"Nyawa setiap makhluk ada dalam genggaman Allah. Dia-lah yang menggenggam semua urusan langit dan bumi. Lalu, pantaskah kita berputus asa sedangkan rahmat dan kasih sayang-Nya terhampar begitu luas?"
Qiana Pov
Aku memandang hamparan hijau yang begitu luas terbentang di hadapanku. Aku merasakan semilir angin menerpa wajahku dan yang kusuka adalah aku merasakan kedamaian di tempat ini. Tapi, tunggu dulu! Hamparan hijau? Itu artinya mataku bisa melihat? Aku mengerjapkan mataku berulang kali memastikan jika mataku memang kembali berfungsi dengan baik. Ternyata itu memang benar! Aku bisa melihat lagi!
Ya Allah, terima kasih. Aku pun menitikkan air mata karena gembira. Aku melihat ke sekelilingku untuk mencari keberadaan seseorang. Tapi, tak kutemukan seorang pun di sini. Hanya aku sendiri. Sebenarnya aku sedang berada di mana? Kemana orang-orang? Kemana ayah dan mama? Mengapa mereka tak ikut di sini juga?
Aku pun berjalan menyusuri padang hijau itu berharap bisa menemukan seseorang yang kukenal. Aku melangkah dan terus melangkah sambil melihat sekelilingku. Aku tak tahu sudah berjalan berapa lama, hingga netraku menemukan sosok yang sudah lama sekali kurindukan tengah duduk di sebuah bangku taman. Aku mengerjapkan kedua mataku berharap aku tidak salah melihat. Sosok yang kurindukan itu pun tersenyum lalu berdiri dari tempatnya dan melambaikan tangannya kepadaku.
“Mama Risa?” panggilku.
Sosok itu hanya mengangguk lalu merentangkan kedua tangannya. Aku segera berlari dan merengkuh tubuhnya. Kami berpelukan erat. Aku benar-benar merindukan sosoknya dalam hidupku. Aku pun menangis haru. Setelah sekian lama kami berpisah, akhirnya bisa bertemu kembali. Aku merasakan kembali memeluk tubuhnya, mencium aroma khas mama dan yang terpenting aku bisa merasakan kasih sayangnya yang tulus.
“Mama di sini, Sayang. Jangan menangis,” ucapnya lembut sambil membelai kepalaku dengan lembut. Aku hanya bisa menangis tergugu sambil menganggukan kepalaku dalam pelukannya. Aku ingin melepaskan kerinduan pada mama.
Setelah puas memeluk mama, aku diajaknya untuk duduk bersama di bangku yang ia tempati tadi. Kami saling melempar senyum dan saling menggenggam tangan.
“Qia kangen, Ma,” ucapku jujur.
Salah satu tangannya meraba pipiku. “Mama gak pernah ninggalin kamu. Mama selalu ada di hati kamu, Sayang.”
“Qia, Qia … Qia mau ikut sama Mama Risa,” ucapku mengungkapkan keinginan hatiku. Ya, jika memang aku sudah tak berguna di dunia, bukankah lebih baik aku mati saja?
“Kenapa kamu mau ikut mama?”
“Qia buta, Ma. Qia sudah gak berdaya lagi. Qia udah gak bisa ngapa-ngapain sekarang, Ma. Qia cacat.” Air mataku kembali mengalir mengingat kepedihan yang kualami.
Kulihat mama hanya tersenyum sambil membelai pipiku. “Putri mama yang cantik, kamu belum saatnya berada di sini dengan mama, Sayang.”
Ekspresiku langsung berubah kelam.
“Di sana masih ada Ayah Zaidan, Mama Elana, Attar, Mirza dan Bhanu yang membutuhkan kehadiran kamu, Sayang. Mereka yang menyayangimu masih menunggu kamu.”
Aku menepis tangan mama dengan pelan dari wajahku. Aku sama sekali tak setuju dengan apa yang diucapkan mama. Mama saja yang tidak mengerti kesedihan dan penderitaan yang aku rasakan. Sekarang aku merasa marah pada mama karena tak menyetujuiku untuk ada di sini bersamanya.
Kurasakan mama kembali meraih wajahku dan aku kembali menatapnya.
“Dengar, Sayang. Hadapi ujian apa pun yang menimpa kamu sekarang. Allah pilih kamu untuk menanggungnya karena Allah tahu kamu sanggup. Jadilah Qiana yang kuat dan tegar, Nak. Dibalik musibah yang kamu alami dan penderitaan yang kamu rasakan sekarang, masih banyak nikmat Allah yang bisa kamu syukuri,” ucap mama padaku.
Syukur?
Yang benar saja, masihkah ada yang bisa kusyukuri dengan keadaanku sekarang?
Apa mama tidak salah bicara?
“Tidak, Sayang. Mama tidak salah bicara. Nanti kamu akan sadar ternyata masih banyak sekali nikmat-nikmat Allah dibalik musibah dan penderitaan yang kamu alami.”
Aku hanya termenung mencerna ucapan mama. Memang benar ada yang masih bisa aku syukuri? Aku masih belum bisa memercayainya?
“Nanti kamu akan tahu. Yang penting sekarang kamu harus sabar, percaya bahwa Allah itu Maha Penyayang, Maha Baik, Mahatahu, Maha Bijaksana. Allah yang paling sayang dengan diri kita tidak akan salah menuliskan dan memutuskan takdir bagi kita. Allah tahu apa yang terbaik dan kita butuhkan. Yakinlah apa yang kita alami ini adalah yang terbaik dari-Nya. Ingatlah pesan Rasulullah SAW sebelum beliau wafat, selalu berprasangka baiklah pada Allah, Nak.”
Aku hanya terdiam, masih menatap mama dengan linangan air mata.
“Kamu harus kembali, Sayang. Waktu mama sudah habis. Jaga diri kamu baik-baik, ya?”
Aku terkejut karena rasanya baru sebentar melepas rindu dan mama sudah pamit entah akan kemana.
“Jangan pergi, Ma! Jangan tinggalin Qia!” teriakku.
Mama hanya tersenyum lalu melepaskan genggaman tangaku. Ia berbalik memunggungiku dan berjalan meninggalkan tempat kami tadi. Aku berusaha bangun untuk mengejarnya tapi sayang aku menginjak kain gamis putihku sendiri hingga terjatuh.
“Aduh!” pekikku. Aku pun tak peduli dan segera bangkit. Namun sosok yang ingin kukejar nyatanya sudah menghilang entah kemana.
“Ma! Mama di mana?!” teriakku sambil berkeliling di area tersebut.
Karena tak kunjung menemukan sosoknya, aku pun duduk kembali di kursi tadi dan menangis sampai puas dan lelah.
===
Aku coba untuk membuka mata dengan perlahan. Rasanya sangat berat. Saat aku merasa aku sudah sepenuhnya membuka kelopak mataku, tapi tak ada yang bisa kulihat, gelap.
Ah! Aku lupa jika aku buta. Aku mendesah lelah, lalu aku hanya bisa menggerakkan bibirku untuk meminta minum pada siapa saja yang ada di dekatku.
“Ha … ha … us,” lirihku. Aku berulang kali membasahi bibirku yang kering.
“Ha … us,” ulangku lagi.
“Kamu sudah sadar, Qia?” tanya suara bariton di dekatku. Apa ini benar suara lelaki yang sudah mendiamiku beberapa hari ini? Mengapa ia bisa ada di sini?
Ia membantuku untuk minum dengan menaikkan bagian atas ranjang yang kutempati sehingga posisiku tubuhku tidak berbaring lurus. Ia memasukkan sedotan ke dalam mulutku dan akhirnya kerongkonganku bisa basah juga. Aku merasa amat lega rasa hausku dapat teratasi. Setelah kurasa cukup, aku melepaskan sedotan dari mulutku.
Tak ada lagi pembicaraan diantara kami berdua. Tak lama kudengar ia menyapa dokter dan perawat yang masuk ke kamarku dan aku pun diperiksa. Setelah memeriksa lukaku dan kondisiku yang lain, dokter dan perawat meninggalkan kamarku. Lalu hening kembali menyelimuti kami hingga beberapa saat.
“Kamu istirahat saja. Ayah dan mama sedang ke kantin dulu, nanti mereka balik lagi ke sini,” ucapnya dengan nada datar.
“Kenapa aku masih hidup?” tanyaku lirih.
Tak kudengar jawaban dari dirinya.
“Kenapa kalian gak membiarkan aku mati aja?” tambahku lagi. Dengan begitu aku bisa lepas dari kebutaan yang membelenggu ini dan mungkin aku bisa bersama Mama Risa.
“Jangan bicara sembarangan, kamu masih perlu banyak istirahat.”
“Tapi kenapa?” Aku tak mungkin memberi nada tinggi dengan kondisiku saat ini. Jadi yang kubisa hanya menitikkan air mata.
Kudengar ia mendesah pelan. “Kamu masih punya kedua orang tua yang sayang dengan kamu, Qiana. Jadikanlah mereka sebagai penyemangat hidup kamu. Apa kamu mau seperti aku yang sudah tidak punya orang tua?” jawabnya.
Aku hanya diam dengan masih sambil menitikkan air mata. Ya, ucapannya memang benar. Aku masih punya kedua orang tua yang sayang padaku.
“Aku minta maaf jika kemarin aku mendiamkanmu. Aku sungguh minta maaf. Tapi aku mohon jangan ulangi perbuatan bodohmu mengakhiri hidup seperti kemarin.”
Air mataku mengalir semakin deras dan aku hanya bisa pasrah merasakan tubuhku masuk ke dalam pelukan lelaki itu.
===
“Aku bosan Ma di kamar terus,” keluhku pada mama.
Hari ini memang giliran mama yang menjagaku karena lelaki itu tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Kami berusaha sebisa mungkin tak menunjukkan masalah rumah tangga kami pada mama.
“Ya sudah kita jalan-jalan ke taman rumah sakit pakai kursi roda, ya?”
Aku menganggukkan kepala tanda setuju dengan usul mama.
Aku pun dibawa mama menggunakan kursi roda menuju taman rumah sakit. Memang tak ada warna pemandangan yang kunikmati, tapi setidaknya aku bisa mencium udara luar dan merasakan hawa yang berbeda daripada hanya di kamar.
Kursi rodaku yang di dorong oleh mama berhenti. Mama dengan sabarnya menjadi mataku. Beliau menceritakan apa saja yang ada di sekitarku saat ini. Aku jadi bisa membayangkannya dalam kepalaku. Lalu tetiba mama minta izin untuk ke toilet sebentar dan kudengar beliau menitipkanku pada seseorang yang juga sedang mengajak pasiennya jalan-jalan dengan kursi roda.
“Halo, Kak!”