Selamat membaca
Semua orang telah berkumpul di meja makan untuk menyantap makan malam mereka. Berbagai hidangan lezat sudah tersaji di atas meja. Malam itu Rike meminta pelayan untuk memasak lebih banyak makanan sebagai bentuk perayaan atas kesembuhan Lidra. Padahal sebelum Lidra kembali ke rumah itu, Rike juga sudah mengadakan syukuran di rumah serta membagi-bagikan makanan dan santunan untuk anak-anak yatim piatu. Namun seakan itu masih belum cukup untuk menyambut kedatangan menantu kesayangannya.
"Ini kenapa banyak makanan di atas meja?" tanya Respati heran.
"Mama memang sengaja minta pelayan masak banyak untuk Lidra," ungkap Rike tersenyum ke arah Lidra yang juga membalas senyuman ibu mertuanya itu.
"Tapi ini bukannya terlalu berlebihan, Ma? Lagipula Lidra juga nggak mungkin bisa makan sebanyak ini," ujar Respati memprotes apa yang dilakukan Rike.
"Siapa bilang aku nggak bisa makan banyak?" Lidra melirik ke arah Respati yang berada di sebelahnya. Ia memang sengaja berbicara dengan bahasa santai karena ada orang tua Respati yang sedang duduk bersamanya. Akan terasa aneh jika mereka mendengar sepasang suami istri berbicara dengan bahasa formal dan kaku.
"Kamu baru keluar dari rumah sakit, jadi nggak mungkin kamu bisa memakan semua ini," ujar Respati yang juga membalas dengan bahasa santai agar tidak membuat kedua orang tuanya curiga.
Lidra menggeleng sembari tersenyum tipis. "Kamu salah, Mas. Justru sekarang aku butuh makan banyak untuk mengisi penuh tenaga aku yang sempat terkuras habis di rumah sakit.
Kemudian tatapan Lidra beralih ke arah Rike. "Terima kasih untuk semuanya, Ma," ujarnya tersenyum tulus.
Rike membalas senyuman Lidra dengan senyuman Lebar. "Yang penting menantu Mama senang," tuturnya menatap Lidra hangat.
Bukan tanpa alasan Rike sangat menyukai Lidra. Selain cantik, menantunya itu juga teramat sangat pintar, berwibawa, memiliki wawasan yang luas, dan juga berdedikasi tinggi. Segala kriteria menantu idaman ada di dalam diri Lidra. Karena itu, Rike menjodohkan Respati dengan Lidra karena ingin putranya memiliki seorang istri yang bermartabat.
Meskipun awalnya Respati sempat menolak karena menurutnya pernikahan itu tidak akan berhasil karena kedua belah pihak tidak saling mencintai, namun Rike berkali-kali menyakinkan putranya jika Lidra adalah sosok istri yang cocok dan tepat untuk mendampinginya. Bahkan Rike juga terus mendesak serta memaksa Respati agar bersedia menerima perjodohan dan menikah dengan Lidra. Karena menurut Rike, hanya Lidra lah satu-satunya perempuan yang pantas menikah dengan putranya serta menjadi menantu di keluarga Lesmana.
Mereka semua berdoa terlebih dahulu sebelum akhirnya mulai menyantap makan malam mereka.
Rike mengambilkan makanan untuk Wibowo dan juga Lidra. Lidra pun segera memakan hidangan yang sudah diambilkan oleh Rike.
"Anggun! Apa yang kamu lakukan?" teriak Rike terkejut ketika melihat Anggun mengambilkan makanan untuk Respati seperti layaknya seorang istri tepat di depan Lidra.
Anggun terkesiap dan tersentak kaget.
Sedangkan Lidra yang awalnya hanya fokus dengan makanannya kini beralih menatap ke arah Anggun ketika mendengar suara Rike yang tampak tidak suka dengan apa yang telah Anggun lakukan.
"Ma-maaf, Ma. Anggun hanya mau membantu Mbak Lidra saja. Karena Mbak Lidra baru pulang dari rumah sakit dan nggak boleh melakukan terlalu banyak aktifitas," ungkapnya gugup dan menunduk lesu sembari meremas jari-jari tangannya.
