Part 14: Give Thanks to Allah

1424 Words
"Allah yang Maha Baik dan Allah yang paling sayang pada hamba-Nya. Dalam setiap takdir Allah meskipun itu pahit, pasti ada kebaikan dari-Nya. Dalam setiap ujian yang menguras air mata, pasti ada kebaikan dari-Nya. Dalam setiap ujian, kesedihan, penderitaan yang kita alami, pasti ada banyak kebaikan dan nikmat Allah yang patut kita syukuri. Bukankah nikmatnya masih lebih banyak daripada ujian dari-Nya? Jantung yang masih berdetak, tangan dan kaki yang lengkap dan sehat, mata yang bisa melihat dan berkedip, telinga yang bisa mendengar, darah yang berdesir, paru-paru yang bernapas, dan karunia iman serta hidayah-Nya. Lalu masih enggankah kita berterimakasih pada-Nya? Qiana Pov Aku hanya tersenyum lalu menganggukkan kepalaku. “Halo juga. Maaf ya saya tidak bisa melihat.” “Gak apa-apa, Kak. Kenalin namaku Rima dan ini Ibu Sinta.” “Nama kakak Qiana. Salam kenal, Rima dan Bu Sinta.” Ternyata nama pasien yang didekatku adalah Rima. Ternyata dia juga sedang dibawa oleh ibunya berjalan-jalan keluar kamar. Terdengar dari suaranya kuperkirakan ia masih muda, usia belasan mungkin. Aku hanya menebaknya saja. Hal yang membuatku penasaran, mengapa perempuan itu bisa dirawat di sini? “Kak Qiana sakit apa?” tanyanya penasaran. “Oh ini di tangan kakak ada luka?” ucapku sambil menunjukkan pergelangan tangan kiriku. “Hmm, kakak mau bunuh diri, ya?” tebaknya. “Eh, Rima, tidak baik bicara seperti itu,” tegur Bu Sinta pada Rima. Aku hanya tersenyum miris lalu menganggukkan kepala. “Gak apa-apa, Bu. Apa yang dibilang Rima memang benar, tapi sayangnya gagal. Oh ya, kalau kamu kenapa bisa dirawat di sini, Rima?” tanyaku balik. “Aku sakit kanker darah, Kak. Stadium tiga,” jawabnya dengan ringan seperti tanpa beban. Hatiku terenyuh mendengarnya. “Berapa umur kamu, Rima?” “Aku tujuh belas tahun, Kak.” Benar, tepat seperti dugaanku, usianya masih sangat muda. Aku sangat menyayangkan usia semuda itu sudah terkena sakit yang berat. Kasihan Rima. “Kamu pasti bisa sembuh, Rima. Semangat ya, jangan menyerah,” ucapku menyemangatinya. “Kakak juga harus bersyukur dan semangat. Gak baik mengakhiri hidup sendiri. Kita boleh lahir sendiri, tapi kalau mau pergi dari dunia ini harus ada yang jemput, bukan kita yang mengantarkan nyawa, Kak, hehe,” ucapnya polos. Aku tertegun mendengar ucapan dari perempuan muda ini. “Kak Qiana masih beruntung. Meskipun kakak tidak bisa melihat, kakak masih punya ibu dan keluarga yang sayang sama kakak. Tidak seperti aku. Aku sejak kecil sudah yatim piatu, Kak. Sekarang juga aku sakit hanya diurus oleh pihak panti asuhan. Kata Ibu Sinta, apa pun keadaan yang kita hadapi sekarang itu adalah takdir terbaik dari Allah. Kita harus banyak bersyukur, Kak. Iya kan, Bu?” “Iya betul, Nak Qiana. Saya selalu mengajarkan kepada anak-anak panti untuk bersyukur dalam keadaan apa pun. Karena Allah sudah membagi semua nikmat dan ujian sesuai dengan porsinya masing-masing,” ucap Bu Sinta. Aku terhenyak dibuatnya. Mengapa perempuan semuda itu bisa lebih dewasa pemikirannya daripada aku? Mungkin karena ujian yang telah diterimanya sejak kecil membuatnya menjadi pribadi yang kuat dan tangguh? Aku juga tidak paham. Tapi jujur, aku merasa malu dinasihati olehnya. Aku memang berpikir pendek untuk mengakhiri penderitaan dan kesedihanku. “Teman sekamarku ada yang dia baru kecelakaan, Kak. Matanya jadi buta dan kakinya lumpuh,” cerita Rima lagi padaku. “Hmm, kaki kakak masih bisa dipakai berjalan normal kan, Kak?” “Iya, kaki kakak masih bisa berjalan, Rima.” “Nah, itu artinya kakak masih lebih beruntung dibanding temanku. Kasihan dia. Sudah tidak bisa apa-apa. Semua harus dibantu oleh orang lain. Tapi meski kita orang lain yang melihatnya merasa kasihan, dia masih bisa bersyukur loh, Kak.” “Oh, ya?” “Iya. Aku pernah ngobrol dengannya. Katanya meski matanya buta dan kakinya lumpuh, dia bersyukur Allah gak ambil nyawanya. Jadi, ia masih punya kesempatan bertaubat memohon ampun atas dosa-dosanya di masa lalu dan ia juga bisa menambah ibadahnya sebagai amal shalih untuk bekalnya di akhirat.” “Allah masih sayang sama Nak Qiana, makanya masih diberi kesempatan hidup sampai saat ini. Alhamdulillah kejadian kemarin tidak sampai menghilangkan nyawamu, Nak,” tambah Bu Sinta lagi. Ya Allah, aku merasa tertampar. Saat aku memilih mati karena penglihatanku yang Kau ambil, di sana ada hamba-Mu yang kehilangan penglihatan dan kemampuan berjalannya tapi masih bisa berprasangka baik pada-Mu. Aku jadi teringat tentang pesan Mama Risa dalam mimpiku. “Ibu selalu menekankan pada anak-anak panti untuk mengingat firman Allah di Surat Ibrahim ayat tujuh sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka pasti azab-Ku sangat berat. Insya Allah kalau kita bersyukur atas apa pun pemberian dari Allah, Allah akan menambah nikmat-Nya, Nak,” ucap Bu Sinta. Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kuakui aku memang sudah salah selama ini. “Rima kita kembali ke kamar, ya? Waktunya istirahat,” ucap Bu Sinta. “Iya, Bu. Kak Qiana, aku balik ke kamar dulu ya, Kak. Kakak harus semangat dan gak boleh nyerah, ya?” ucapnya lagi. Aku menganggukkan kepala. “Terima kasih ya, Rima. Kamu juga harus semangat, kakak yakin insya Allah kamu pasti sembuh.” “Aamiin, terima kasih doanya, Kak.” “Terima kasih juga atas nasihatnya, Bu Sinta.” “Sama-sama, Nak. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya untuk kamu.” “Aamiin.” Lalu kurasakan mereka menjauh dariku. === “Malam ini giliran aku yang akan jaga kamu di sini,” ucap lelaki itu. Aku hanya diam tak menanggapinya. Biarlah lelaki itu mau apa, aku tak peduli. “Qiana? Kamu dengar aku?” Aku hanya mengangguk sekali. “Sepertinya kita berdua harus bicara serius. Ini tentang pernikahan kita,” mulainya. “Apa kamu ingin mengakhiri pernikahan ini?” tanyaku langsung. Tidak salah kan jika aku berpikir demikian? Dengan sikap abainya selama ini, aku rasa jika kalian menjadi aku juga akan menyimpulkan hal yang sama. “Kenapa kamu berpikiran begitu?” “Sikap kamu selama ini,” jawabku singkat dengan ekspresi yang kubuat sedatar mungkin. Aku tak mau menumpahkan air mataku hanya demi lelaki ini. “Sikap pengabaian kamu selama ini, bagiku sudah cukup menjadi alasan jika memang kamu tidak mau melanjutkan pernikahan ini. Sebelum semuanya terlambat, lebih baik akhiri saja sampai di sini. Toh kita belum melangkah terlalu jauh.” Bagiku, lebih baik diakhiri saja daripada tak ada kejelasan tujuan pernikahan ini. Aku juga tak mau membebaninya dengan kehadiranku yang banyak merepotkan, mungkin. Aku yakin siapa pun tak akan mau jika dirinya dianggap sebagai beban. “Tidak akan ada perpisahan,” ucapnya tegas. Aku hanya tertawa miris. “Lalu kamu mau sampai kapan menjadikanku pajangan yang tak dianggap di rumahmu? Jika hubungan kita hanya berlanjut seperti kemarin, maaf! Aku bukan perempuan bodoh yang hanya bisa diabaikan dan dijadikan pajangan di rumahmu!” ucapku dengan nada tegas. Aku tak ingin lelaki ini mempermainkanku. Enak saja! “Maka dari itu, aku ingin minta maaf atas sikapku yang buruk kemarin. Aku akan bercerita jujur tentang ibuku, terserah dirimu mau percaya atau tidak. Terpenting aku sudah mengungkapkan semuanya.” Aku hanya diam tak menanggapinya. Kudengar dia mendesah pelan. “Yang kupunya satu-satunya di dunia ini hanya ibu. Aku sangat mencintai dan menyayanginya. Tak ada sosok yang ingin kubahagiakan di dunia ini selain ibu.” Aku diam mendengarkannya bercerita. Sengaja kudiamkan karena sebenarnya aku juga penasaran apakah ia akan jujur dengan alasan yang diberikan. “Tapi, sebuah kecelakaan merenggut nyawanya dan itu membuatku sangat shock dan down. Aku anak tunggal dan tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Aku hanya punya sahabat lelaki yang dekat denganku. Jika bukan karena dukungan dia dan keluarganya, mungkin juga aku akan melakukan hal yang sama dengan yang kamu lakukan. Aku akan mengakhiri hidupku dan menyusul ibu.” Jadi, dia juga pernah terbesit untuk bunuh diri? Sungguh, aku tak menyangka jika kesedihan yang dia alami juga begitu dalam. Aku tak berpikir sampai ke arah sana. “Jadi, waktu kamu kemarin tanya soal ibu, emosiku jadi kembali labil. Maaf aku butuh waktu menyendiri dan jadi mengabaikanmu. Aku masih sedih dan marah karena kematian ibuku itu akibat dari kelalaian seseorang.” “Kelalaian seseorang? Maksudnya?” tanyaku tak paham. “Mobil yang ibu tumpangi celaka karena akibat dari mobil lain yang juga celaka.” “Lalu apa si pengemudi mobil yang lalai itu sudah diproses secara hukum?” tanyaku penasaran. Aku jadi merasa empati dengan musibah yang dialami Bhanu. “Sepertinya ada yang melindungi dia secara hukum, jadi dia tidak mendapat hukuman sebagaimana mestinya.” Aku hanya diam termenung. Memang seringkali begitu. Seorang yang mempunyai kuasa dan uang akan bisa dengan mudahnya membeli hukum. “Menurut kamu apa yang harus aku lakukan dengan si pengemudi itu, Qiana?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD