BAB 20. Mengingatkan Tentang London

1025 Words
Zara menaiki anak tangga dengan hati-hati, Stella terus memperhatikan. Bahkan dia sudah akan memegangi tangan Zara, tapi Zara langsung menolak dengan lembut. “Nggak apa-apa, Ma. Aku bisa sendiri kok,” ucapnya sambil tersenyum. Stella sampai menarik napas dalam saat Zara telah sampai pada anak tangga teratas. “Ma, ini tadi kubelikan bantal kecil untuk Mama. Siapa tahu nanti saat di pesawat bisa untuk dipeluk atau untuk sandaran.” Zara mengeluarkan sebuah bantal kecil berbentuk hati kemudian diberikan pada ibu mertuanya. Sontak raut wajah Stella terbelalak karena terkejut bercampur senang sekali. “Ahhh Zara! Kamu baik sekali! Ya ampun bantalnya, ini bagus sekali, Zara! Sangat lembut dan nyaman dipeluk!” Stella sangat antusias. Dia langsung memeluk bantal hati berwarna putih itu. Zara tersenyum, dia ikut senang. Bahkan dia tidak mengira jika reaksi sang ibu mertua sampai seperti itu. “Ma, aku ke kamar dulu, ya. Mau taruh ini.” Zara menggoyangkan kantong belanja yang masih dipegangnya. “Oke. Terima kasih bantalnya, Sayang.” “Sama-sama, Ma.” Stella masih terus memperhatikan punggung Zara hingga menghilang dibalik pintu kamar. Kemudian dia turun ke lantai bawah. Senyum manisnya tidak pernah hilang dari wajahnya yang selalu tampil cantik mempesona. Zara meletakkan begitu saja kantong belanja di atas lantai. Dia bahkan tidak terlalu ingat barang apa saja yang tadi dibelinya pada sebuah toko pinggir jalan. Tadi yang terpenting adalah dia harus cepat dan membawa barang belanjaan. Dia berdiri di atas cermin tinggi, menatap pantulan bayangannya sendiri lalu tersenyum. “Hmm … sepertinya aku sudah bisa menarik hati Nyonya Stella yang terhormat.” Detik kemudian pantulan wajahnya menjadi seringai amarah dan penuh dendam. “Hendy Albern … bagaimana caranya aku bisa mendekatimu lalu … dor!” Zara membentuk tangan kanannya seperti sebuah pistol yang ditempelkan pada kepalanya sendiri. Gadis itu menghela napas seraya menggelengkan kepala pelan. Lalu kembali berjalan keluar kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. Zara menyusul sang ibu mertua yang ternyata sedang berada di dapur. “Mama mau masak?” Stella membali badan dan mengangguk dengan bersemangat. “Ya Sayang, Mama mau masak bareng kamu. Mau, kan? Mama akan ajarkan memasak menu khas Inggris.” “Hemm sepertinya menyenangkan. Aku mau. Kita mau masak apa, Ma?” Zara memperhatikan Stella yang sedang menata alat masak di atas meja. “Orang-orang di Inggris terutama London, suka sekali sarapan dengan pie. Namun untuk pie daging nikmat juga disantap saat makan siang. Mereka kebanyakan beranggapan bahwa pie daging adalah menu khas asli dari Inggris.” Stella terus menjelaskan tentang pie daging dan budaya orang Inggris khususnya London. Zara mendengarkan dengan sangat serius. Dia seperti sedang masuk ke dalam lorong waktu. Merasakan dirinya kembali ke tahun 2005, di saat Zara kecil masih berusia lima tahun. Kala itu dia juga sangat senang dibuatkan pie oleh mamanya saat sarapan pagi. Dan sekarang, setelah delapan belas tahun berlalu, dia diingatkan kembali akan hal itu. “Loh, Zara! Kenapa kamu menangis?!” Stella kaget bukan main. Dari tadi dia sibuk menjelaskan sambil menyiapkan bahan-bahan masakan yang dibutuhkan. Dan saat menoleh pada Zara di sampingnya, tiba-tiba dilihatnya air mata mengalir di kedua pipi Zara. Ternyata bukan hanya Stella yang kaget, tapi Zara juga. Dia tidak sadar menangis karena teringat dengan mamanya sendiri. Segera dihapusnya air mata di pipi. “Ohh maaf, Ma. A—aku hanya … hanya teringat kebersamaan dengan mamaku. Dulu aku juga dibuatkan pie oleh mamaku.” “Ohh, Sayang.” Raut wajah Stella begitu sendu mendengarnya. Dia mengusap lembut kedua pipi Zara. “Kata Vince kamu adalah yatim piatu. Mama tidak berani bertanya sebelumnya. Zara, anggap saja Mama ini adalah mamamu sendiri ya, Sayang.” Zara mengangguk lemah dengan senyuman tipis pada bibirnya. Stella langsung merengkuh Zara ke dalam pelukannya. Tanpa mereka berdua tahu, Glenn telah melihat adegan penuh kasih sayang antara mamanya dengan Zara. Dia telah berdiri di ambang pintu dapur sejak beberapa menit lalu. Glenn memilih tidak mengganggu suasana. Dia pergi dari sana diam-diam. Ternyata hari ini dia sengaja pulang kerja lebih cepat, sebab teringat ada Zara di mansion. Pikirnya, mungkin Zara akan merasa bosan karena tidak kemana-mana. Maka dia berniat mengajak istri kontraknya itu untuk makan di luar, atau membeli camilan. Namun dia justru terpaku melihat kedekatan antara Zara dengan mamanya. Selama ini dari sekian puluh wanita yang telah menjadi kekasih Glenn, belum ada satupun yang bisa membuat hati sang mama luluh. Berbeda sekali dengan apa yang dilihatnya barusan. Glenn naik ke lantai dua, dia masuk ke kamarnya. Dia memilih duduk santai di balkon kamar, seraya meneguk kopi yang tadi sempat dia buat sendiri di ruang bar dekat dapur. “Kenapa aku merasakan berbeda pada Zara. Dia punya daya tarik sendiri. Padahal dia tidak pernah menggoda ataupun merayuku sedikitpun,” desis Glenn seraya sorot matanya menatap jauh ke depan. Sementara itu Stella dengan Zara melanjutkan kegiatan memasak mereka dengan seru. Zara yang apa adanya, tidak malu bertanya jika memang dia tidak bisa. Cocok sekali dengan Stella yang tidak pernah keberatan untuk menjelaskan apapun. Sesekali terdengar gelak tawa mereka dari dapur. Hingga akhirnya mereka membawa semua makanan dan minuman yang telah selesai dibuat, ke ruang makan. “Tuan Glenn sudah pulang kerja, Nyonya,” ucap seorang pelayan yang baru saja datang untuk membantu menyiapkan meja makan. “Oh ya? Zara, kamu mau ajak Glenn untuk makan bersama kita?” Stella menaikkan kedua alisnya. Dia sungguh berharap Zara akan melakukan itu. Zara tampak ragu, dia mengedikkan kedua bahunya. “Jika Glenn langsung ke kamarnya mungkin dia lelah pulang bekerja dan sedang istirahat, Ma.” Zara mencari-cari alasan. Dia malas berurusan dengan Glenn. “Ehm … tapi kamu coba saja ajak dia, siapa tahu sedang lapar. Kan kita masak cukup banyak.” Stella tersenyum dengan hangat. Mencoba merayu sang menantu. Zara menghela napas dan akhirnya mengangguk. “Baiklah akan kucoba ajak dia turun.” Lalu gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lantai dua. Stella senang sekali melihat itu. Diam-diam Stellah berharap Zara akan benar-benar menjadi istri Glenn, atau malah mungkin menjadi istri Vince. Yang penting menjadi menantunya sungguhan, bukan hanya pengganti. Langkah Zara tampak ragu menuju kamar Glenn. Dia geleng-geleng kepala ketika dilihatnya pintu kamar lagi-lagi tidak tertutup rapat. Zara mulai mengetuk pintu beberapa kali. “Glenn! Glenn, kamu di dalam?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD