BAB 4: TERNYATA DIA

1176 Words
SELAMAT MEMBACA *** Sekar pulang dengan wajah berseri-serinya. Harti dan Parmin yang melihat hal tersebut merasa sedikit heran, sejak dibawa pindah ke desa, baru sekarang mereka melihat wajah Sekar kembali sumringah tidak murung seperti beberapa hari ini. "Kamu bawa apa Kar?" tanya Harti pada Sekar. "Buah Bulik," jawab Sekar. Dia lalu membuka buah naga yang dia bawa di depan Parmin dan Harti. "Dapat dari mana buah naga sebanyak itu?" tanya parmin dengan herannya. "Dikasih sama orang Paklik." Jawab Sekar dengan santai. Dia lalu mengambil pisau ke dapur karena tidak sabar ingin mencicipi rasa buah naga itu. Sedangkan Parmin dan Harti kembali terheran-heran orang mana yang memberi keponakan mereka buah naga sebanyak itu. "Orang mana yang kasih Kar?" tanya Harti lagi saat Sekar sudah kembali membawa sebuah pisau dan piring kosong. "Itu lo Bulik yang punya kebun buah naga di ujung desa. Yang kebunnya luas. Tadi aku lewat sana, kebetulan lagi panen. Niatnya mau beli, tapi malah dikasih gratis." Jawaban Sekar membuat Parmin dan Harti saling menoleh. "Kebun buah milik Ndoro Karso?" tanya Parmin lagi. "Iya mungkin, lupa namanya tadi. Yang punya laki-laki pakai tongkat." Jawab Sekar lagi. "Terus Ndoro bilang apa?" tanya Harti dengan penasarannya. "Tidak bilang apa-apa Bulik. Bapak itu cuma nawarin buah terus dibayar tidak mau. Habis itu aku pulang, ngapain lama-lama di sana." Sekar masih tidak mengerti dengan maksud pertanyaan bulik dan paklinya. Kenapa penasaran sekali dengan sang pemberi buah. "Lagian orangnya aneh, masa zaman sekarang masih ada orang dipanggil Ndoro. Pakai tongkat lagi, kaya orang zaman dulu." Komentar Sekar lagi pada orang yang baru dia temui tadi. Masih dengan santainya Sekar menikmati buah naga miliknya, tidak peduli jika barusan dia mengkritik sang pemberi buah nyatanya buah yang diberikan itu rasanya sangat manis. "Orangnya kamu kritik, buahnya kamu makan. Dasar Sekar," cibir Harti pada sikap menyebalkan keponakannya. Sekar yang mendengar itu hanya terkekeh pelan dan terus saja memakan buah naganya. *** Sore hari setelah mandi sore, Sekar sedang duduk termenung di dalam kamarnya. Memikirkan kelanjutan hidupnya. Sejak awal tujuannya kembali ke desa katanya untuk dinikahkan. Tapi sudah beberapa hari dirinya di desa obrolan tentang pernikahan itu sama sekali tidak terdengar. Sekar jadi berfikir, apa mungkin pernikahannya dibatalkan. Alangkah bersyukurknya jika memang seperti itu adanya. Sekar terkejut melihat buliknya yang tiba-tiba masuk kekamarnya dan menyerahkan satu set gamis panjang lengkap dengan jilbabnya. "Nanti malam di pakai ya Kar." Ucap Harti sambil menyerahkan baju di tangannya. "Mau ada acara apa Bulik?" Tanya Sekar dengan bingungnya. "Kita mau kerumah calon suamimu," jawaban Harti hanya bisa membuat Sekar menghela nafas dengan berat. Baru saja di fikir pernikahannya di batalkan karena tidak adanya obrolan tapi tiba-tiba saja dia di ajak kerumah siapa tadi, calon suami. Ahh sudah lah, ikuti saja takdir. "Rumahnya di mana Bulik?" Tanya Sekar pelan. Sejak tau di punya calon suami, Sekar sama sekali belum bertanya siapa nama dan di mana rumah dari calon suaminya itu. Apakah dia sudah tua atau masih muda. Apakah Sekar akan di jadikan istri satu-satunya atau salah satunya. Bukan karena Sekar tidak penasaran, lebih tepatnya di memang tidak mau tau banyak hal. Takut, jika dia mengetahui banyak hal keraguan di hatinya akan kembali muncul. "Didekat sini," jawab Harti. "Dia usianya berapa Bulik?" "Nanti kamu tanya sendiri, Bulik tidak berani banyak bicara. Bulik faham kekhawatiranmu Kar, tapi percaya sama Bulik dia tidak seburuk pemikiranmu." Sekar hanya bisa mengangguk mendengar ucapan buliknya. Setelahnya Harti keluar dari kamar keponakannya itu. *** Flash back on Ndoro Karso turun dari mobil bersama orang kepercayaannya. Hal pertama kali yang dia lihat adalah seorang gadis kecil yang tengah menangis di halaman samping rumah. Padahal di dalam rumah semua orang tengah berkumpul. Tapi justru gadis itu duduk sendirian disana. "Siapa namamu Nduk cah ayu?" Tanya Ndoro Karso saat menghampiri gadis itu. Hatinya merasa iba, tidak tega mendengar tangisnya yang begitu pilu di hari meninggalnya sang ayah. Gadis yang tadi menangis itu langsung menoleh, saat mendengar pertanyaan Ndoro Karso. "Lembayung," jawabnya lirih sambil mengusap pelan air matanya. "Jangan menangis sendirian disini. Ayo masuk kedalam." Ajak Ndoro Karso yang langsung di jawab dengan gelengan pelan oleh gadis yang mengaku bernama lembayung itu. Setelahnya Ndoro Karso tidak lagi memaksa, mungkin memang gadis kecil itu perlu waktu sendiri. Flash Back Off Ndoro Karso langsung tersadar dari lamunanya ketika Tejo datang. "Ngapunten (maaf) Ndoro, tamunya sudah datang." Ucap Tejo memberitahu Ndoro Karso jika tamu sang Ndoro sudah datang. Ndoro Karso hanya mengangguk pelan, lalu berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pendopo depan tempat biasa dia menerima tamu. Dengan langkah santai namun tegas, Ndoro Karso berjalan ingin menemui sang tamu. Bunyi tongkat Ndoro Karso menarik perhatian tiga orang yang tengah duduk disana. Ketiganya kompak bangun ketika Ndoro Karso datang. "Silahkan duduk, tidak perlu sungkan seperti itu." Ucap Ndoro Karso pada ketiga tamunya yang ternyata Parmin, Harti dan Sekar itu. Di sisi lain, Sekar benar-benar tidak menyangka jika akan di bawa kerumah Ndoro Karso. Apa maksudnya ini. Putra laki-laki itu yang akan menikah dengannya atau justru laki-laki itu sendiri yang akan menjadi suaminya. Sekar melirik kearah buliknya, berusaha bertanya apa maksudnya ini. Namun, Harti langsung memberi isyarat agar Sekar diam. Hingga beberapa saat, fikiran Sekar terus saja di penuhi dengan banyak pertanyaan. Sekar kembali menoleh saat Harti menyenggol lengannya. "Ndoro tanya itu, kok tidak di jawab." Ucap Harti pada Sekar. Sekar tentu saja bingung. Tanya apa maksudnya, dia tidak mendengar apapun. Sekar hanya menatap Ndoro Karso dengan wajah bingungnya. "Sepertinya Lembayung masih bingung," ucap Ndoro Karso dengan sabarnya. Sekar, langsung menatap tidak percaya. Lembayung, panggilan kecilnya itu sudah lama dia ganti dengan nama depannya. Tidak pernah ada yang memanggilnya seperti itu lagi. Jadi dari mana laki-laki di hadapannya itu mengetahui nama kecilnya. "Maafkan sikap Sekar yang kurang sopan Ndoro," ucap Parmin dengan sungkannya. Ndoro Karso hanya mengangkat tangannya pertanda tidak masalah dan memaklumi sikap Sekar. "Sekar, ini Ndoro Karso calon suamimu." Sekar langsung menatap pakliknya dengan protes. Jadi benar dia akan di nikahkan dengan Ndoro Karso itu. Hei, apa pakliknya itu tidak salah. Apa laki-laki itu tidak terlalu tua untuknya. Berapa usianya. Dan jadi istri keberapa dia kalau menikah dengannya. Rasanya Sekar ingin menangis, antara teguh pasrah atau ingin pergi saja. Rasanya tubuh Sekar sekarang lemas tak bertenaga. "Lembayung keberatan dengan pernikahan ini?" Tanya Ndoro Karso pada Sekar. Sekar menatap tajam kearah Ndoro Karso. Rasanya dia ingin sekali berteriak jika dia keberatan. Dan untuk apa juga dia berpendapat apakah keberatan atau tidak, kalau nyatanya laki-laki itu sendiri yang memaksanya menjadi istri. Harti kembali menyenggol lengan Sekar. Sekar yang sadar, langsung menggeleng pelan. Bukankah memang hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. "Sekar sudah setuju dengan pernikahan ini Ndoro," kali ini Parmin lah yang bersuara. "Jika memang tidak ada yang keberatan. Lebih baik di segerakan saja. Adakan pernikahannya disini. Biar orang-orang saya yang mengurusnya," ucap Ndoro Karso dengan tenang. Parmin dan Harti hanya mengangguk dengan setuju. "Semua ikut dengan keinginan Ndoro saja," jawab Harti dengan patuh. "Lembayung, mau minta hadiah pernikahan apa dari saya?" Tanya Ndoro Karso lagi pada Sekar. "Tidak usah. Terimakasih," jawab Sekar lirih. Apalagi yang dia inginkan saat ini. Hadiah yang di tawarkan Ndoro Karso sama sekali tidak menggiurkan bagi Sekar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD