POV Wildan
"Wildan, kamu lupa? apa yang bisa aku lakukan jika kamu tidak menceraikan wanita hina itu!" Alia berteriak lantang di hadapanku dan Dewi.
Tatapan mata Dewi benar-benar bergetar. Dewi pasti terkejut saat melihat wanita yang tiba-tiba muncul dan membentak Dewi dengan kasar. Seorang wanita yang memintaku menceraikan dirinya.
Aku tahu Dewi menyadari aku memiliki wanita lain. Tapi, aku sama sekali tidak menyangka jika Alia akan mengancamku seperti ini di depan Dewi. Dia berani menantangku untuk menceraikan Dewi. Padahal aku sudah tak ingin lagi menyakiti Dewi.
Selama ini aku tahu seberapa besar rasa sakit yang sudah Dewi pendam dan semua adalah kesalahanku. Aku yang membuat Dewi menderita seperti ini. Aku lah yang menyeret Dewi hingga ia tenggelam dalam danau duka yang aku buat.
"Wildan jawab aku. Kamu ceraikan dia dan menikahlah denganku!" sentak Alia lagi.
Kali ini Dewi benar-benar terlihat terpukul. Aku harus segera membawa Alia menjauh darinya. Aku tak ingin Alia semakin bertingkah dan malah membuat Dewi semakin menderita.
"Ikut aku!" aku pun menyeret Alia dan meninggalkan Dewi begitu saja di sana.
Aku tahu jika saat ini Dewi mungkin tengah menangis karena aku memilih menggandeng tangan wanita lain dan bukan dirinya. Aku tahu jika aku sekali lagi menyakitiku dirinya, tapi ini lah yang terbaik menurutku. Aku tak mungkin membiarkan Alia begitu saja.
Untuk kali ini, aku terus terngiang akan tangisan Dewi yang mungkin tak bisa aku hapus lagi. Sebuah tangisan Dewi yang selalu ia sembunyikan dariku. Tangisan yang selama ini ia tutup rapat dan hanya membiarkan senyumannya saja yang terus tertuju padaku.
"Kamu gila, Alia?" sentakku pada Alia yang kini mulai bergelayut manja padaku.
"Lepas!" aku menepis rangkulannya di lenganku. Menghindari dari sikap manjanya yang semakin menjadi-jadi.
"Berapa kali aku harus ngingetin kamu, Alia? jangan pernah ganggu istriku!"
Kemarahan terlihat jelas dari wajah Alia tapi aku sama sekali tidak peduli akan hal tersebut dan benar saja, ia kembali mengamuk dan mencecarku.
"Apa, kamu bilang? istriku? yang benar aja?"
"Wildan, sejak awal kamu itu tunanganku. Kamu itu milikku. Dia yang merebutmu dariku. Wanita hina itu yang merebut tunanganku!"
"Kita sudah mengumumkan pertunangan kita ke media, tapi kamu malah menikah dengannya!"
Alia terus berteriak kesal. Ia terus-menerus mencerca ku. Ia menyalahkan Dewi yang menikah denganku saat aku masih menjadi tunangannya.
Tangisan Alia semakin menjadi-jadi. Ia menatapku tajam, tatapan yang juga menganggapku hina.
"Kamu yang selingkuh dengan Dewi dan kamu malah membuatku seolah menjadi wanita yang jahat?"
Memang benar yang Alia katakan. Tapi, itu juga bukan alasan untuk Alia bisa bersikap kasar pada Dewi apa lagi sampai menghinanya sebagai wanita yang menggoda tunangan seseorang, sebagai wanita perebut tunangan orang.
Aku benar-benar kesal dengan tingkah Alia. Terlebih saat aku mengingat air mata yang menitik di wajah Dewi.
"Benar, aku yang selingkuh. Jadi, tidak sepantasnya kamu menghina istriku!" ucapku dengan tegas pada Alia.
Kali ini Alia terlihat murka. "Kamu lagi-lagi memanggilnya istriku, istriku, istriku. Kamu lupa aku tunangan sah kamu, Wil?"
Tentu aku tahu kemarahannya tapi bukan artinya aku akan mengalah begitu saja padanya.
"Aku tau kamu tunangan sah-ku tapi kamu juga harus ingat, Dewi itu adalah istri yang telah aku nikahi."
"Aaarrrrht!!!!"
Alia mulai menjerit histeris dan aku bisa menebak apa yang akan dia lakukan selanjutnya.
"Kamu lupa apa yang bisa aku lakukan pada keluargamu jika kamu tidak menikah denganku?"
Ancaman yang kesekian kalinya aku dengar dari Alia. Aku memang tak bisa melakukan apapun akan hal tersebut. Hal itu pula yang kini mengikat leherku di tangannya. Jeratan yang menyiksaku dan dengan keegoisanku membuat Dewi ikut terseret dalam jeratan menyedihkan itu.
"Alia aku bosan dengan ancaman kamu itu. Bukannya kamu tahu alasan aku tidak mendaftarkan pernikahanku dengan Dewi. Apa itu belum cukup?"
Aku merendahkan suaraku saat bertanya dengannya berharap emosi Alia bisa cepat mereda dan aku bisa melesat dalam pelukan Dewi. Istriku yang aku tinggalkan begitu saja, dengan air mata dan hatinya yang terluka.
"Tapi itu belum cukup, Wildan. Kamu mau menjadikan aku istri kedua?"
"Aku tidak sudi berbagi suami dengan wanita selingkuhanmu itu!"
Alia terlihat tidak mau mengalah. Ia masih ingin meluapkan emosinya. Sekali lagi aku mendengar dia menghina istriku. Hatiku sudah terbakar amarah. Tapi, aku masih menelannya agar tidak banyak waktu yang terbuang jika harus meladeni amukan Alia lagi.
Aku tahu benar bagaimana Alia yang sulit dikendalikan jika ia sudah mulai larut dalam tangisan dan tingkah menyebalkannya itu. Meski aku ingin menghentikan ucapan kasar tersebut aku menahannya sekeras mungkin. Aku tak ingin berdebat dengannya dan hanya diam. Sampai amarahnya mereda dengan sendirinya.
"Wildan, cepat jawab aku. Mau di taruh di mana mukaku jika pernikahanmu dan Dewi terungkap?"
"Aku nggak mau mendapatkan tatapan hina dari banyak orang saat mengetahui tunanganku ternyata sudah memiliki istri!"
Meski aku menahan segala hinaannya sekeras mungkin, namun kali ini aku sudah mencapai batasku. Aku sudah tidak tahan ingin pergi darinya dan menghampiri Dewi, merangkul Dewi yang saat ini pasti sudah menangis. Aku sudah muak menghadapi wanita menyebalkan itu yang hanya bisa merengek dan mengancamku tanpa henti.
"Kalau gitu, batalkan saja pernikahan kita. Umumkan saja jika aku berselingkuh darimu!"
Aku yang sudah muak dengan ocehan Alia mulai mengambil suara. Aku mulai menantang dirinya dengan segala kekesalan yang sudah aku bendung sebelumnya.
"Menjadi playboy bukan hal yang memalukan bagi seorang pria!"
"Jika hanya sekali aku mendapat skandal, tentu bukan masalah besar untukku dan perusahaan ayahku."
"Batalkan saja pertunangan ini agar aku bisa menikahi Dewi secara resmi!" ancamku dan mulai memberikan tatapan tegas padanya memastikan dia mengerti dengan ucapanku dan berhenti menyalahkan Dewi.
Alia saat itu hanya diam. Ia tidak menanggapi apapun tentang ancamanku. Saat itu, aku kira dia sudah tenang dan tak akan menganggu Dewi lagi.
Akan tetapi, dugaanku salah. Untuk kesekian kalinya aku menyaksikan langsung Alia yang menganggu Dewi. Dengan kasarnya Alia sengaja menumpahkan air pada Dewi di sebuah restoran. Dewi lagi-lagi hanya diam. Sementara aku masih tidak bisa berbuat apapun untuk membantu Dewi.
Baru saja aku tiba ke restoran tersebut entah kebetulan apa lagi yang membuat Dewi ada di tempat tersebut. Tentu kebersamaanku dengan rekan bisnis membuatku tak bisa membantu Dewi. Aku lagi-lagi tidak berdaya dan satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah menghentikan Alia.
"Alia, hentikan!" aku memegang pinggang Alia untuk meredakan amarahnya. Alia sedikit tersenyum, menandakan amarahnya yang sedikit berkurang.
Aku tahu tindakan itu akan membuat hati Dewi kembali terluka saat ia menyaksikan suaminya merangkul wanita lain. Tapi, hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku harus bertindak cepat jika ingin membuat Dewi lepas dari Alia dan pandangan banyak orang.
"Dew, bersihkan dulu pakaianmu."
Aku pun melepas jas yang aku kenakan untuk menutupi tubuhnya yang basah. Sedikit senyuman dapat aku lihat dari wajah sendu Dewi.
Sementara Alia kembali terlihat masam dengan apa yang aku lakukan untuk Dewi. Tapi, dia tidak mampu memprotes aku. Alia masih sadar keberadaan kami di tempat umum, dia juga masih ingin menjaga citranya. Menjaga wibawanya sebagai putri tunggal keluarga Renjani.
Aku pikir itu akan berakhir begitu saja, namun Alia masih kesal karena perhatian yang aku berikan pada Dewi dan itulah yang membuat Alia kini terlihat bersama dengan Dewi. Alia dengan kasar meminta jas tersebut dari Dewi saat Dewi menunggu bus di halte.
"Berikan jasnya itu milik tunanganku!"
Padahal kali ini seharusnya Alia tidak lagi bertemu dengan Dewi. Alia sudah bersama supirnya di mobil dan Dewi sudah menunggu di halte. Tak ada yang bisa membuat mereka bertemu tapi Alia rela menghampiri Dewi hanya untuk mengganggunya.
Alia benar-benar sudah keterlaluan dan aku benar-benar membenci hal itu. Dia selalu mencari kesempatan untuk mencerca Dewi, menghinanya dan membuat Dewi sakit hati berulang kali.
Aku masih mempercepat langkahku berharap bisa segera mendekati mereka dan menghentikan Alia lagi. Seperti biasanya Dewi pasti selalu mengalah. Dia akan diam saja atas apapun yang Alia lakukan padanya. Aku tidak mengerti alasannya. Namun, kali ini tatapan Dewi terlihat menyalak. Dewi yang sedari tadi sudah menahan emosinya kali ini terlihat akan melawan.
Aku tidak dengar apa yang Dewi sampaikan pada Alia yang aku tahu. Aku harus segera menghampiri mereka dan menghentikan Alia secepat mungkin. Tapi ... ... ...
Semua itu terlambat, aku benar-benar terlambat selangkah. Alia mendorong tubuh Dewi dan ia terdorong nyaris ke tengah jalan.
"Memangnya kenapa? Dia itu juga suamiku!"
Teriakan Dewi bisa aku dengar dengan jelas. Aku pun semakin mempercepat langkahku, sambil berharap mereka tidak bertengkar di tengah jalan yang berbahaya seperti itu.
Meski jalanan ini tergolong sepi, tapi jalan di sini merupakan sebuah persimpangan yang artinya bisa saja ada yang tidak hati-hati dan langsung berbelok tanpa menurunkan kecepatan.
Kecemasanku semakin menjadi-jadi saat Alia mulai menjambak rambut Dewi dengan sangat kasar.
"Hei hentikan!" aku berteriak mencoba menghentikan Alia dan Dewi.
Akan tetapi, aku benar-benar terlambat. Di saat yang sama dengan aku yang nyaris berhasil menjangkau mereka. Sebuah sorot lampu mobil yang menyilaukan memenuhi pandanganku.
Sosok Dewi dan Alia seketika terlihat samar. Semua terlihat sama, hitam dengan latar cerah yang menjadikan keduanya hanya terlihat seperti bayangan,
"Tidaaaak!!!!"
Aku berteriak sambil meraih keduanya. Namun, aku hanya berhasil meraih salah satu di antara mereka. Aku sungguh berharap jika tangan yang berhasil aku raih adalah tangan Dewi. Tapi, pandanganku ikut kabur. Kepalaku terasa pusing dan kini suara riuh mulai memenuhi tempat itu.
Kecelakaan yang kami hadapi kini memancing banyak orang. Aku ingin sekali melihat sosok Dewi, memastikan keadaannya, tapi kepalaku benar-benar berat, pandanganku kabur dan telingaku berdengung.
Hingga seseorang tiba-tiba mengatakan jika salah satu dari pasien wanita mengalami shock dan tim medis menjadi kalang kabut menyematkan pasien tersebut.
Aku ikut panik. Beharap jika sosok tersebut bukanlah Dewi.
"Tidak, istriku!"
"Istriku!"
Aku berteriak histeris, namun tubuhku juga membutuhkan pertolongan. Tim medis membawaku langsung masuk ke ambulan dan membuatku terpisah dari Dewi maupun Alia.
Sesalku semakin menjadi-jadi. Pikiranku terus melayang. Aku ingin memastikan keselamatan Dewi. Aku berharap jika aku memegang tangan yang benar. Jika aku berhasil menyelamatkan Dewi.
"Tidak, Dewi!!"
Aku terus mencoba menerka dari mana semua ini mulai salah, dan aku kembali mengingat dengan jelas, jika sebelumnya kedekatan kami tidak seperti ini. Sebelumnya hubungan kami baik-baik saja, saat kami masih saling berbagi kisah dan tertawa riang. Sosok sahabat yang menemaniku sejak 13 tahun yang lalu.
"Ah, benar. Itu salah sejak hari itu!"
Pikiranku tertuju pada satu kenangan. Kenangan saat akulah yang ternyata membuat hubungan kami kusut dan berantakan.
"Hiks.. Semua salahku."
"Semuanya salahku!"
Aku semakin histeris dan tim medis yang membawaku mulai menyuntikkan sesuatu pada tubuhku. Membuat aku tak bisa apa-apa selain terkulai lemas hingga kami tiba di rumah sakit.
"Tuhan, aku mohon selamatkan istriku!"
"Selamatkan Dewi untukku!!"
Aku terus berdoa kali itu menolong orang yang benar. Meski aku berharap keduanya selamat. Tapi, keegoisanku membuatku hanya menginginkan keselamatan Dewi.
Aku tidak akan bisa hidup tanpa Dewi. Aku tak akan bisa bertahan jika tidak ada senyuman Dewi yang menyambutku dengan hangat.