang telah digariskan. Bukannya pasrah begitu saja, tapi ia sedang mencari kesempatan untuk memilih yang terbaik.
Varizen bangkit dari kursinya, mengambil tas yang ada di atas ranjang. Gadis itu berjalan menuju keluar ruangan. Pagi itu, ia tidak akan berangkat dengan Berto melainkan dengan Jonny. namun, ketika ia membuka pintu, wajah yang dilihat adalah Jonathan.
“Ka-Kakak,” panggil Varizen sedikit gugup. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap, sebab kedekatan mereka renggang semenjak pernikahan Berto dan Felisia.
“Kau berangkat denganku. Jonny sedang sibuk,” kata Jonathan sambil memegang lengan Varizen, lalu menyeretnya menuju ruang makan.
“Ta-tapi, aku bisa berangkat sendiri naik angkutan umum.” Langkah mereka terhenti lantaran Jonathan mendadak menoleh dan menatap tajam Varizen, “Ini perintah,” finalnya dengan dingin.
Varizen hanya diam dan menuruti keinginan Jonathan. Di pagi yang cerah seperti ini, ia tidak mau bertengkar dengan pria itu. Keduanya pun duduk dan melakukan aktivitas sarapannya.
Beberapa menit kemudian, Jonathan menggeser kursi, “Minum susumu, kita berangkat sekarang!” titah pria itu membuat Varizen mendengus kesal. Gadis itu bahkan masih makan tiga kali gigitan roti, dengan seenaknya Jonathan menyuruh untuk minum s**u.
“Cepat! Kita sudah terlambat!” kata Jonathan sambil berjalan. Varizen mengangguk dan langsung menegak habis susunya. Ia pun langsung mengikuti pria itu dari belakang. mereka berdua kemudian masuk mobil.
“Aku tidak ingin identitasmu terbingkar. Apapun yang terjadi, sembunyikan dari semua siswa,” peringat Jonathan dengan dingin. Varizen hanya mengangguk, lagi pula ia juga tidak ingin semua orang tahu bahwa mereka adalah keluarga.
Mobil yang dikendarai mereka melaju dengan kecepatan sedang. Keduanya diam seribu bahasa sibuk dengan pemikiran masing-masing. Sesekali, Jonathan melirik Varizen yang melihat kendaraan lewat kaca pintu.
Jantung Jonathan mendadak bergetar hebat hendak keluar dari sarangnya. Darahnya mendidih karena kinerja keras dari jantung. Ia sedikit gelisah tak tentu arah. Apalagi, dengan keadaan yang hening seperti ini. Ketakutan dari pria itu muncul, bagaimana jika Varizen mengetahui jantungnya yang berbunyi itu?
Jonathan menggeleng keras, lalu mengusap peluh sebesar biji jagung yang berada di pelipisnya. Tubuhnya sedikit memanas, padahal temperature yang ada di dalam mobil sangat dingin.
‘Cepatlah sampai,’ pikir Jonathan sambil berkomat kamit. Ternyata, berdua dengan Varizen membawa sisi negatifnya keluar lewat otak. Tanpa sadar, ia memikirkan hal-hal bersifat vulgar.
Tidak lama kemudian, hal yang ditunggu telah tiba. Mereka berdua sudah sampai di sekolah. Jonathan melihat kesekililing lalu menghentikan mobilnya. “Turun!” titahnya dingin membuat Varizen menghela nafas dengan panjang. Tanpa suara, gadis itu turun begitu saja.
Setelah Varizen turun, Jonathan langsung tancap gas dan melajukan mobilnya masuk ke dalam parkiran. Ini adalah langkah yang tepat menurunkan gadis itu tidak jauh dari sekolah. Jika sampai pihak sekolah tahu, pasti semuanya akan ketahuan, pikirnya sambil mematikan mesin mobil.
Jonathan masih betah di dalam mobil karena masih mengatur laju jantungnya yang berdetak kencang. Ia mengambil nafas panjang, lalu menghembuskan perlahan. Selang beberapa menit, pria itu pun memutuskan untuk keluar mobil.
Dari jauh, Jonathan melihat Varizen yang berjalan perlahan seperti seorang putri. Rambut panjangnya diterpa angin. Wajah cantik yang terlihat jelas itu mampu membawa hati para pria melayang. Bukannya berdetak lambat, jantung pria itu semakin menggila.
“Sadarkan dirimu, Jonathan,” gumam pria itu menyemangati dirinya sendiri. Ia langsnug melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung. Jika Jonathan tidak pergi sekarang, pria itu takut berada di luar kendali.
Melihat posisi Varizen, para kaum hawa melirik benci tanda iri. Posisi yang dimaksud adalah wajah yang cantik, bentuk badan bagus, dan juga pesona yang kuat. Dari semua siswa perempuan, rasa iri itu terlihat kepada dua gadis yang menatapnya dengan penuh amarah.
“Kita seret dia ketika sudah sepi,” kata Kristal terus mengawasi Varizen dari jauh. Mira mengangguk setuju, “Dia pasti akan lewat koridor itu,” jawab Mira dengan keyakinan yang tinggi. Gadis itu bahkan menyuruh siswa lain untuk ikut mengerjai Varizen.
“Ayo kita bersiap. Dia sudah masuk ke permainan kita.” Kristal berjalan dengan angkuh, tersenyum puas dengan dengan rencana yang dibuat. Mereka berdua memantau dari jauh dan melihat Varizen yang telah lewat koridor sepi.
Salah satu bawahan dari Kristal menarik Varizen masuk ke dalam toilet, lalu mendorongnya dengan keras. “Apa yang kalian lakukan?” tanya gadis itu sambil bangkit. Ia masih bingung dengan kondisinya saat ini. Kenapa para siswa itu bertindak kasar padanya?
“Karena kau menyinggung Kristal,” jawabnya enteng. Dahi Varizen berkerut tanda heran, “Kristal… siapa dia?” jujur saja, ia tidak tahu orang yang dimaksud siswa itu.
“Ya… jangan bertingkah bodoh!” teriaknya dengan senyum semirik. Tidak lupa tangannya menjambak rambut Varizen.
Gadis itu meringis kesakitan sambil memegang rambutnya, lalu mendorong siswa perempuan itu dengan kasar hingga tersungkur ke lantai. “Kau! Beraninya…! Gays… lakukan sekarang!” titahnya memberi komando.
Varizen terlihat gelisah dan langsung melangkahkan kaki hendak keluar toilet. Namun, beberapa siswa menghadangnya. “Apa yang ingin kalian lakukan?” tanya gadis itu sambil mundur ke belakang.
Mereka langsung mendorong Varizen masuk ke dalam toilet lalu menguncinya dengan rapat. “Hei… buka pintunya!” teriak gadis itu sambil menggedor pintu dengan keras. Mereka semua tertawa terbahak-bahak dan menyiram Jazlyn dengan air lalu meninggalkan gadis itu sendirian.
Varizen mengusap wajahnya dengan kasar dan tersenyum getir. “Mereka sungguh keterlaluan. Bagaimana bisa melakukan ini kepadaku? Apa salahku?” Gadis itu langsung merosotkan tubuhnya sambil meneteskan air mata. Hidup seperti ini sungguh bukan keinginannya. Di mana dirinya menginjakkan kaki, disitu kebencian terukis dengan jelas.
Sepertinya, semua yang dikatakan semua orang benar. Ternyata, disamping berstatus anak haram, ia juga pembawa sial.
“Semuanya benar…” kata varizen menekuk lututnya kedinginan. Dari kecil, ia sudah dibenci. Sampai besar pun, kebencian yang ditorehkan semua orang kian melebar.
Jika dipikir terlalu dalam, Tuhan memang membenci dirinya. Terbukti bahwa, tidak ada kebahagian yang singgah dalam hidup yang dijalani. Meskipun varizen berdalih, tapi pemikiran negatifnya terus bersarang.
“Jika aku menghilang, apakah mereka akan senang?” gumam gadis itu sambil menggigil kedinginan. Mata varizen menatap ke arah langit toilet. Ia kemudian tersenyum, menatap sayu. Kilasan-kilasan masa kecil pun mulai menyerang otaknya.
“Aku rindu kebahagiaan itu,” kata Varizen sambil menutup mata perlahan dan ambruk ke lantai begitu saja. Kenangan yang didapat semasa kecil itu membawanya masuk ke alam mimpi.
Bersambung