Bab 3 : Antara Jarak dan Perhatian

1320 Words
Aku menatap pantulan diriku di cermin kamar mandi kantor. Mata cokelatku tampak lelah, sedikit kantung mata mulai terlihat jelas di bawahnya. Rasanya, pekerjaan akhir-akhir ini semakin menguras energi, terutama ketika harus berurusan dengan Aeron yang semakin sulit dipahami. Sejujurnya, aku tidak mengerti kenapa sikapnya berubah belakangan ini. Aeron yang kukenal dulu sangat dingin dan acuh, hanya peduli pada hal-hal terkait pekerjaan dan kesempurnaan bisnisnya. Namun, semakin lama, dia mulai melakukan hal-hal yang tidak biasa. Seperti memaksaku lembur tanpa alasan jelas, mengajakku makan siang, dan... ya, seperti tadi—memaksaku menerima tawarannya untuk pulang bersama. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ini akan memengaruhi hubungan profesional kami. Sebagai sekretaris, aku sudah terbiasa menghadapi sikapnya yang keras, tapi ini? Ini berbeda. Ada sesuatu di balik semua sikap tegas dan posesifnya yang membuatku bingung. Apakah ini hanya sikap kontrol berlebihan? Atau ada sesuatu yang lebih? Aku menarik napas panjang, menghilangkan keraguan dari pikiranku. Tidak ada gunanya memikirkan terlalu jauh. Pekerjaanku adalah menjaga profesionalisme, dan tidak peduli bagaimana Aeron bersikap, aku harus tetap melakukan tugasku. *** Sore itu, seperti yang sudah diduga, Aeron berdiri di depan kantor, menungguku. Seperti biasa, wajahnya datar tanpa ekspresi, hanya ada tatapan tajam yang tampak tidak sabar. Mobil hitamnya terparkir di dekat lobi, dan meskipun aku tahu dia tidak akan membiarkanku pulang sendiri, tetap saja, ada rasa aneh yang menyelinap setiap kali dia melakukan hal ini. "Luna, sudah siap?" tanyanya tanpa basa-basi saat aku menghampirinya. Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku masih diliputi pertanyaan. "Ya, Pak." Dia membuka pintu mobil untukku, dan aku masuk tanpa berkata apa-apa lagi. Suasana di dalam mobil selalu canggung. Kami jarang berbicara, kecuali jika ada urusan pekerjaan, dan itu membuatku merasa seperti berada dalam ruang hampa. Aeron mengemudi dengan tenang, tatapannya fokus ke jalan di depannya, sementara aku hanya bisa menatap keluar jendela, mencoba menikmati pemandangan malam kota Jakarta. Namun, di balik keheningan ini, ada perasaan aneh yang tidak bisa kuabaikan. Setiap kali kami seperti ini—di dalam mobil, hanya berdua—aku merasa seperti ada sesuatu yang tak terucap di antara kami. Apakah dia juga merasakan hal yang sama? Atau ini hanya perasaanku saja? Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, akhirnya Aeron berbicara. "Kamu tampak lelah," katanya tiba-tiba. Aku menoleh, terkejut. Aeron jarang memperhatikan hal-hal seperti itu. "Hanya sedikit lelah, Pak. Pekerjaan akhir-akhir ini cukup sulit." Dia mengangguk pelan, seolah mengerti. Tapi kemudian, dia berkata, "Kalau kamu butuh istirahat, katakan saja. Jangan memaksakan diri." Aku menatapnya lebih lama kali ini, mencoba membaca maksud dari ucapannya. Ada nada perhatian dalam suaranya, tapi aku tidak yakin apakah itu benar-benar tulus atau hanya bagian dari caranya untuk memastikan aku tetap bekerja dengan baik. "Terima kasih, Pak," jawabku pelan. "Tapi saya masih bisa menangani pekerjaan ini." Aeron tidak berkata apa-apa lagi setelah itu. Dia kembali fokus pada jalan, sementara aku kembali tenggelam dalam pikiranku. Ada sesuatu yang membuatku merasa tidak nyaman, tapi di saat yang sama, perasaan itu juga memberikan rasa hangat yang aneh. Mungkin karena, meskipun caranya menyebalkan dan otoriter, Aeron tetap menunjukkan perhatian dengan caranya sendiri—cara yang kaku dan sulit dimengerti. *** Mobil berhenti di depan apartemenku, seperti biasa. Aku melepas sabuk pengaman dan siap untuk keluar ketika Aeron tiba-tiba berbicara lagi. "Luna," panggilnya, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya. "Besok, jangan lupa untuk memeriksa agenda rapat pagi. Ada beberapa perubahan mendadak." Aku menoleh dan mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan pastikan semuanya sesuai." Ada jeda yang canggung di antara kami. Aku hampir membuka pintu ketika Aeron menambahkan, "Dan... kalau ada yang butuh dibicarakan, jangan ragu untuk menghubungiku. Baik soal pekerjaan, atau hal lain." Aku membeku sejenak, merasa kebingungan. Apa maksudnya dengan ‘hal lain’? Aeron tidak pernah menawarkan hal seperti ini sebelumnya, dan nada suaranya kali ini terdengar sedikit berbeda. Lebih... pribadi, mungkin? Aku berusaha menjaga ekspresiku tetap tenang. "Terima kasih, Pak. Saya akan ingat itu." Dia mengangguk pelan, lalu tatapannya kembali fokus ke depan. Aku pun keluar dari mobil, dan saat pintu tertutup di belakangku, aku merasa ada sesuatu yang menggantung di udara. Sesuatu yang belum terselesaikan. Aku berjalan menuju pintu apartemenku, tapi pikiran tentang Aeron masih membayangi. Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku? Apakah ini hanya caranya untuk memastikan aku tetap dalam kendalinya? Atau... apakah mungkin dia mulai merasakan sesuatu yang lebih? Tidak, itu mustahil. Aeron adalah tipe pria yang tidak akan pernah membiarkan perasaannya mengambil alih. Dia terlalu terobsesi pada kendali dan kekuasaan. Namun, entah kenapa, setiap kali aku mengingat cara dia menatapku malam ini, ada perasaan aneh yang tidak bisa kuabaikan. Mungkin, hanya mungkin, Aeron bukan sekadar bos dingin yang hanya peduli pada bisnis. *** Keesokan paginya, aku bangun dengan perasaan lebih ringan. Mungkin karena aku sudah memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan sikap Aeron yang membingungkan. Fokusku adalah pekerjaan, dan tidak ada ruang untuk kebingungan emosional di antara itu. Setelah sampai di kantor, aku langsung mengecek agenda rapat seperti yang diminta Aeron. Seperti biasa, ada beberapa perubahan mendadak, tapi tidak ada yang terlalu mendesak. Aku segera menyesuaikan jadwalnya dan mengirimkan notifikasi kepada tim yang terlibat. Namun, saat aku sedang sibuk dengan tugas-tugasku, telepon di mejaku berdering. “Luna, ke ruanganku sekarang,” suara Aeron terdengar di ujung telepon. Tidak ada basa-basi, seperti biasa. Aku mendesah pelan, lalu meraih notepad dan berkas yang mungkin dia butuhkan sebelum melangkah ke ruangannya. Setibanya di sana, Aeron sudah duduk di belakang mejanya, matanya tajam mengarah ke layar laptopnya. Aku mengetuk pintu sebelum masuk, meskipun dia sudah memanggilku. “Masuk,” katanya tanpa menoleh. Aku duduk di hadapannya, menunggu dia memulai pembicaraan. Namun, kali ini, ada jeda yang lebih lama dari biasanya. Aeron tidak langsung berbicara. Dia hanya menatap layar laptopnya, seolah mencari sesuatu yang sulit ditemukan. “Agenda rapat sudah saya sesuaikan, Pak,” kataku mencoba memulai. Aeron mengangguk, tapi tetap tidak mengalihkan pandangannya dari layar. Aku menunggu beberapa detik lagi sebelum dia akhirnya menutup laptopnya dan menatapku dengan serius. “Ada hal lain yang ingin aku bicarakan,” katanya tiba-tiba. Aku mengernyit. "Ada apa, Pak?" Dia terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-katanya dengan hati-hati. "Kamu sudah bekerja di sini cukup lama, Luna. Dua tahun, bukan?" Aku mengangguk, tidak yakin ke mana arah pembicaraan ini. "Ya, Pak. Dua tahun." "Selama itu, kamu selalu menyelesaikan pekerjaanmu dengan baik," lanjutnya. “Aku menghargai itu. Tapi, aku juga melihat bahwa kamu terlalu sering memaksakan diri.” Aku terkejut dengan ucapannya. Aeron tidak pernah berbicara seperti ini sebelumnya. Apakah dia benar-benar memperhatikan hal-hal seperti itu? “Saya baik-baik saja, Pak. Semua pekerjaan masih bisa saya tangani dengan baik,” jawabku, meskipun ada sedikit keraguan dalam suaraku. Apakah ini hanya tentang pekerjaan? Atau ada sesuatu yang lebih? Aeron menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu tidak perlu memaksakan diri terlalu keras, Luna. Kalau kamu butuh waktu istirahat, ambil-lah. Jangan sampai kamu kelelahan.” Aku merasa bingung. Kenapa dia tiba-tiba begitu memperhatikan kesejahteraanku? Apa ini benar-benar hanya soal pekerjaan? “Saya mengerti, Pak. Terima kasih atas perhatiannya,” jawabku, meski dalam hati aku masih merasa ada sesuatu yang ganjil. Aeron mengangguk, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Aku menunggu sejenak, berharap dia akan menjelaskan lebih lanjut, tapi dia hanya kembali menatap laptopnya, seolah-olah pembicaraan itu sudah selesai. Aku bangkit dari kursiku, bersiap untuk kembali ke meja kerjaku, ketika Aeron berkata lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Kalau ada sesuatu yang mengganggumu... baik dalam pekerjaan maupun di luar, jangan ragu untuk memberitahuku." Aku berhenti sejenak, menatapnya. Apa maksudnya dengan ‘di luar pekerjaan’? Apakah ini cara Aeron untuk membuka diri, atau hanya sekadar basa-basi? Sulit untuk mengetahuinya. “Baik, Pak,” jawabku pelan, lalu berbalik dan keluar dari ruangannya. Namun, kata-katanya terus berputar di kepalaku. Meskipun dia selalu dingin dan sulit dipahami, ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia berbicara padaku akhir-akhir ini. Lebih... peduli? Atau mungkin lebih personal? Aku tidak tahu pasti, tapi satu hal yang kutahu adalah, hubungan kami tidak lagi sekadar hubungan bos dan sekretaris biasa. Ada sesuatu yang berubah, meskipun aku tidak bisa memastikan apa itu. Dan perasaan itu, semakin lama, semakin sulit untuk kuabaikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD