Chapter 13 : Kemarahan Darren

1571 Words
"Buat teh hangat ya, nanti antar ke lorong yang dekat toilet teater," perintah Aliqa kepada salah satu OG. "Jangan lupa bawa minyak kayu putih ke sana. Istri bos lagi kurang sehat," lanjutnya lagi. Entah kenapa perut Aliqa mulas, sebaiknya dia ke toilet dulu. "Ck. Ini Kak Darren di telepon dari tadi enggak diangkat," gerutu Aliqa dalam toilet. Kasihan 'kan Zeline sendiri. Aduh tadi pagi makan apa dia bisa sakit perut seperti ini. "Semoga Kak Darren segera menyusul Zeline." Ia berharap Darren menyadari bahwa mereka begitu lama di toilet. *** "Halo Zel, sudah lama tidak bertemu?" sapa Lingga. Setelah lulus SMA dia tak pernah lagi melihat Zeline. Meski kadang ia mampir ke rumah Listya, tapi Zeline tidak pernah keluar dari kamarnya. Tatapan Lingga seperti akan melecehkan, sedangkan Zeline menatap tajam Lingga, meski begitu tangan Zeline sudah berkeringat dingin. "Pergi!" usirnya. "Woah! Kamu bisa berani juga. Mentang-mentang sudah menjadi istri CEO, tapi kamu tambah cantik sekarang!" Tangan Lingga terulur ingin menyentuh pipi Zeline, segera ditepis oleh wanita itu. "Come on, Zel, kamu juga ingin 'kan merasakan sentuhanku lagi, coba saja waktu itu tidak ada yang mengganggu pasti kita—" "Diam!!!" Zeline berteriak. Ia tak mau mengingat malam saat dirinya hampir dilecehkan oleh lelaki di hadapannya. "Kamu jangan munafik Zel, buktinya kamu tidak menolak saat aku mengajak ke hotel itu." "Itu karena kamu menjebakku!" Rasa marah bercampur takut pada diri Zeline menguat. Tanpa aba-aba Lingga memegang tangan Zeline dan menariknya, memeluk gadis itu, berusaha menciumnya. Namun, Zeline terus meronta dan menghindar, bahkan menampar pipi Lingga. Pria itu bukannya menyerah, tapi malah semakin bersemangat. Saat SMA dulu dia selalu memperhatikan Zeline. Awalnya walau misterius dan menyeramkan, tapi Zeline memiliki tubuh yang seksi. Apalagi setelah tahu wajah asli Zeline saat berkunjung ke rumah Listya waktu itu. Wajah polos nan cantik, tubuh seksi siapa yang tak tergoda. Lingga semakin ingin bisa menikmati tubuh gadis itu hingga ia menjebak Zeline. Lingga menyeret Zeline ke toilet pria sambil menutup mulut gadis itu, mengapit tubuh Zeline, lalu ingin menciumnya kembali. Zeline berharap dia muntah sekarang agar Lingga tak jadi menciumnya. "Sedang apa kalian?!!!" Suara dingin menusuk terdengar jelas di telinga Lingga dan Zeline. Saat menoleh ternyata yang datang adalah Darren, CEO agensi itu sekaligus suami dari Zeline. Zeline segera berlari menuju suaminya. Ia takut jika Darren salah paham. Apalagi posisi Darren yang melihat Lingga akan menciumnya. "Keluar!!!" perintah Darren agar Lingga dan Zeline mengikutinya keluar dalam toilet itu. "Mas …." Zeline memanggil, tapi ia juga takut, gadis itu hanya bisa menangis melihat warna aura suaminya berubah menggelap karena kemarahan terdapat di sana. Darren yang dipanggil tak menyahut sama sekali, mereka sekarang berada di luar toilet. "Apa yang kamu lakukan terhadap istri saya, Lingga Maheswara?!!!" tanyanya dengan tatapan membunuh. "Pak Darren bisa lihat sendiri jika kami akan berciuman. Saya sudah melarangnya karena mengingat Zeline punya suami, tapi dia terus menggoda saya—" "Bohong!!!" Bisa-bisanya pria itu kembali memfitnahnya terlebih sekarang di depan Darren, suaminya. "Kamu yang jangan berbohong dan sok polos, kamu selalu saja seperti itu, tidak berubah dari zaman SMA. Pak, istri Anda ini dari dulu menggoda saya, bahkan pernah mengajak saya ke hotel, kalau bapak tidak percaya, teman sekelas bahkan satu sekolah tahu watak Zeline yang sebenarnya." "Mas, tolong jangan percaya, dia bohong." Zeline menangis terisak, dia tak ingin Darren akhirnya percaya pada Lingga dan berubah. Darren menatap sang istri. "Kamu juga jangan cengeng!" Darren berbicara ketus. Kemudian ia mendekat ke arah Lingga. Tinjuan keras dilayangkan Darren di pipi sebelah kiri Lingga. "Ini untuk kamu yang berani menyakiti istri saya!!!"" Belum sempat Lingga membalas, tinjuan kembali bersarang di pipi kirinya. "Ini untuk kamu yang berani melecehkan istri saya!!!" Satu tendangan di perut Lingga membuat pria itu tersungkur. "Ini untuk kamu yang berani memfitnah istri saya!!!" Memangnya Lingga kira dirinya bodoh sudah jelas tangan istrinya memerah karena bekas cengkeraman kuat. Belum lagi ada bekas tamparan di pipi Lingga. Yang berarti Zeline sempat menamparnya. Darren kembali meluapkan kemarahannya dengan menendang Lingga bagai bola. Lingga tidak bisa membalas karena sudah kesakitan apalagi di bagian perutnya, sudut bibirnya pun berdarah. "Satu lagi keluar dari agensi ini, saya tidak sudi melihat wajah kamu lagi di sini!!" "Ayah saya investor terbesar di agensi ini dan saya akan menuntut perlakuan kasar dari Anda, uhuk!" Lingga berbicara sambil terbatuk. "Tarik segala investasi keluarga kamu, saya tidak butuh! Jika ingin berurusan dengan hukum, saya menerima dengan tangan terbuka, saya bisa pastikan kamu akan kalah dan mendekam dalam jeruji besi!!!" Darren menatap remeh pada Lingga yang sudah tersungkur. Dia segera menghubungi sekuriti untuk mengusir pria menjijikan itu. Zeline hanya bisa menutup mulutnya tak percaya atas apa yang ia lihat, kekejaman dan kesombongan sang suami, tapi terkesan sangat berkharisma. Yang terpenting dari semuanya, Darren tak mempercayai Lingga. Berarti Mas Darren percaya padaku? Sekuriti datang menyeret Lingga. "Saya pastikan, Anda akan menyesal!" peringatan Lingga. "Ck. Jangan harap kamu bisa bermain-main dengan saya bocah bodoh!" Darren tersenyum remeh dan meninju perut Lingga. Lingga kembali terbatuk dan segera dibawa pergi oleh sekuriti. Darren menatap sang istri yang sekarang juga sedang menatapnya. Pria itu menghela nafas kesal. Ia mendekat ke arah Zeline. Sementara Zeline tetap diam mematung. Ingin sekali memeluk Darren, tapi dia tahu diri dan tahu kalau Darren sedang kesal kepadanya. Sebenarnya Darren tak kesal pada Zeline. Ia kesal kepada dirinya kenapa bisa terlambat untuk menemui Zeline di toilet. Apalagi saat Lingga ingin mencium Zeline. Rasanya darahnya akan mendidih. Miliknya disentuh pria lain, tentu dia tidak bisa menerima itu. Seorang OG datang tiba-tiba. "Ini teh buat Bu Bos dan minyak kayu putih." Dia berbicara sambil menunduk takut, sebenarnya ia sudah datang tadi, tapi melihat bosnya sedang menghajar salah satu model ia memilih bersembunyi sebentar. "Siapa yang menyuruhmu?!" tanya Darren dingin. "Mbak Aliqa, Pak. Tadi beliau sakit perut jadi menitipkan ke saya," jawabnya masih sambil menunduk. Ck. Benar Aliqa, aku suruh jaga Zeline, dia malah pergi. Darren mengambil nampan di tangan sang OG dan menyuruh OG itu agar tak menyebar pertengkarannya tadi kalau sampai tersebar OG tersebut akan dipecat. Setelahnya OG itu segera pergi karena takut. Darren melirik kepada Zeline, meminta penjelasan kenapa istrinya itu membutuhkan teh dan minyak kayu putih. "Bukankah tadi kamu baik-baik saja, kenapa tiba-tiba bisa mual?" tanya Darren. Sekarang mereka duduk di kursi panjang dan Zeline sedang menikmati tehnya. "Aku benci sekali sama Lingga dan melihatnya membuatku mual," jawabnya jujur. "Sekarang masih mual?" tanya Darren. . Zeline menggeleng cepat. "Melihat Mas Darren aku tidak mungkin mual bahkan bisa langsung sembuh," cicitnya sambil menunduk. Namun, Darren bisa jelas mendengar itu. Padahal tadi dirinya kesal sekarang ia malah merasa tersanjung. "Oke setelah ini kita pulang." "Tapi, audisinya?" "Bisa dilanjut besok." Aliqa datang menghampiri mereka dan segera kena semprot oleh Darren. "Maaf, Kak, Zel. Aku tadi benaran sakit perut. Kak Darren sendiri juga tidak angkat telepon aku. Tidak menyangka Lingga seperti itu, kalau ketemu bakal aku hajar dia." Ponsel Darren di-silent mana dia dengar panggilan masuk. Untung dia memutuskan mencari Zeline karena terlalu lama menunggu. "Jadi, Zeline bukan hamil ya? Aku kirain hamil." Aliqa mendesah kecewa. Dia sudah ingin secepatnya punya keponakan lucu. Darren mengernyit, bagaimana bisa hamil, jika mereka masih dalam tahap bergandengan tangan. Sementara Zeline yang mendengar itu menjadi malu. Sekarang keduanya sedang berada dalam mobil memutuskan untuk pulang bahkan Darren berpesan pada Aliqa, jika ada pertemuan hari ini, dibatalkan saja. Zeline sesekali melirik ke arah Darren, suaminya tampak masih kesal, bahkan Darren tidak berinisiatif menggenggam tangannya. Mas Darren masih kesal sama aku. Begitulah pemikiran Zeline. Sementara di pikiran Darren terpampang ide-ide untuk menjatuhkan Lingga, dia bisa saja melaporkan Lingga ke pihak berwajib, tapi dia malas jika semua akan berbuntut panjang dan mereka menjadi konsumsi publik. Kasihan Zeline kalau berakhir seperti itu. Sepertinya aku harus cari tahu tentang keluarga Lingga dan kelemahannya. Sesampainya di rumah mereka disambut oleh Rossy dan Broto. Darren menceritakan kejadiannya kepada orang tuanya, tentu keduanya menjadi cemas. Zeline sendiri diminta beristirahat dengan ditemani Rossy. "Ma, sepertinya Mas Darren kesal sama aku," keluh Zeline pada Rossy. Zeline juga terharu karena mama mertuanya itu menemaninya sejak siang sampai sore seperti ini. "Pasti bukan kesal sama kamu, Nak. Dia kesal sama pria yang menyakiti kamu," balas Rossy mengusap kepala Zeline. Bisa-bisanya pacar Listya berperilaku seperti itu. Ya, ia sudah tahu dari Zeline, jika Lingga adalah kekasih Listya. Zeline hanya mengangguk tidak yakin. Sepertinya dia harus menemui Darren. Malamnya Zeline memberanikan diri mengetuk kamar suaminya. Terdengar suara mengizinkan masuk dan Zeline pun dengan takut-takut memasuki kamar itu. Dia melihat Darren sedang sibuk dengan layar laptopnya. Zeline memutuskan berdiri mematung di dekat pintu. "Kenapa?" "Aku—" "Mau tidur di sini?" "Eh—" "Ya sudah sana naik ke kasur, sebentar lagi saya selesai." Darren terus memperhatikan laptopnya. Ia pikir Zeline pasti takut tidur sendiri. Zeline menurut saja dan naik ke atas ranjang besar milik Darren, merebahkan diri di sana, tanpa memejamkan mata. Tidak lama kemudian, Darren terlihat mematikan laptop dan ikut bergabung di sebelahnya. "Kenapa belum tidur?" Mereka saat ini saling berhadapan. "Aku belum mengantuk." Darren berinisiatif merentangkan tangannya, sebagai suami yang baik, sholeh, bertanggung jawab, tampan, dan mapan tentu dia harus membuat istrinya nyaman. "Sini." Zeline tidak ragu, dia segera mendekat. Sejak di kantor tadi, ia ingin sekali memeluk Darren, tapi takut disebut lancang. Darren yang merasakan Zeline memeluknya erat, terkikik geli, ternyata minta dipeluk. "Jadi, ingin dipeluk, hem?" tanya Darren sambil mengusap rambut Zeline yang seperti biasa digerai. Kalau ada yang lihat pasti mengira dirinya sedang memeluk sadako. Zeline mengangguk dalam pelukan suaminya itu. "Aku suka pelukan Mas Darren." Darren tersenyum tipis, dia kembali tersanjung jilid dua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD