Kini Keke terus mengamati calon peserta yang hilir mudik tidak tentu. Kini semua orang menatapnya dengan penuh ke anehan di mata mereka semua namun tetap tersenyum mencoba Keke. Panitia sayembara bisa saja memberikan hukuman bila kita ketahuan tidak menaati peraturan.
Dia mengamati semua orang dan menilai juga membandingkan pakaian yang mereka kenakan dengan apa yang tengah mereka kenakan. Kini, baik penampilan rambut dan pakaiannya, Keke terlihat sangat mencolo. Persis seperti orang yang sedang saltum (salah kostum) di sebuah acara ulangtahun, oh mungkin lebih cocok Bar karena mereka semua menggunakan pakaian yang sangat minim dan pendek.
Aku sepertinya salah kostum. –batin Keke sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Keke memang punya pakaian minim namun itu semua tidak ada yang di bawanya. Karena dia merasaka akan kedinginan bila dia menggunakan pakaian seperti itu. Terlebih, dia tidak juga diperbolehkan membawa selimut.
“Hei! Mengapa kau masih di sana?” teriak salah satu panitia dengan suara menggelegar menakutkan.
“Maaf, Pak. Tapi saya tidka tahu di mana toiletnya.” kata Keke.
“Apa kau tidak punya mata?” tanya panitia itu marah.
“Punya, Pak. Ini, saya matanya masih ada dua, normal juga, tidak menderita plus atau minus.” jawab Keke.
“Kau bisa baca?” tanya panitia itu lagi tambah kesal.
“Tentu saja bisa. Aku bahkan selalu menghabiskan hari-hariku dengan membaca buk..” belum sempat Keke mengatakan banyak hal, panitia itu memotong.
“Harusnya kau bisa membacanya kalau begitu.” kata panitia, sambil menunjuk arah jarum 3 dengan dagunya.
Keke buru-buru menoleh ke arah tatapan panitia itu. Lalu Keke melihat tulisan toilet di sana. Senyuman Keke semakin lebar. “Maaf, Pak. Terima kasih.” kata Keke. Keke merutuki dirinya karena tidak melihat tulisan toilet di sana.
Panitia itu tidak menyahut, ekspresinya seperti sedia kala, datar dan tetap menyeramkan, dia tidak merespons Keke. Dia bertingkah seperti tidak ada yang mengajaknya berbicara.
Semua kontestan terlihat buru-buru. Keke benar-benar tidak mengerti mengapa mereka terlihat berlarian ke sana ke mari.
“Waktu kalian tinggal 5 menit. Jika dalam waktu 5 menit kalian belum masuk barisan dan belum dalam keadaan bersih, kalian akan menerima hukuman tidur bersama ular.” suara pemberitahuan itu menggelegar.
Sontak semua kontestan menambah kecepatan mereka dalam beraktivitas. Keke buru-buru berlari mengangkat koper itu ke kamar mandi. Semangatnya kembali bangkit. Dia tidak akan kalah. Tidak akan kalah. Itulah yang terus dia tanamkan dalam pikirannya.
Kalau aku amati mereka lucu juga. Seperti zombil yang haus akan senyum. – batin Keke. Dia melebarkan senyumannya.
Keke memikirkan apa yang terjadi.
Aku harus lekas mandi! –batin Keke.
Keke pun masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi dengan penuh rasa buru-buru. Keke benar-benar tidak boleh telat. Lalu di kamar mandi itu, dia pun bingung dengan waktu yang kini dia yakin tinggal sebentar lagi. Dia tidak diperkenankan untuk membawa ponsel atau alat elektronik lainnya seperti jam, jadi dia tidak bisa mengukur waktu. Segalanya hanya panitia yang tahu.
Keke membuka pakaiannya. Tidak ada waktu untuk mandi. Dia pun tidak menemukan sabun barang sedikit di kamar mandi.
Payah, rumah sebesar ini benar-benar tidak memiliki sabun? Ck, pelit seklai.-batin Keke.
Keke buru-buru membuang baju dan celananya ke tong sampah yang ada di dekatnya. Bau itupun berkurang darinya. Kini, wajahnya ia basuh dengan air hingga wajahnya bisa kembali bersih. Kini rambutnya basah.
Tanpa mandi, dia langsung mengambil pakaian paling atas di dalam kopernya lalu memakainya. Setelah mengambil kaos lengan pendek dan celana panjangnya, diapun keluar. Tak lupa, koperpun masih setia dibawanya.
Baru keluar kamar mandi, Keke mencium tubuhnya sendiri.
Oekk! Dia pun langsung muntah di westafel. Ternyata bau kotoran kucing itu belum hilang dari tubuhnya meski dia sudah berganti pakaian. Keke pun mengedarkan pandangannya ke kanan dan ke kiri. Kini, matanya tertuju pada parfum ruangan yang menemplok di dinding.
Biarin deh, bajuku bau parfum WC, dari pada bau kotoran kucing. –batin Keke.
Keke lekas mengambil bungkus pafum tersebut lalu membukanya lebar-lebar dan menempelkannya pada bajunya secara brutal agar cepat.
Selesai! –serunya.
Keke Langsung keluar, berlari menuju barisan. Lagi-lagi Keke berada di barisan paling depan.
“Kau! Keluar barisan!” seru seorang panitia.
Keke tidak memperdulikan suara panitia itu. Keke masih tersenyum, kini wajahnya takut, karena dia merasa dialah yang diteriaki seorang panitia itu. Namun, dia pura-pura tidak mendengarnya.
Keke terus berkomat-kamit dalam hati agar dia bisa lolos dari cengkeraman panitia yang amaat kejam ini. namun, kali ini sepertinya doanya belum bisa dikabulkan.
Sesuatu yang panjang dan keras tiba-tiba menusuk punggung Keke. Keke menelan ludahnya sendiri. Dia mulai ketakutan.
“Berbalik!” seru panitia itu.
Mau tak Mau kekepun membalikkan tubuhnya. Dia pun mulai melihat benda keras itu yang ternyata senapan seperti yang dia lihat sebelum-sebelumnya.
“Aku?” tanya Keke masih pura-pura bodoh.
“Tentu saja kau! Keluar barisan! Dan berdiri di depan bersama kontestan yang juga terlambat.” seru panitia itu.
“Baik.” kata Keke masih sambil tersenyum dipaksakan. Karena dia ataupun kontestan lain memang diharuskan tersenyum bagaimana dan apapun yang terjadi.
Dari sebuah mobil yang terparkir di belakang barisan itu, seseorang tengah memperhatikan acara yang mau di mulai itu sambil memakai kacamata hitam. Dia sebetulnya tidak begitu peduli atau berminat pada sayembara yang di buat untuknya ini. Namun, dia merasa harus mengecek sebentar di awal.
Saat hendak memindahkan pandangannya ke ponselnya. Tiba-tiba matanya menemukan sosok perempuan yang sangat familiar di matanya. Dia membuka kaca matanya, mencoba mengamati gadis itu.
Panitia memang sengaja memecah kontestan menjadi dua bagian lalu di tengahnya dibiarkan kosong, jadi kini kontestan yang terlambat berada di depan dan di tengah lurusan dari mobil yang kini ditumpanginya.
Ujung bibirnya tertarik. Dia memutuskan untuk keluar dari mobilnya untuk mencari penjelasan kepada panitia yang berjaga di samping mobilnya.
Seorang panitia yang menyadari bosnya akan keluar cepat-cepat membuka pintu. Lalu, berjalan lagi ke tempatnya semula, tidak berani dekat-dekat dengan Tuannya itu.
“Mendekatlah, Danar!” serunya memanggil salah satu panitia yang juga merupakan salah satu bodyguard kepercayaannya.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan Hardi?” tanya Danar.
“Kau kenal gadis itu?” tanya Pria berkaca Mata sambil menunjuk ke dapan.
Pria berkaca mata hitam itu adalah Hardi Tri Wijaya, sang CEO Penerbit Nara yang tengah mengadakan acara sayembara ini. wajahnya yang rupawan, terlihat tidak berminat terhadap semua perempuan para kontestan sayembara pencarian istrinya, sampai akhirnya sosok gadis itu muncil dan menyita perhatiannya.
Danar mengamati arah yang di tunjuk oleh Hardi. Hardi tidak kaget bila bosnya mengenal gadis itu dengan baik, karena memang diapun tahu gadis yang kini tengah berada di ambang hukuman itu adalah gadis yang sama ketika salah culik.
“Iya, Tuan. Dia adalah gadis itu. Gadis yang..” kata Danar hendak menceritakan siapa Keke secara detil namun kalimatnya dipotong secara tiba-tiba.
“Cukup. Siapa namanya?” tanya Hardi penasaran.
“Keke, Tuan. Keke Larasati.” jawab Danar.
“Tunggu, nama itu sepertinya tidak asing di kepala saya.” kata Hardi. Dia mulai mecoba mengingat-ingat.
“Penulis terkenal dari Penerbit Nara, Tuan.” kata Danar.