BAB 10. Tempat Meeting Yang Aneh

1186 Words
Sekitar jam tujuh pagi Zara keluar dari kamar, telah rapi berpakaian kerja. Dia berjalan melewati kamar Glenn yang tertutup rapat. Kemudian melangkah menuju lantai satu. Dia tidak mau bersusah payah berangkat pagi-pagi seperti kemarin lagi. Percuma saja, Glenn ternyata sudah siap lebih pagi. Zara terus melangkah seraya berharap Glenn kesiangan hari ini dan dia masih berbaring di kasur empuknya. Masih belum sadar betul dari mabuknya yang semalam. “Zara!” “Ohh ya ampun! Kenapa suara itu lagi sih?!” rutuk Zara dalam hati. Terpaksa Zara menghentikan langkah lalu menoleh ke arah ruang makan. Di sana duduk Glenn seraya melempar senyuman khasnya pada Zara. “Ya?” “Kemarilah. Sarapan dulu bersamaku baru kamu berangkat ke kantor. Aku juga akan membayar honormu hari kemarin, berikut uang lemburnya.” Ya, memang hanya satu alasan itu yang membuat Zara mau melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang makan. “Maaf, Glenn. Bisakah aku menerima honorku sekarang lalu langsung berangkat? Aku sedang malas sarapan,” ucap Zara begitu dia duduk di kursi yang berhadapan dengan Glenn. Glenn menggeleng. “Maaf Sayang, tidak bisa. Duduklah dulu sebentar dan temani aku makan. Ada yang mau aku bicarakan.” Zara mendengkus malas. “Oke. Tapi jangan pernah lagi panggil aku dengan sebutan sayang!” Glenn terkekeh seraya mengangkat kedua tangannya. Berlagak seperti orang yang sedang ketakutan. “Baiklah, baiklah, maafkan aku.” “Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?” Zara sedang tidak ingin berbasa-basi. Glenn tidak langsung menjawab. Dia justru memerintahkan seorang pelayan yang berdiri di pojokan ruangan untuk mengambilkan beberapa menu sarapan dalam satu piring, lalu meletakkan di hadapan Zara. Melihat piring dengan isi yang penuh itu, membuat Zara menarik napas dalam lalu memutar kedua bola matanya dengan malas. Sebab tadi kan dia sudah bilang sedang malas sarapan, malah diambilkan berbagai menu sarapan seperti ini. “Kita bicara sambil makan, ya. Kamu nggak mau terlambat datang ke kantor, kan? Vince itu sangat galak saat marah loh. Apalagi dengan karyawan yang tidak disiplin.” Mendengar itu Zara langsung menyuapkan nasi goreng seafood ke mulutnya. Seraya matanya melirik pada jam yang tergantung di dinding. Glenn hanya terkekeh kecil melihat itu. “Zara, aku hanya ingin meminta maaf soal semalam.” Zara langsung mendongak, menatap Glenn dengan tajam. “Jadi, kamu ingat dengan kejadian semalam?” Glenn tersenyum miring. “Bagaimana aku tidak ingat, wajah tampanku ini kena tonjok, mabuk ku langsung hilang seketika semalam.” Sontak Zara tertawa mendengar itu, tentu saja tertawa yang mengejek Glenn. “Ups!” Dia langsung berusaha menghentikan tawa dengan menutup mulut. Lalu berdeham pelan. “Hmm nggak apa-apa kalau melihatku ditonjok bisa membuatmu terhibur, Zara. Lagipula kan memang aku yang salah. Aku sama sekali nggak bermaksud untuk jahat padamu semalam. Jadi … jangan takut padaku oke?” Zara tersenyum miring, mencibir. “Sudah selesai ceritanya? Boleh aku minta honorku sekarang?” Zara meletakkan sendok dan garpunya. Dia tidak menghabiskan isi piring tentu saja. Karena terlalu banyak untuk porsi sarapan seorang gadis. Glenn merogoh saku jas-nya. Mengambil sebuah amplop putih, meletakkan di atas meja, lalu menggeser ke tengah meja, ke arah Zara. Semua itu dilakukannya tentu saja setelah memerintahkan pelayan di ruang tamu itu untuk pergi. Karena setahu semua pelayan di mansion ini, Zara adalah istri sah dari Glenn. Hanya saja karena dijodohkan dan tidak saling cinta, maka mereka tidak mau tidur dalam satu kamar. Zara segera mengambil amplop putih itu lalu menghitung isinya. Glenn tersenyum melihat tingkah gadis di hadapannya yang begitu terlihat apa adanya. Tidak ada istilah ‘jaga image’ yang terlihat melekat pada Zara. Dan … itu membuat Glenn merasa tertarik. “Ini dua kali lipat dari kemarin?” “Ya tentu saja, Zara. Kan sudah aku bilang, setiap kali kamu kuajak tugas ke luar, maka aku akan memberi bonus. Jadi, itu sudah termasuk bonusnya.” “Baik, terima kasih.” Zara segera menyimpan amplop berisi honornya itu ke dalam tas. Lalu berdiri dan beranjak keluar dari ruang makan. Meninggalkan Glenn begitu saja. Sesampainya di kantor, Zara langsung naik lift dan masuk ke ruang CEO dengan langkah tergesa. Benar dugaannya, Vince telah datang lebih dulu. Dengan sepasang rahangnya yang begitu tegas, terkatup rapat seperti itu, Vince memang sangat tampan, tapi terlihat sadis di mata Zara. “Selamat pagi, Pak,” sapa Zara berbasa-basi. “Hmm Zara, siapkan untuk kita meeting di luar,” tukas Vince tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari layar laptop. “Se—sekarang, Pak?” “Ya. Sekarang.” Dengan cepat Zara bergegas menuju meja kerjanya. Lalu dia menyiapkan laptop dan beberapa berkas yang dianggapnya akan berguna saat meeting nanti. Meskipun semua file penting sudah tersimpan rapi dalam laptop yang akan dibawanya. Tidak lupa Zara juga membawa buku catatan kecil beserta pulpen yang menjadi dua benda wajib harus dibawa saat Vince sedang meeting. Zara diperintahkan untuk mencatat apapun yang didengarnya dan dianggap itu adalah penting. Sebab Vince tidak suka pada orang yang bertanya satu hal yang hal tersebut sudah pernah dia jelaskan sebelumnya. Vince bahkan akan memaki orang itu dengan sebutan bodoh dan sebagainya. Dan di awal-awal masuk kerja, Zara sering menjadi target dari makian itu. Zara sudah berdiri di ambang pintu ruang CEO ketika Vince mematikan layar laptop. Lalu dia melenggang berjalan tanpa membawa apapun. Membiarkan Zara si gadis bertubuh ramping yang kerepotan membawa tas selempangnya sendiri, tas berisi laptop, tas berisi berkas-berkas penting beserta buku catatannya. Belum lagi dia yang harus membukakan pintu lalu menutup pintu untuk Vince. Itu semua dia lakukan dengan tanpa mengeluh sedikitpun. Mereka berdua berjalan menuju lift lalu turun ke lantai dasar. Selama menyusuri lobi utama yang luas, semua karyawan yang berpapasan dengan mereka berdua selalu menyapa seraya sedikit menunduk atau mengangguk sekali. Sebagai rasa hormat pada CEO mereka. Zara yang berjalan tepat di samping Vince tampak kepayahan karena harus mengejar langkah sang bos yang lebar-lebar. Kedua kaki Vince memang jenjang dan tinggi. Dan Vince terbiasa berjalan cepat. Sesekali Zara sampai harus agak berlari supaya bisa mensejajari langkah Vince. Hingga akhirnya dia terpeleset di atas lantai marmer mengkilap. “Arghhh!” teriaknya tertahan. Detik kemudian Zara bersyukur di dalam hati karena dia tidak hadi tersungkur di lantai, tangan kekar Vince dengan sigap menahan tubuhnya. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Vince dengan suara baritonnya yang khas. Zara hanya menjawab dengan gelengan kepala. Vince pun memberi kode supaya Zara kembali berjalan lagi. Orang-orang di sekitar tampak tertegun sejenak. Para karyawan itu bahkan sempat menahan napas karena takut Zara akan kena marah bos besar karena kecerobohannya. Mereka berdua pun kembali berjalan. Padahal tadi Zara sudah nyaris jatuh, tapi Vince tidak berniat sama sekali untuk memperlambat langkahnya. Seperti biasa, tugas sopir hanya menyiapkan mobil di depan lobi utama, sedangkan Vince memilih untuk menyetir sendiri. “Zara, simpan saja semua barang bawaanmu di kursi belakang!” “Baik, Pak.” Zara segera menuruti perintah Vince. Kemudian dengan tergesa juga dia membuka pintu penumpang depan dan nyaris saja kepalanya membentur bagian atas mobil, kalau saja Vince tidak dengan sigap meletakkan tangannya di sana sebagai pelindung. Setelah memastikan Zara duduk dengan aman, Vince segera menuju pintu mobil bagian pengemudi. “Pak, kita akan meeting di mana?” tanya Zara setelah mobil melaju selama sepuluh menit tanpa ada yang bicara. “Pantai.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD