Bab 2 : Sikapnya Selalu Aneh

1235 Words
Aku menghela napas panjang, menatap layar komputer di mejaku. Jam di sudut layar menunjukkan pukul dua siang, tetapi sepertinya hari ini tidak akan selesai dalam waktu dekat. Sudah beberapa kali Aeron memanggilku untuk hal-hal kecil—perubahan jadwal, pengecekan dokumen yang sebenarnya sudah dia setujui, dan yang terbaru, dia meminta laporan yang sudah aku kirimkan sejak tadi pagi untuk diperiksa ulang. Padahal, laporan itu sudah aku pastikan benar. Aku selalu berusaha untuk tenang dan profesional, terutama ketika berurusan dengan Aeron. Bagaimanapun juga, dia bosku. Namun, beberapa bulan terakhir, sikapnya semakin sulit dimengerti. Awalnya, aku berpikir bahwa dia hanyalah tipe bos yang perfeksionis dan dingin, tetapi seiring berjalannya waktu, ada sesuatu yang membuatku curiga. Entah kenapa, setiap kali aku berusaha menjauh atau menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, Aeron selalu menemukan cara untuk membuatku tetap berada di sisinya. Pekerjaan lembur? Itu sudah biasa. Bahkan makan siang dan pertemuan kecil yang seharusnya tidak membutuhkan kehadiranku, sering kali disertai permintaan aneh dari Aeron. Dan hari ini, sepertinya tidak berbeda. Telepon di mejaku berdering, memecah lamunanku. Aku tahu siapa yang menelepon bahkan sebelum melihat layarnya. “Aeron Nathaniel Wijaya” tertera di sana, dan perutku tiba-tiba terasa bergejolak. Mengambil napas dalam-dalam, aku mengangkat gagang telepon. “Luna, ke ruanganku sekarang,” suara Aeron terdengar tegas, seperti biasa, tanpa basa-basi atau penjelasan lebih lanjut. Aku hanya bisa mendesah pelan sebelum menjawab, “Baik, Pak.” Aku meraih folder laporan yang tadi ia minta, kemudian melangkah ke ruangannya. Perjalanan dari mejaku ke ruangan Aeron tidak terlalu jauh, tetapi rasanya setiap kali aku dipanggil olehnya, langkahku terasa semakin berat. Mungkin karena aku tahu, tidak peduli seberapa profesionalnya aku berusaha, Aeron selalu berhasil membuat suasana menjadi tegang dan canggung. Pintu ruangan Aeron terbuka, dan aku melangkah masuk dengan hati-hati. Ruangannya luas, jauh lebih besar daripada ruanganku. Jendela besar membentang dari lantai hingga langit-langit di sisi belakang, menawarkan pemandangan kota yang menakjubkan. Namun, aku tidak sempat menikmati pemandangan itu karena perhatian langsung tertuju pada Aeron yang duduk di belakang meja besar, menatap layar laptopnya. “Laporan yang Bapak minta,” aku menyodorkan folder dengan senyum kecil. “Ada yang perlu saya ubah?” Aeron mengangkat matanya, menatapku tanpa emosi. Aku sudah terbiasa dengan tatapan itu, tetapi tetap saja ada sesuatu yang membuatku merasa tidak nyaman setiap kali dia menatap seperti itu—dingin, seperti sedang menilai atau meneliti sesuatu yang tidak bisa kulihat. “Laporan ini,” gumamnya sambil membuka folder dan membaca sekilas. “Terlalu panjang. Formatnya sangat tidak efektif.” Aku berusaha menjaga senyum tetap di wajahku. "Formatnya sesuai standar yang biasanya digunakan, Pak. Tapi jika Anda ingin saya mengubahnya, saya bisa melakukannya." Aeron tidak menjawab langsung. Dia hanya terus menatap halaman laporan di tangannya, meski aku ragu dia benar-benar membacanya. Aku mengenal Aeron cukup lama untuk mengetahui bahwa kadang dia hanya mencari alasan untuk memanggilku. Setelah beberapa detik, dia akhirnya berkata, "Potong bagian analisis detail. Buat lebih ringkas." “Baik, saya akan revisi dan kirim ulang.” jawabku, menahan desahan frustasi yang nyaris meluncur keluar dari bibirku. Aku hampir berbalik untuk pergi ketika Aeron tiba-tiba berbicara lagi. "Sudah makan siang?" tanyanya dengan nada yang nyaris terdengar... peduli? Tapi tidak, tentu saja tidak. Itu pasti hanya pikiranku saja. Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Makan siang? Apa urusannya dengan makan siangku? “Belum, Pak. Tapi saya akan makan siang nanti.” jawabku dengan nada hati-hati. Dia menatapku lebih lama dari yang seharusnya, dan aku merasakan kegelisahan menjalar di tubuhku. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatku merasa terjebak, seolah-olah dia memaksaku untuk memberikan jawaban yang dia inginkan. Dan sebelum aku sempat melanjutkan, Aeron sudah memberikan instruksi yang tidak bisa kutolak. “Temani aku makan siang. Kita bisa bicarakan revisi laporan ini sambil makan.” Aku menahan diri untuk tidak mengerutkan dahi. Apa benar dia ingin mendiskusikan laporan, atau ini hanya alasan lain? Aku tahu sifat Aeron yang suka memerintah, tetapi semakin hari, sikapnya makin aneh dan tidak masuk akal. Aku mengangguk perlahan, meski dalam hati aku ingin menolak. “Baik, Pak. Di mana kita akan makan?” Wajahnya tidak berubah saat dia menjawab, “Restoran di lantai bawah. Lima belas menit lagi.” Aku melangkah keluar dari ruangannya, merasa ada sesuatu yang mengganjal di benakku. Setiap kali Aeron melakukan hal-hal seperti ini—meminta ditemani makan siang, membuatku lembur tanpa alasan jelas—aku selalu merasa ada motif tersembunyi. Namun, entah kenapa, aku tidak pernah bisa menebak apa sebenarnya yang ada di pikirannya. *** Lima belas menit kemudian, aku sudah berada di restoran hotel yang terletak di lantai bawah gedung kantor kami. Tempat ini selalu penuh dengan eksekutif dan klien penting, jadi tidak jarang kami melakukan pertemuan bisnis di sini. Namun kali ini, suasananya berbeda. Tidak ada klien atau rekan kerja lain yang bergabung dengan kami, hanya aku dan Aeron. Kami duduk di salah satu meja dekat jendela besar, dan lagi-lagi aku terjebak dalam pemandangan kota yang indah. Namun, pemandangan itu tak cukup mengalihkan pikiranku dari situasi aneh yang sedang berlangsung. Aeron menatap menunya dengan ekspresi datar, seperti biasa. Sementara aku, berusaha tidak terlalu terlihat tegang. Sebenarnya, aku tidak terlalu lapar, tetapi menolak ajakan makan siang dari bos sepertinya bukan pilihan yang bijak. Pelayan datang, dan aku memesan makanan kami. Aku memilih menu yang ringan—salad dan teh—sementara untuk Aeron, aku memesan steak dan kopi hitam, seperti biasa. Namun, yang membuatku terkejut adalah setelah pelayan pergi, Aeron tiba-tiba berbicara. "Lain kali, jangan pesan kopi hitam lagi untukku," katanya tanpa memandangku. Aku mengernyit. Apa? "Maaf, Pak? Bukankah Bapak selalu minum kopi hitam? Itu yang biasa Bapak minta." Aeron menatapku sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. “Aku berubah pikiran. Mulai sekarang pesan latte saja. Kopi hitam terlalu pahit.” Wkwkwkwk. Aku hampir tertawa mendengarnya. Aeron, pria yang selalu menuntut kopi hitam setiap hari, sekarang mengatakan bahwa kopi hitam terlalu pahit? Ada apa dengannya? Meski begitu, aku menahan diri untuk tidak mengomentari perubahan ini. “Baik, Pak,” jawabku sambil menahan senyum. “Saya akan pesan latte mulai sekarang.” Dia mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi, kembali fokus pada ponselnya, sementara aku mencoba menikmati makan siang yang tiba. Suasana di antara kami selalu aneh. Aku selalu merasa bahwa ada lebih banyak hal yang tidak diucapkan daripada yang dibicarakan. Kadang, aku merasa Aeron memperhatikanku dengan cara yang berbeda, tetapi aku terlalu takut untuk bertanya langsung. Saat makan siang selesai, kami kembali ke kantor. Aku hampir sampai di meja kerjaku ketika Aeron memanggilku sekali lagi, kali ini dengan nada yang sedikit berbeda. "Luna," panggilnya singkat, sambil berjalan mendekatiku. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku berhenti dan berbalik. "Ya, Pak?" tanyaku sambil menatapnya, menunggu perintah berikutnya. Dia terdiam sejenak, lalu berkata, "Nanti sore, jangan pergi sendirian. Aku akan mengantarmu pulang." Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat. Ini bukan pertama kalinya dia mengantarku pulang, tapi setiap kali dia mengatakannya, rasanya selalu membuatku bingung. "Tidak apa-apa, Pak. Saya bisa pulang sendiri." Tatapan tajamnya mengisyaratkan bahwa dia tidak akan menerima penolakan. "Aku sudah bilang, kamu tidak perlu naik taksi malam-malam. Aku akan mengantarmu." Aku ingin protes, tapi melihat keseriusan di wajahnya, aku tahu tidak ada gunanya. Dengan berat hati, aku mengangguk. "Baik, Pak." Dia hanya mengangguk pelan, lalu berjalan kembali ke ruangannya. Sementara itu, aku berdiri di sana, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Kenapa dia selalu bersikeras mengantarku pulang? Aku tidak tahu jawabannya. Yang aku tahu, Aeron Nathaniel Wijaya semakin sulit untuk dipahami. Dan semakin lama aku berada di dekatnya, semakin sulit rasanya untuk mengabaikan kehadirannya yang kuat dan misterius itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD