WCC 19 - Bencana yang Terus Datang

1368 Words
Keke menangis. Tubuhnya lemas. Tubuh kekar itu terus memagangi dirinya dengan kuat hingga dia tidak bisa berkutik. Hardi yang merasakan pipinya basah karena air mata Keke langsung menjauhkan tubuhnya.   “Ini pelajaran untuk mulutmu yang sudah dua kali meludahiku.” kecam Hardi.   Hardi meninggalkan Keke. Meski sedikit terbesit rasa bersalah dalam dadanya, Hardi teteap tidak memusingkan apa yang tengah di perbuatnya.   Ini adalah kali pertamanya mencium seseorang. Ini ciuman pertamanya. Meski banyak wanita-wanita yang memujanya namun Hardi akui, ini adalah pengalam pertamanya. Ddalam hati diapun bertanya mengapa dia bisa mengambil sikap seperti itu.   Keke menunduk. Ini adalah ciuman pertamanya yang akan dia berikan kepada suaminya kelak, Danu. Nama Danu selalu menjadi paling pertama tiap kali Keke teringat tentang calon suami. Dia benar-benar menyesali apa yang dia lakukan.   “Hei! Kau! Dilarang menangis! Kau harus melanjutkan masuk ke dalam!” seru panitia.   Kekepun tersadar. Dia benar-benar merasa sial. Diapun kembali melanjutkan perjalanan. Jika bukan karena cara ini satu-satunya untuk emndapatkan Danu, mungkin Keke tidak akan sudi melakukannya.   “Tunggu! Bajumu mengapa kurang satu?” tanya panitia itu lagi.   “Aku pakai karena saya di suruh panitia yang lain untuk mandi.” kata Keke.   Senyuman Keke masih terbit. Dia tidak bisa mundur karena merasa sudah sejauh ini dia melangkah. Dia tidak mau membuat kecewa kedua orangtuanya. Dia benar-benar tidak mau jika pernikahannya batal. Dia juga tidak mau kehilangan Danu.   Danu memang lelaki yang istimewa jadi Keke merasa rintangan ini sepadan dengan apa yang nantinya dia akan dapatkan.   Keke masuk ke kandang ular. Kandang ular yang berkonotasi dan berdenotasi. Dia masuk ke sayembara ini adalah konotasi, dan dia harus masuk ke kandang ular yang sesungguhnya merupakan denotasi.   “Ayo, masuk!” kata panitia yang sudah membukakan pintu.   “Tidak adakah cara lain agar aku tidak masuk ke sana?” tanya Keke.   “Tidak ada, kau hanya harus ke sana. Ini adalah hukuman untukmu.” kata panitia.   “Mengapa di kandangku ularnya dua?” tanya Keke.   “Karena kau spesial. Jadi kami berikan dua ular.” kata panitia.   Keke mengerti, spesial yang di maksud adalah karena telah meludahi panitia yang lain tadi. Iblis tadi benar-benar membuat Keke geram. Namun kali ini dia harus bagaimana. Keke memang takut ular. Namun, Keke lebih takut bila gagal menikah. Rasanya, mending dia meninggal di patuk ular dari pada meninggal karena dipatuk rasa malu.   Keke pun pasrah. Dia masuk dalam hati-hati. Dia tahu, cara terbaik menghindari ular adalah dengan tidak membuat gaduh dan dia harus diam, agar Ular tidak merasa terusik.   Lalu, setelah memastikan Keke masuk ke dalam kandang Ular tersebut, pintu langsung ditutup. Keke menelan ludah dia benar-benar takut sekarang.   Keke mengedarkan pandangannya ke peserta lain yang kini menangis-nangis di kandangnya hingga menarik perhatian ular itu. Rasanya Keke ingin memberikan sosialisasi kepada mereka tentang cara menaklukkan ular. Namun, dirinya juga tidak bisa menjamin kalau dirinya akan selamat.   Keke pun tertidur. Melupakan dua ular di sampingnya. ***   Keke terbangun saat sesuatu mulai menggeliat di kakinya. Keke membuka mata. Dia hampir berteriak mendapati ular yang kini tengah berada di atas kakinya. Keke menahan nafas dan diam sebentar. Lalu, dia menghembuskan nafasnya pelan-pelan. Keke hendak menangis namun dia menahannya.   Keke memang tahu cara menghindari ular itu bisa dengan diam namun dia tidak tahu bagaimana cara menghindari rumah.   Hardi mengamati Keke sambil tersenyum jahat. Dia mendekati kandang Keke. Maksudnya, kandang ular yang di dalamnya juga ada Keke.   Keke yang melihat Hardi mendekat meminta tolong dengan mulutnya, namun kejadian kemarin mengubah pikirannya. Dia membuang jauh-jauh perasaan itu. Dia tidak mau meminta meminta bantuan pada orang yang sudah membuat hidupnya buruk. Dia benar-benar tidak sudi meminta bantuan kepada Iblis itu.   Lihat saja, sampai aku matipun, aku tidak akan meminta bantuanmu! –batin Keke.   Rasanya keke lebih memilih meninggal karena terpatuk ular, ketimbang meninggal karena dipatuk rasa malu. Bagaimana tidak, Keke sudah mengatakan pada orang tuanya bahwa ia akan menikah dengan CEO dan dia juga sudah mengatakan pada semua orang kalau dia akan menikah. Mau di letakkan di mana urat malunya bila itu sampai terjadi?   Hardi sengaja melenggang melewati kandang Keke. Keke yang tadinya berpaling langsung melongo di buatnya. Ternyata dirinya terlalu percaya diri kalau Hardi akan membantunya.   “Kau, kemari!” seru Hardi.   “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya panitia itu.   Keke hanya mengamati kedua orang yang sedang mengobrol itu. Dia tidak bisa mendengar percakapan karena memang ruangan itu kedap suara.   “Kau keluarkan semua tahanan lalu kau kembalikan ke rumah mereka masing-masing. Anggap saja gugur seperti biasanya. Namun, jangan buka pintu untuknya.” kata Hardi langsung menoleh kepada Keke.   Mata Keke dan HArdi bertemu. Keke langsung membuang muka ke arah lain.   “Baik, Tuan.” kata panitia.   Dia memang bertugas membawa kunci jadi untuk urusan melepaskan memang cukup mengatakan padanya saja.   Panitia itu pun menyuruh anak buahnya berkumpul dan mulai menyuruh mereka mengeluarkan tahanan dan mengantarkan mereka ke rumah mereka masing-masing.   Melihat tahanan dibebaskan, mau tak mau Keke sangatlah senang. Kini bayangan kalau dia akan bebas dari akndang terkutuk ini terngiang-ngiang di kepalanya. Dia menatap keadaan sekitar dengan antusias, namun lagi-lagi ular yang ada di kakinya kini menggeliat.   Keke mengerang frustasi di dalam hati.   Keke mengamati semua peserta yang dikeluarkan dari kandang, banyak yang pingsan, menangis dengan mata sembab, syok, bahkan penuh dengan bekas patukan ular di tubuh mereka yang berpakaian seksi. Untung Keke memakai celana panjang jadi dia tidak begitu takut bila di patuk. Ya, meski takut juga.   “Lho, kok aku nggak?” tanya Keke yang bingung melihat panitia melewatinya begitu saja.   Kata-katanya membuat Ular itu bergerak.   Hardi berjongkok di depan pintu kandang Keke, lalu membuka lubang berbentuk segi empat agar dia bisa melihat wajah keke secara langsung, dia melakukan ini hanya sekadar untuk melihat Keke memohon kepadanya.   “Kau tidak akan meminta tolong kepadaku?” tanya Hardi.   “Tentu saja tidak. Sampai matipun aku tidak akan meminta bantuan kepadamu!” seru Keke.   Keke yang kesal tak sengaja menghentakkan kakinya hingga ular yang tengah tidur di kakinya langsung mental ke pojok. Menubruk temannya.   Keke yang terkejut langsung melongo. Kini ular itu pun mendekati Keke dengan garang. Kali ini dia benar-benar ketakutan karena tengah membuat ular-ular itu marah.   “Tolong aku!” seru Keke memohon kepada Hardi.   “Bukannya kau tidak mau aku membantumu?” tanya Hardi.   “Tidak, aku menarik kata-kataku. Aku tidak mau dipatuk ular! Kumohon!” seru Keke. Keke merapatkan tubuhnya ke pintu. Kini jarak Keke dan Hardi sangat dekat hanya tersekat pintu kandang saja.   “Tolong aku!” seru Keke. Lagi.   “Berjanjilah kau akan berlutut dan emminta maaf pada saya.” kata Hardi.   “Baiklah-baiklah, bahkan mencium sepatumupun aku rela asal kau bisa mengeluarkan aku dari sini. Tolonglah mereka mendekat.” kata Keke semakin panik.   Hardi langsung membuka pintu Keke. Tepat ketika Keke hendak keluar sebuah keluar sudah bersiap untuk mematuk kaki Keke. Hardi yang melihatnya dengan refleks langsung melindungi kaki Keke hingga yang terpatuk oleh ular itu adalah tangannya bukan kaki Keke.   “A..” ringis Hardi.   Keke langsung menubrok tubuh Hardi agar dia dan harsi bisa keluar kandang dengan cepat. Lalu dengan Kakinya, Keke menutup pintu dan lubang berbentuk persegi empat itu dengan menggunakan kakinya yang masih menggunakan sepatu kets.   “Tanganmu!” seru Keke, kini pandangannya tertuju pada tangan kanan Hardi yang terpatuk ular, di sana sudah ada dua titik.   “Tolong! Dia digigit ular.” seru Keke.   “Hei, menyingkirlah dari tubuh saya!” seru Hardi.   Kekepun baru menyadari kalau kini dia tengah menimpa  badan Hardi. Dia buru-buru bangun dan membantu Hardi duduk.   “Jangan sentuh saya!” seru Hardi. Menampik tangan Keke.   “Kita bahkan sudah berciuman!” seru Keke tidak tahu malu.   Keke melihat tangan Hardi. Dia pun mengambil tangan hardi lalu menggigit bekas itu lalu membuang darah yang terkena bisa ular itu.   “Bodoh! Kau bisa mati!” seru Hardi.   Keke hanya bisa menoyor kepala Hardi dan melanjutkan aktivitasnya.   “Setidaknya matilah bersama agar aku tidak merasa harus balas budi.” kata Keke.   Belum sempat Hardi menjawab, panitia langsung berlari membawa Hardi. Keke pun ikut berlari mengejar Hardi.   “Kau, tidak boleh ikut. Kau di sana saja!” seru Danar. “Ikutilah kegiatan.” Lanjutnya.   “Tapi, dia..” kata Keke.   Rasa darah masih terasa di mulutnya meski dia sudah meludahkan semua darah di mulutnya untuk mengeluarkan darah dari tangan Hardi.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD