Randu dan Daniel adalah dua sahabat yang tidak terpisahkan. Kemana-mana selalu bersama. Walau sebenarnya Randu adalah bawahan Daniel karena Randu bekerja di perusahaan yang dimiliki oleh Daniel. Bahkan pernah terhembus kabar miring bahwa mereka pasangan gay karena terlalu akrab dan belum ada yang menikah. Membuat Daniel dan Randu sama-sama bergidik ngeri dan segera berucap amit-amit.
"Tuh gosip pasti karena lu gak jadi nikah deh Dan." Randu memarahi Daniel, karena bosnya itu malah santai saja digosipkan hal yang tidak menyenangkan seperti itu.
"Serah yang ngomong aja sih Ndu. Mereka gak akan puas untuk julid ke kehidupan kita. Biarin aja deh mereka mau ngomong apa, yang penting kita berdua yang tahu bahwa kita tuh lelaki normal." Jawab Daniel tapi matanya lekat melihat ke layar Mac, meneliti dokumen yang dikirim Randu kepadanya.
"By the way omongan lu tadi gak salah, Ndu? Selama ini kan gue sering jalan ama cewek dan yaa sesekali kencan kalau ada yang gue suka, tapi dengan syarat, gak ada perasaan terlibat. Lah elu? Lu kan suka ama Debby doang." Daniel tersadar akan sesuatu, perkataan Randu itu salah.
"Itu namanya setia, Dan! Gue cinta banget ama Debby, yah walaupun sampai sekarang belum diterima juga gue cuma perlu terus berusaha, pantang menyerah deh sampai Debby terima gue, dan berharap dia yang akan jadi istri gue. Lagian lu kenapa bisa gak jadi nikah sih ama Emira. Apa coba yang kurang dari Emira? Cantik? Banget. Pinter? Banget. Bodi? Bweuuh… gitar Spanyol tuh. Status? Level kalian sama. Sama-sama borju. Gak ada yang kurang dari Emira." Randu coba mengorek informasi alasan gagalnya pernikahan si bos sekaligus sahabatnya ini.
Daniel menghembuskan nafas, dia belum cerita alasan sesungguhnya kenapa dia bisa putus dari Emira, "Ada Ndu. Yang kurang itu, cinta. Dia kurang cinta ama gue." Tapi Daniel menjawab hal itu sambil tersenyum misterius.
"Berarti duit, tampang dan posisi gak menjamin seseorang akan laku keras ya, Dan." Kata Randu dengan santai.
"Ha? Maksud lu apa? Gak ngeh gue." Daniel melihat ke arah Randu.
"Si Pak Herman, satpam di rumah bokap lu kan bininya dua. Kalah kita. Padahal secara fisik dan materi, kita berdua jauuuh lebih dibanding Pak Herman. Boro-boro istri dua, satu aja belum. Gue masih ngejer Debby, elu malah batal nikah."
"Haha... syialaaan lu Ndu. Tapi bener juga ding." Daniel membenarkan apa kata sahabatnya itu.
"Dan, gimana dengan rencana kita di bulan puasa tahun ini? Jadi kita lakuin gak? Sama kaya tahun lalu?"
"Jadi Ndu. Kapan lagi saatnya kita dapetin pahala gede dengan cara gampang kalau gak di bulan puasa. Ah ya mama bilang kalau bisa sesekali divideo deh, posting di medsos kita biar yang lain juga ikutan kegiatan kita ini, terserah mereka mau anggap kita riya mah biarin aja. Yang tahu niatan pastinya hanya kita dan Allah kan? Minggu depan kan udah mulai tuh bulan puasa, nanti di malam ketiga ya kita baru mulai keliling. Lu pilih aja tempatnya, gue ngikut."
"Beres. Gue udah bikin perkiraan lokasi buat kita datengin. Seminggu tiga kali doang kan?"
"Tiga empat kali boleh, terserah lu. Semakin banyak yang dibantu, semakin berkah. Gue nurut." Pungkas Daniel.
***
Malam Ramadhan ketiga, jam 23.30
Seorang gadis tampak duduk di trotoar. Di sebelahnya ada ransel dengan ukuran besar. Ransel lusuh, seperti habis bepergian. Penampilan gadis itu pun tak kalah lusuh. Layaknya gembel karena kotor, kucel dan kumal.
"Edel, bener nih diturunin di sini? Udah malam loh. Khawatir gue." Tanya seorang lelaki di mobil sebelum p****t si gadis menyentuh trotoar.
"Iya gak papa, bener deh. Gue udah minta Yasa untuk ngejemput di sini. Mumpung Yasa lagi di rumah kakak gue, jadi ya ini rute tengah-tengah yang paling gampang. Udah kalau lu mau pulang, cepet pulang. Udah malam banget, ntar keburu bini lu ngambek lagi." Ternyata gadis itu adalah Edel, Edelweiss Hartono, adik ipar Ilyas. (Baca cerita lengkapnya di Ilyas : Man of Honor)
"Ya udah gue balik duluan ya. Kabari kalau lu udah sampai rumah. Dah, assalamualaikum."
"Waalaikumusalam." Edel melambaikan tangan pada sang teman dan mencari posisi duduk ternyaman di pinggir trotoar itu. Perutnya keroncongan, minta diisi sesuatu untuk sekedar pengganjal perut.
Usai ditinggal teman-temannya yang baru saja muncak bersama ke Gunung Gede, Edel sibuk membuka ransel, mencari sesuatu. Dia ingin mengganjal dengan sepotong roti atau nasi goreng. Sayangnya tidak ada penjual nasi goreng yang lewat di situ. Tumben sekali, padahal biasanya jalanan ini tidak pernah sepi. Edel menoleh kanan kiri mencari penjual apapun yang bisa dia panggil. Tidak ada bekal tersisa di ranselnya.
Edel tidak tahu, tidak jauh dari tempatnya duduk ada dua orang pemuda memakai sports car warna hitam sedang berbagi paket sembako untuk para pemulung atau kaum dhuafa yang tetap bekerja di malam jelang pergantian hari itu. Beberapa jam lagi jelang waktu sahur.
"Ndu, kita butuh satu orang lagi nih. Yang di sini udah kita kasih semua. Ini masih sisa dua dus, bentar lagi jam dua belas malam, dah ganti hari. Kita kasih ke siapa lagi ini paketan?" Daniel bertanya dengan wajah lelah ke Randu, yang menyetir sports car hitam miliknya.
"Gue ngantuk banget nih, Ndu. Capek! Mana bentar lagi kan harus sahur. Buruan deh kita cari siapa, mau pemulung kek, pengemis kek, atau pedagangatau siapapun yang butuh deh, kalau ketemu langsung aja kita kasih dua dus ini. Habis itu kita langsung pulang."
"Iya. Berasa kita Cinderella yang dibatasi hanya sampai jam dua belas malam deh. Tapi Cinderellanya ada dua hehe. Eeh aku coba putar balik deh ke tempat kita awal bagi-bagi paket ini. Siapa tahu ada pemulung atau pengemis yang baru muncul, jadi kita bisa langsung bagiin aja." Randu memutar balik dan menyetir dengan kecepatan pelan. Matanya sambil melihat kanan kiri sembari fokus menyetir sports car itu. Sementara Daniel sudah memejamkan mata.
Tiba-tiba Randu melihat ada seorang gadis dengan kondisi yang menyedihkan, duduk di trotoar. Tadi tidak ada gadis itu, dia yakin.
"Dan, tuh ada cewek bisa jadi kandidat buat kita bagi paket sembako terakhir." Randu membangunkan Daniel agar mau membuka matanya.
"Mana?" Daniel celingukan mencari sosok yang dikatakan Randu.
"Tuh, yang bajunya kucel kumel gitu, duduk di trotoar. Lu liat deh, dia lagi ngubrek-ngubrek tasnya kayanya cari makanan, eeh tuh minum udah habis juga masih aja dituang. Kayaknya dia layak kita kasih bantuan Dan."
"Okeh deh, siip lu yang videoin ya, gue yang kasih paketan ke tuh cewek. Alhamdulilah akhirnya bisa pulang habis ini.” Daniel bergegas mengambil dua dus merk mie instan terkenal. Jangan salah, isinya tidak hanya bungkusan mie instan tapi ada juga uang cash di situ senilai tiga juta tiap dus, dengan harapan bisa digunakan sebagai modal usaha bagi si penerima agar bisa berdagang atau menambah modal bagi usaha yang sudah dilakukan.
Daniel semakin mendekati sosok wanita yang tampangnya sungguh menyedihkan, sepertinya benar-benar kelaparan.
"Mbak, maaf, ini ada paket sembako untuk Mbak. Semoga berguna ya, apalagi di bulan puasa ini, bisa buat modal usaha mbak biar gak jadi pemulung lagi ya.” Kata Daniel, berjongkok agar bisa mensejajarkan tingginya dengan si wanita yang tampak terkejut karena mendadak diberi dua dus mie instan.
Daniel memberikan dua box itu ke pangkuan si gadis yang melihatnya dengan tatapan bingung. Sesaat dia terpana melihat mata bulat indah si gadis. Cantik!
Kenapa perasaan gue gak enak ya? Sepertinya gadis ini bukan tipe pemulung. Tapi melihat kondisi pakaian dan mukanya yang kelaparan sih iya deh.”
"Silakan dibuka isinya. Ada kejutan di dalamnya. Semoga berkenan. Permisi ya mbak. Assalamualaikum."
Kemudian Daniel kembali ke mobilnya dan melesat pergi. Menyisakan kebingungan Edel yang menerima paket sembako dan saat membukanya, ternyata dus mie instant itu juga berisi banyak uang.
***
Waah Daniel salah kasih nih, seorang Edelweiss Hartono - unicorn muda - dikasih paketan sembako hehe. Apa yang terjadi selanjutnya ya?? Nantikan ya cerita lengkapnya hanya di Crazy Rich Daniel Tedja. Ingat untuk tap love ya, jadi kalian tahu kalau ada update-an