"Nggak harus sampai segitunya juga, kan? Lagipula Respati juga bisa mengambil makanannya sendiri. Meskipun hubungan kalian berdua memang dekat sebagai kakak dan adik, tapi harus tau batas juga. Apalagi sekarang Respati juga sudah menikah, jadi jaga sikap kamu." Rike memperingatkan Anggun dengan tegas.
"I-iya, Ma. Maaf ...," sahut Anggun pelan tidak berani menatap ke arah Rike.
"Mama kenapa jadi sensitif begini sih, Ma? Lagipula Anggun cuma mau bantu ambil makanan, itu pun dipermasalahkan sama Mama." Respati membela Anggun.
"Karena itu bukan tugas dia," pungkas Rike lugas.
"Kalau memang bukan tugasnya Anggun, lalu tugasnya siapa? Tugasnya dia?" Respati menoleh ke arah Lidra yang tetap duduk dengan tenang. "Dia saja justru cuma diam tanpa melayani suaminya," desisnya sarkas.
Lidra menoleh ke arah Respati. "Ah, aku kira suamiku bukan laki-laki manja. Jadi aku pikir kamu mau ambil makanan sendiri," sahutnya ringan.
"Tapi kalau suamiku memang ingin diambilkan, baiklah. Akan aku ambilkan," ujar Lidra lembut, lalu mulai mengambil makanan dan meletakkannya di piring Respati.
"Makan yang banyak, Mas," tutur Lidra tersenyum manis menatap ke arah Respati sembari menyentuh tangan pria itu.
Respati terdiam sejenak karena merasa ada yang ganjal dari senyuman Lidra yang tidak seperti biasanya. Semenjak terbangun dari koma, sikap dan tingkah laku Lidra tampak aneh dan berbeda dari Lidra yang dulu.
Sedangkan Anggun yang melihat perlakuan manis Lidra terhadap Respati memilih untuk mengalihkan wajah ke arah lain dan berusaha menjaga ekspresi wajahnya agar terlihat natural meskipun saat ini hatinya berdenyut nyeri.
Setelah pertengkaran kecil itu, suasana pun menjadi hening dan mereka menyantap makan malam dalam keadaan diam.
Satu persatu dari mereka mulai meninggalkan meja makan. Di mulai dari Anggun yang meminta izin terlebih dahulu untuk kembali ke kamar, karena dia harus mengkoreksi hasil ulangan anak-anak SD kelas lima yang telah dikumpulkan. Kemudian disusul oleh Lidra yang langsung masuk ke dalam kamar.
"Perlakukan istrimu dengan baik." Rike memperingatkan dengan raut wajah serius ketika melihat Respati beranjak dari kursi dan bersiap pergi dari meja makan.
Respati menghela napas berat. "Aku mengerti, Ma," sahutnya jengah karena Rike terus mengatakan hal yang sama berulang-ulang kali.
Pria itu membuka pintu dan mendapati Lidra tengah bersandar di punggung ranjang sembari asik memainkan ponselnya.
"Mama bilang kamu harus istirahat di rumah dan jangan masuk kerja dulu untuk beberapa hari," ungkap Respati datar saat melangkah masuk.
"Hem." Lidra hanya membalasnya dengan deheman tanpa menoleh ke arah Respati.
Dia tampak tidak peduli dengan kedatangan pria itu.
Sedangkan Respati juga melewati Lidra begitu saja dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci kaki, tangan, serta menggosok gigi. Tidak lama kemudian, Respati keluar dan melangkah menuju meja untuk mengambil laptop sebelum naik ke atas tempat tidur.
"Besok aku akan tetap berangkat kerja," ujarnya singkat sembari fokus dengan layar laptopnya.
"Tidak ada yang melarang," sahut Lidra acuh dan kembali berbicara dengan bahasa formal.
Tangan Respati yang tengah mengetik tiba-tiba terhenti saat mendengar jawaban Lidra yang terlalu santai. Kemudian ia menoleh ke arah Lidra yang terlihat tidak menggubrisnya sama sekali sejak ia masuk ke dalam kamar.
"Ada apa?" tanya Lidra singkat tanpa menoleh ke arah Respati ketika menyadari pria itu sedang menatap ke arahnya.
Respati kembali mengalihkan pandangannya ke arah layar laptop. "Bukan apa-apa," ujarnya datar.
TBC.