BAB 21. Si Raja Drama

1161 Words
Tidak ada jawaban. Bukannya Glenn tidak mau menjawab, tapi memang dia tidak dengar. Dia sedang duduk melamun di balkon. “Glenn! Ck ah … kemana sih dia?” Zara mulai kesal, tidak sabar. Perlahan didorongnya pintu kamar supaya terbuka lebih lebar. Sorot matanya memindai tapi tak ditemukan Glenn. Mungkin sedang di kamar mandi, pikirnya. Zara sengaja hanya berdiri di ambang pintu kamar, menunggu beberapa saat. Tapi sudah beberapa menit tidak terlihat Glenn keluar dari dalam kamar mandi. Akhirnya Zara benar-benar masuk ke dalam kamar pria itu, kamar yang sebenarnya selalu dia hindari. “Glenn!” Dia sudah akan memanggil lagi ketika dilihatnya punggung Glenn sedang duduk di kursi balkon. Zara geleng-geleng kepala, pantas saja sejak tadi dipanggil tapi tidak dengar, pikirnya. Zara berdiri di ambang pintu kaca menuju balkon, yang terbuka lebar. “Glenn! Hei!” Sontak Glenn terkejut, dia langsung menoleh dan kedua bola matanya membulat. “Zara?” “Ya. Aku panggil-panggil kamu dari tadi.” “Ohh maaf, aku nggak dengar. Ada apa, Zara?” Glenn langsung tertarik. Dia berdiri lalu berjalan menghampiri Zara. “Mama mengajakmu untuk makan bersama di ruang makan.” Senyuman bulan sabit langsung mengembang di bibir Glenn. “Mama atau kamu yang ingin makan bersama? Hmm?” Zara tersenyum mencibir. “Kamu tahu sendiri lah, nggak mungkin aku, kan?! Cepatlah aku malas bolak-balik kesini!” Zara membalik badan, dia melangkah menuju ke pintu kamar. Tanpa disangka, sifat jahil Glenn kumat. Dia tiba-tiba merangkul pundak Zara. “Ayo!” ucap Glenn. Zara kaget. Sontak dia menarik tangan Glenn lalu membantingnya ke depan dengan sekali hentakan kencang. Tubuh Glenn seketika itu juga tersungkur di atas lantai berlapis karpet permadani. “Oh ya ampun! Glenn!” Zara langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia refleks memakai salah satu jurus karate pertahanan diri yang dipelajarinya sejak kecil. Zara terdiam sesaat, mengamati tubuh Glenn yang diam dalam posisi miring. Rasa khawatir langsung menyergap. Dia tahu tadi cukup kencang membanting tubuh Glenn. “Glenn! Glenn, kamu nggak apa-apa, kan?” Namun tidak ada reaksi apapun dari Glenn. Dengan raut wajah tegang, Zara berjongkok di samping tubuh Glenn. Dia membungkuk hingga wajahnya dapat melihat jelas wajah Glenn. “Glenn, bangunlah! Ya ampun kamu pingsan?” Zara menepuk-nepuk lembut pipi Glenn, berusaha untuk menyadarkannya. Perlahan Glenn membuka kedua matanya dengan lemah. Keningnya mengernyit. “Aduhh … seluruh badanku sakit sekali,” keluhnya. “Glenn, maafkan aku! Aku nggak sengaja umm … maksudnya aku sama sekali nggak berniat bikin kamu celaka. Aku kaget tadi.” Zara menatap Glenn dengan raut wajah penuh penyesalan. “Sekarang badanku sakit semua. Bagaimana ini?” Kedua tangan Zara terulur untuk membantu Glenn berdiri. Lalu kedua tangan Glenn juga terulur, melingkari punggung Zara. Dengan jarak sedekat itu, Glenn dapat mencium jelas aroma parfum gadis itu, sangat lembut dan menyegarkan. Dia menyembunyikan senyumnya di balik pundak Zara. “Ayo Glenn, kamu juga harus berusaha mengangkat tubuhmu. Aku nggak sanggup sendiri, kamu berat sekali!” “Hmm tadi kamu begitu mudahnya membanting aku, lantas kenapa sekarang terlihat kesusahan. Kamu pasti sedang berpura-pura kan, Zara? Kamu tidak selemah kelihatannya. Pantas saja kamu begitu membuatku tertarik.” Glenn membatin dan lagi-lagi menyembunyikan senyumannya. “Iya, ini aku juga sedang berusaha. Punggungku rasanya remuk.” Glenn semakin erat berpegangan pada pinggang Zara. Kemudian keduanya berjalan perlahan menuju tempat tidur. Glenn duduk di tepian tempat tidur. “Maafkan aku, Glenn. Apa kamu mau periksa ke rumah sakit? Mungkin tulang punggungmu ada yang patah.” “Hah?!” Kedua bola mata Glenn membelalak. Dia mencoba menggerak-gerakkan punggungnya. “Umm sepertinya nggak kok. Ini cuma memar saja mungkin karena kebanting tadi.” “Ohh, ya sudah, nanti biar kucarikan obat memar di bawah. Kamu istirahat saja dulu di sini, ya.” Zara berdiri, dia sudah melangkah menuju pintu tapi kemudian tiba-tiba berhenti dan membalik badan. “Oh iya, tadi itu aku mau mengajakmu turun ke ruang makan. Mama ngajak untuk makan pie daging bersama.” Glenn menggelengkan kepalanya dengan lemah. “Untuk jalan saja punggungku rasanya sakit, tolong ambilkan saja pie dagingnya dan suapi aku makan.” Zara menghela napas dalam. “Ohh, oke. Umm tapi … nanti kalau mama tanya kenapa kamu … umm bagaimana ya aku jawabnya? Aduh ….” “Bilang saja aku terpeleset sendiri di kamar dan terjatuh, lalu punggungku membentur lantai, atau boleh juga sebelumnya membentur dinding dulu baru ke lantai. Yang penting kamu nggak dimarahin mama, aku rela difitnah begitu. Asalkan tolong bantu aku selama sakit.” “Hah? Huffttt … baiklah.” Zara pasrah. Dia kembali membalik badan dan berjalan cepat keluar dari kamar. Glenn diam-diam berdiri lalu berjalan mengendap hingga ke pintu kamar. Dia mengintip, memastikan Zara sudah tidak ada, sudah turun ke lantai satu. “Yesss!” serunya tertahan. Dia senang sekali akhirnya mendapat alasan yang masuk akal untuk berdekatan dengan Zara Glenn menggerakkan badannya lagi terutama punggungnya, tidak ada rasa nyeri yang mengganggu. Sebab dia dan Vince juga sudah terlatih ilmu bela diri sejak kecil. Jadi saat tadi dibanting oleh Zara, Glenn dengan cepat bisa memposisikan dirinya supaya terjatuh tanpa menimbulkan cidera. “Tapi serangan Zara tadi boleh juga,” gumamnya pelan lalu kembali berjalan ke tempat tidur. Dia membaringkan tubuh tingginya, dengan terlebih dulu mengganjal punggung dengan selimut. Tidak lama kemudian, terdengar langkah kaki mendekati kamar. Segera Glenn menutup kedua matanya. Salah satu tangannya memegangi punggung. Tidak lupa wajahnya dibuat mengernyit, seperti orang yang sedang manahan rasa sakit. Benar saja, Zara yang masuk ke kamar. Dia berjalan mendekati tempat tidur. Dilihatnya raut wajah Glenn dengan penuh rasa iba. Tadi dia jelaskan pada Stella sesuai dengan karangan cerita dari Glenn. Dan Stella langsung meminta tolong pada Zara untuk merawat putra sulungnya itu. Mau tidak mau Zara mengiyakan, sebab dia merasa ini memang kesalahan dirinya. “Glenn. Glenn apa kamu tidur? Ini kubawakan pie daging buatan mama.” Perlahan Glenn membuka matanya, terlihat berat. Dia meringis beberapa kali. Zara langsung meletakkan piring di atas meja nakas. Kemudian dia membantu Glenn untuk duduk bersandar. “Mau aku suapi pie-nya?” Glenn mengangguk pelan. Zara mulai menyuapi pie daging. Sesekali juga memberinya minum hangat. “Uhh sepertinya punggungku ini akan terasa lebih nyaman jika dipijat.” “Oh ya? Apa kamu punya tukang pijat langganan? Atau mau aku cari jasa pijat online?” “Uhh aku tidak suka tubuh ini dipijat orang asing. Lagipula hanya sedikit saja kok. Di bagian yang sakitnya saja. Atau … kalau boleh kamu saja Zara, ya? Hanya sedikit kok.” Raut wajah Glenn memelas. Zara menghela napas dalam. Pikirnya, kalau ini bukan karena kesalahannya, tidak akan pernah dia mau melayani Glenn seperti ini. Sebab tidak ada dalam perjanjian kontrak pernikahan. “Ya sudah. Sekarang habiskan dulu pie-nya.” Hati Glenn langsung berbunga-bunga mendengar itu. Dia membuka mulutnya lebar-lebar. Tangan Zara terulur untuk kembali menyuapi Glenn. “Zara!” Sontak Zara menoleh. “Pak Vince?” Pie di tangan Zara salah belok, bukannya masuk ke mulut Glenn tapi malah menusuk ke matanya. “Aduh!” Glenn mengusap matanya yang perih karena terkena saos pie.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD