Dana melewati hari dengan rasa yang tak dapat dikatakan. Menyerah dengan jarak dan waktu. Seiring berjalannya waktu, Dana bisa melewati kekosongan hatinya. Beruntung masih punya sahabat setia yang kadang tingkah lakunya membuatnya terhibur.
Matahari lumayan terik saat pelajaran mata kuliah berakhir. Duduk sejenak di bangku depan kelas. Pandangannya tertuju pada perempuan cantik berbalut t-shirt dan jeans belel, tetapi tak mengurangi kecantikan dan kemolekan tubuhnya.
"Woi! Kuping orang, apa kuping gajah?" seru Kacong di telinganya. Dana mengusap salah satu telinganya yang terasa pengang.
"Astaga, gila lu, ya. b***k, tau!" sungutnya menatap ke arah Kacong yang cengengesan.
"Dipanggil dari jauh, diem aja. Ngeselin," sahutnya.
"Tuh, kan, kemana cewek tadi?" sungutnya kesal. Matanya dengan liar mencari-cari sesosok yang ia lihat tadi.
"Cewek, siapa?" tanya Acong, sembari melihat kesana-kemari.
"Udahlah, yuk, makan siang dulu baru pulang." Keduanya pun segera pergi dari tempat itu.
*
Waktu menjelang senja, Dana baru saja selesai mandi. Menyisir rambut di depan cermin. Tak lama terdengar ketukan pintu kamar. Gegas ia membuka pintu, tampak Acong sudah rapi.
"Keluar, yuk, Dan. Hilangkan penat," ajak Acong yang bersandar di daun jendela kamar.
"Kemana? Ngapain?," tanya Dana yang masih merapikan rambutnya.
"Ngapain, kek. Suntuk di kosan terus," sahut Acong tanpa melihat ke arahnya.
"Ke cafe aja, gimana? Yang arah kampus," imbuh Acong.
"Ok, bentar, ambil dompet." Dana segera bersiap-siap.
Tak lama mereka mengendarai kendaraan besinya menuju cafe tempat mereka biasa bersenang-senang.
Dua puluh menit kemudian mereka sampai. Sambil mencari tempat parkir kendaraan mata Dana tertuju pada satu sosok yang tak asing.
Ya, wanita yang dilihatnya, di kampus siang tadi.
Pucuk cinta ulam pun tiba, dalam benak Dana. Setelah memarkirkan motornya mereka memasuki cafe yang belum begitu ramai. Matanya berputar ke sana ke mari, mencari sosok yang dilihatnya tadi.
Tampak perempuan cantik yang dicarinya, sedang duduk berdua dengan temannya.
Bukan Dana namanya kalau ia tak mengambil kesempatan untuk berkenalan.
"Hai, kamu yang tadi siang di kampus, kan?" sapanya langsung, dengan senyum yang mempesona.
Dana mengulurkan tangannya.
"Hai, iya. Sifa, Sifabella," sahutnya menerima uluran tangan Dana.
Kacong pun tak ketinggalan untuk saling berkenalan. Lalu Sifa mengenalkan -temannya- Shinta.
Mereka akhirnya mulai berbincang-bincang panjang lebar tentang berbagai hal.
Hari ke hari mereka semakin dekat dan akrab. Terlebih Dana dan Sifa. Terdengar selentingan kabar kalau Sifa masih memiliki pacar. Dana mengetahui siapa pacar Sifa. Namun ia seperti tak perduli. toh hubungan mereka agak mulai merenggang.
Layaknya dua sejoli kemana-mana selalu bersama. Ditambah keadaan Sifa dari keluarga berada.
Ibarat kata, apa pun yang dibutuhkan Dana akan Sifa beri.
Keadaan ini justru menguntungkan Dana. Dalam benak Dana ia harus mendapatkan Sifa bagaimana pun caranya.
Kacong tahu, bagaimana Dana akan bertindak. Karena beberapa hari lalu Dana sempat berseloroh untuk menggunakan cara halus untuk mendapatkannya.
Sebagai sahabatnya Kacong mengingatkan dampak yang akan ia rasakan. Namun Dana seakan tak perduli. Ia akan tetap mencoba.
"Dan, lu jangan main-main sama hal kayak gitu. Hukum tabur-tuai berlaku, Dan." Mengingatkan sahabat karibnya itu.
"Udah, sih, main wajar aja. Cewek itu, kalo kita baik pasti luluh," imbuhnya lagi.
"Ah, lu. Omdo, tau, nggak. Alias omong doang," timpal Dana sembari terkekeh.
*
Seharian ini Dana tak pergi ke kampus. Kacong pun juga tak tahu. Pada saat mengetuk pintu kamarnya. Pemilik kos memberi tahu kalau Dana sudah keluar kos sesudah subuh.
Kacong mengernyitkan kening. Bertanya dalam benak, tak biasanya Dana pergi sendiri, sekali pun ke lubang semut.
Akhirnya Kacong pun berangkat mengendarai kuda besinya ke kampus. Sampai kampus pun Sifa menanyakan keberadaannya.
Kacong hanya menjawab kalau Dana pergi ke rumah keluarganya, ada hal yang harus diselesaikan.
Saat pulang dari kampus pun Dana belum menampakan batang hidungnya. Hal ini tentu saja membuat Kacong cemas.
Bumantara perlahan meredup, surya bergulir ke barat. Menandakan kala bergantikan gelita.
Kacong gelisah, hingga menunggu di pintu gerbang kosan. Dalam hatinya ia menginginkan kalau Dana baik-baik saja.
Sebuah kendaraan mendekat ke arahnya. Tiba-tiba senyum merekah di balik helm yang dikenakannya.
Saat kendaraan melintasinya, hampir saja kaki Kacong ingin menendang.
Belum juga Dana turun dari kendaraan, Kacong sudah memburunya dengan pertanyaan.
"Dasar! Nggak punya mulut apa, ya? Pamit kek atau titip pesen kek atau apa, kek. Dari mana Lu? Ngapain aja seharian, ketemu sama jin mana, lu?" cecar Kacong dengan kesal.
"Ssst!" Reflek tangannya membungkam mulut Kacong.
"Jangan berisik, didengar orang bisa berabe, gue. Sabar, gue mau mandi, makan istirahat. Capek gue, Cong," sahutnya berbisik, melihat sekitar kalau-kalau ada yang mendengar.
"Besok, pas di kampus gue ceritain, sekarang gue mau istirahat total," imbuhnya lagi.
Setelah mengunci motornya Dana menuju kamarnya segera masuk dan memutar anak kunci kamar.
*
Suara musik terdengar di kamar lain. Pertanda dimulainya hari.
Dana bergegas mandi, tubuhnya terasa lebih segar. Sembari menyiapkan perlengkapan kuliahnya, ia membuka pintu.
Hampir saja wajah mereka bersentuhan.
"OMG! Lu bikin kaget gue aja, sih, Cong."
"Gue mau ngetok pintu, kali aja lu pergi lagi, pas subuh," seloroh Kacong.
"Ayo, berangkat sekarang aja, kita, sarapan di kantin," ajak Kacong. Mereka pun bergegas pergi.
*
Kampus masih tampak lengang, baru ada beberapa mahasiswa yang datang. Mereka memarkirkan kendaraan di depan kantin.
Tempat ini pun belum begitu ramai. Mereka memilih kursi yang berada di sudut. Kacong memesan makan dan minuman.
"Lu emang kemana, kemarin, Dan? Sifa nanyain lu, tau?"
"Gue kemarin ke sebuah desa. Nyari orang yang bisa nolong keinginan gue," papar Dana, menatap lurus ke halaman parkir.
"Terus, lu udah ketemu?" tanya Kacong penasaran.
Dana mengangguk, tak lama datang pesanan sarapan mereka.
Sambil menyantap makanan, sesekali mereka berbincang dan berseloroh.
Mahasiswa mulai berdatangan, kantin mulai sedikit ramai. Dana dan Kacong sudah selesai sarapan. Setelah membayar mereka bergegas ke tempat lain.
"Cong, Kamis siang, temenin gue, ya, ke suatu tempat," pinta Dana.
"Tapi diem aja, nggak usah rame. Apa lagi, sampe, ngomong ke Sifa," lanjut Dana.
"Iya, baweeel," timpal Kacong. "Itu, Sifa. Pasti ke sini, dia udah liat kita," imbuhnya lagi.
Sifa melambaikan tangannya lalu berjalan cepat ke arah mereka. Wajah putihnya selaras dengan lipstik merah menyala. Tubuh sintalnya dibalut dengan tunik warna merah bertali di pinggang, dipadu dengan jeans ketat putih dengan sepatu catsnya.
Aura cantiknya terpancar ditambah dengan senyum yang menawan.
Setelah berbincang sesaat, mereka pun masuk ke kelas masing-masing.
*
Hari yang dinanti telah tiba, selepas jam mata kuliah akhir.
Dana dan Kacong bersiap-siap melakukan perjalanan ke sebuah tempat yang cukup jauh memakan waktu beberapa jam.
Dengan menyewa sebuah kendaraan, mereka berangkat siang hari, agar sampai tidak terlalu malam.
Dalam hati Kacong sebenarnya ada rasa ragu.
Namun ia berusaha tak ingin menggubrisnya. Ia tahu Dana seperti apa.
Selama perjalanan tak banyak yang mereka bicarakan. Tenggelam dalam benak masing-masing. Sesekali bergantian menyetir.
Matahari sudah terbenam, hanya menyisakan lembayung dalam remang jingga.
Danu melajukan kendaraan perlahan, sambil mengingat petunjuk dari beberapa orang yang ditemuinya dalam perjalanan tadi.
"Dan, lu yakin, ini tempatnya?" tanya Kacong sahabat kentalnya.
Mata mereka memandang ke luar kaca jendela mobil. Seolah-olah mencari-cari sesuatu seperti petunjuk atau apa pun. Dana menghentikan kendaraan di sisi jalan. Saat lampu penerang padam. Tampak senyap sekitar.
"Astaga, gelap banget, sih, Dan? Bikin merinding tau nggak, sih. Mana sepi lagi," gerutu Kacong dengan wajah panik.
"Udah, jangan berisik. Ayo turun," ajak Dana tak lupa membawa lampu senter.
Kedua laki-laki itu turun dari kendaraan. Perlahan mereka melangkah menembus malam memasuki sebuah alas.
Tekad Dana sudah bulat apa pun akan dilakukannya demi sebuah pengakuan kalau ia pun dapat menjadi idola bagi perempuan-perempuan cantik di kampusnya.
Pendar cahaya temaram di kejauhan mempercepat langkah kakinya . Dana jalan lebih cepat menembus pohon-pohon tinggi menjulang. Kacong pun mengikuti dengan kewalahan, rasa takut seolah-oleh melambatkan langkahnya.
Dana berhenti, matanya memandang lurus pada sebuah pondok dengan penerang uplik di terasnya. Rasa gundah tiba-tiba melingkupi hatinya, dengan gamang ia memaksakan diri untuk melangkah mendekati pondok.
Tiba-tiba semilir angin melintas di belakang gala mereka. Kacong mengusap tengkuknya lalu menoleh ke belakang, tetapi tak ada siapa pun. Raung hewan malam terdengar di kejauhan.
Kacong tampak gelisah. Ia memandang sekeliling dengan rasa ngeri.
Hawa malam menyapu wajah mereka, sesekali Kacong mengusap wajahnya yang terasa dingin.
Seolah-olah ada yang menuntun mereka, segera memasuki halaman pondok.
Ada rasa bimbang di hati Dana, tetapi kepalang tanggung. Perjalanan jauh sudah ia lakukan apa pun alasannya ia tak ingin pulang dengan tangan hampa.
Mereka mendekati pintu. Dana pun langsung mengetuknya. Tak lama pintu terbuka dari dalam. Suara deritnya terasa menyayat hati.
Dalam cahaya temaram lampu teplok, sesosok bayangan duduk membelakangi mereka.
Mata Dana tertuju pada bayangan di hadapannya. Kacong memperhatikan sekeliling.
Bau kembang setaman menguar, menyengat berbaur dengan asap kemenyan.
Sekilas bau bangkai samar terasa di penciuman. Seakan-akan mengaduk isi perut mereka berdua.
Setengah menahan napas mereka menunggu. Bayangan itu membalikan tubuhnya dalam kedipan mata.
Beberapa lampu teplok di ruangan tiba-tiba menyala dengan sendirinya, hingga menerangi ruang bilik.
Dana dan Kacong terheran-heran. Belum sampai di situ mereka tergemap dengan rupa wanita cantik di hadapannya.
Dalam balutan kebaya dan jarik bercorak keemasan. Rambut yang terurai menyamping dengan kembang Kamboja yang terselip diantara rambut dan telinganya.
Tatapannya seakan-akan tajam menghunjam ke arah mereka berdua.
Bibir mereka kelu sesaat, tanpa ucapan yang keluar. Hanya desah napas mereka yang sesekali terdengar.
Wanita itu tersenyum, lalu mempersilahkan duduk.
"Malam-malam begini, ada perlu apa kalian kemari?" tanya wanita itu pada mereka.
"Kami ke sini, atas petunjuk Ki Branjang. Hm ...."
"Panggil saja saya, Mayang," ucapnya mengenalkan diri.
"Siapa yang meminta bantuanku?" tanya wanita ayu itu menelisik wajah mereka satu persatu.
Kacong menoleh ke arah Dana. Dana menundukkan pandangannya. Ada sesuatu yang membuat degup jantungnya lebih kencang. Keringat mulai mengalir di pelipisnya.