BAB 6. Kekhawatiran Vince

1024 Words
Zara memasuki ruang kerja CEO karena meja kerjanya ada di dalam ruangan besar itu. Dan dia sangat terkejut ketika melihat Vince sedang menatapnya tajam dari balik meja kerja besar berwarna hitam. “Umm … Pak Vince … Anda sudah datang? Sepagi ini?” Zara segera menuju meja kerjanya sendiri lalu meletakkan tas nya di atas meja. Dia langsung pura-pura sibuk dengan laptopnya. “Kamu juga datang sepagi ini?” “Ohh iya … biasanya kan aku harus membersihkan kamar kontrakanku dulu, tapi tadi aku langsung berangkat.” Vince memicingkan kedua matanya. “Bagaimana tinggal di sana? Kamarmu sebelah mana kamar Glenn?” “Hmm?” Zara mendongak. Wajahnya yang imut-imut seperti gadis remaja tampak bengong, bola matanya yang cantik membulat sempurna. Dia terlihat menggemaskan seperti gadis baik-baik yang tak pernah keluyuran di malam hari. “Kamar Glenn di lantai dua, lalu kamarmu?” Vince masih dengan tatapan tajamnya. “Umm yaa … di lantai dua juga. Tapi kamar Glenn di dekat tangga, sedangkan kamarku di ujung di dekat kolam renang.” “Glenn? Jadi kamu panggil dia … Glenn?” Vince terus mencecar Zara. “Yaa katanya supaya tidak terlihat kalau sedang menjadi suami istri pura-pura.” Zara menunduk dan mengusap wajahnya sendiri. Merasa tertekan dengan segala pertanyaan Vince yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. “Zara seharusnya kamu—” Kalimat Vince terputus karena ada telepon masuk di handphonenya. Dia melirik layar handphone dan langsung mendengkus malas karena nama Glenn yang tertera di layar. Dia langsung menjawabnya. “Hallo?” “Hallo, Vince. Zara sudah sampai di kantor?” Vince melirik Zara yang langsung pura-pura membuang pandangan ke arah lain. “Ya, baru saja. Kenapa?” “Ohh nggak apa-apa. Aku hanya memastikan saja. Oh ya Vince, tolong kamu jangan terlalu keras pada Zara, oke? Aku tidak mau dia merasa tertekan dan pulang ke rumah dalam keadaan stress. Kalau ada apa-apa, kamu bisa katakan padaku saja.” Kening Vince mengernyit. Dia tidak suka dengan ucapan kakaknya itu. “Apa maksudmu katakan saja padamu? Zara itu sekertarisku, jadi aku akan banyak komunikasi dengannya.” Mendengar namanya disebut, Zara menoleh pada Vince. Dia penasaran bos nya itu sedang bertelepon dengan siapa. Namun dia juga enggan menatapnya lama-lama. Zara langsung bergelut dengan pekerjaannya saja. Baginya itu akan lebih aman untuk saat ini. Pikir dia, sang bos sedang tidak enak hati atau sedang banyak pikiran. Terdengar suara kekehan kecil dari seberang telepon. Vince yakin saat ini Glenn pastilah sedang memasang wajah mengejek. “Santai, Vince. Tidak perlu emosi. Oh ya, aku telepon karena mau bilang, nanti malam Zara akan kuajak ke acara pertemuan dengan Mr. Ahn.” “Rekan bisnis papa? Yang dari Korea?” “Nah! Betul sekali, Vince! Rencananya Mr. Ahn akan menjadi donatur tetap pada yayasan. Dan dia juga berani memberi dalam jumlah besar. Jadi tentu saja aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Ya, kan?” “Ya sudah! Asalkan kalian berdua jangan pulang terlalu larut. Zara tidak boleh kecapek’an! Karena besoknya dia harus datang lebih pagi. Besok pagi ada jadwal meeting denganku dan divisi keuangan.” Terdengar tegas sekali nada suara Vince. Zara kembali melirik dari balik layar laptop. “Apa iya besok pagi ada jadwal meeting? Sepertinya aku belum mencatat itu.” Zara membatin dengan keheranan. “Oke, Vince. Aku akan pulang jam sepuluh.” “Tidak bisa jam sembilan?” “Ya ampun, Vince! Pertemuannya saja baru dimulai jam delapan.” “Ya sudah, sampai jam sepuluh dan kalian harus langsung pulang!” “Oke.” Nada suara Glenn kembali terdengar santai. Dan Vince tidak suka mendengarnya. Dia langsung memutus sambungan telepon. Kemudian Vince menoleh ke arah meja kerja Zara. “Zara!” “Ya, Pak.” Zara langsung mendongak. Rambutnya yang berwarna coklat terang tersibak di bagian kening. “Apa ada pekerjaan untuk saya?” “Ya. Jadwalkan kunjungan ke kantor cabang Bandung untuk senin depan.” “Baik, Pak.” Zara langsung mencatat itu di laptopnya. Namun dia kembali mendongak. “Siapa saja yang akan berangkat ke Bandung, Pak?” “Saya sendiri … dan juga kamu untuk mendampingi saya selama kunjungan di sana. Saya butuh seseorang untuk membuat laporan.” Zara terdiam sebentar. Otak cerdasnya berpikir lebih cepat. Dia menduga sang bos sedang kesal dengan kakaknya karena seenaknya memberikan pekerjaan tambahan untuk menemani pertemuan nanti malam. Maka Vince juga berbuat yang sama, perbedaannya terkesan lebih profesional. Tanpa setahu Zara, tidak hanya itu maksud Vince. Dia tahu betul bagaimana sifat buruk kakaknya yang terkenal sebagai seorang Don Juan. Tidak sulit bagi Glenn untuk menarik hati para wanita dengan bermodalkan wajah tampannya yang kentara sekali kalau dia ada keturunan Eropa. Mata Glenn berwarna biru seperti papanya, sedangkan mata Vince berwarna coklat persis sekali dengan mamanya. Dan yang semakin mendukung petualangan Glenn tentu saja karena dia punya banyak uang. Deretan wanita yang ditaklukkan oleh Glenn juga tidak main-main. Kebanyakan dari kalangan artis atau model, yang tentu saja memiliki wajah cantik serta tubuh seksi menawan. Vince sangat khawatir Zara akan menjadi korban Glenn berikutnya. Meskipun banyak dari wanita tadi yang justru tidak merasa sebagai korban dan benar-benar menaruh hati pada Glenn. Namun bagi Vince, Zara sungguh tidak pantas untuk menjadi target incaran Glenn. Sebab Vince menilai Zara sebagai seorang gadis baik-baik. Dari sebanyak itu calon sekertaris yang dia wawancara sendiri di akhir test, Zara lah yang menurutnya paling jujur apa adanya. Gadis itu juga sangat sederhana di mata Vince. “Pak Vince maaf, berapa lama masa kunjungan ke Bandung? Apakah satu harian full atau—” “Satu minggu.” Zara terdiam, kedua bola matanya membulat sempurna. Pulpen yang sedang dia pegang bahkan jatuh begitu saja. “Ba—baik, Pak.” Zara segera memungut pulpennya dari kolong meja kerja. “Yang benar saja? Satu minggu? Hanya berdua dengan Pak Vince? Huffttt! Pasti akan sangat membosankan!” keluh Zara dalam hatinya. Sebab menurutnya Vince adalah pria terkaku yang pernah dia kenal. “Umm tapi Pak Vince ….” Ada yang mengganjal di hati Zara. Namun dia bingung untuk mengatakannya. Sebab menatap netra Vince yang dalam itu saja cukup menggetarkan hati. “Tapi apa?” Suara bariton Vince serasa sedang memojokkan Zara, padahal wanita itu belum mengatakan apa-apa. “Bilang saja, Zara!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD