Intan berjalan pelan menuju rumah yang ia tempati dengan suami dan mertuanya. Pikirannya masih kacau balau setelah kejadian di apartemen Mahendra tadi malam, dia merasa bimbang dan bersalah. Begitu memasuki rumah, Intan melihat mertuanya sudah duduk di ruang tamu dengan wajah penuh amarah. Intan sudah biasa melihat mertuanya berwajah masam seperti itu. Ini bukan kali pertama mertuanya begitu. Hampir setiap hari Intan disambut dengan tidak baik oleh Badriah.
"Baru pulang, Intan? Dari mana saja kamu sampai selarut ini?" tanya Badriah dengan suara tajam seperti silet yang siap menyayat.
Intan menelan ludah, berusaha mencari alasan yang masuk akal. "Saya tadi lembur, Bu."
Badriah berdiri, matanya menatap Intan tajam. "Lembur? Atau kamu sedang berkencan dengan bosmu itu? Jangan pikir aku tidak tahu, Intan! Kamu sudah terlalu sering pulang malam dengan alasan lembur."
Intan coba tetap tenang dan tidak terpancing dengan tuduhan Badriah kepadanya. "Bu, saya memang lembur."
"Aku tidak percaya! Kamu selalu punya alasan. Tidak heran kalau Bima tidak bahagia menikah sama kamu. Kamu mandul, tidak bisa memberi kami cucu, dan sekarang kamu selingkuh," kata Badriah tanpa ampun.
Air mata mulai mengalir di pipi Intan. Dia ingin membela diri, tapi perasaan bersalah dan sakit hati membuatnya sulit untuk bicara. Yang membuat Intan menangis bukan hanya perkataan ketus dari mertuanya, tapi kenyataan pahit jika Intan memang belum dikaruniai anak.
Mendengar pertengkaran yang terjadi, Bima pun muncul dari dapur menghampiri istri dan ibunya. "Sudah cukup, Bu! Intan baru pulang kerja, dia pasti capek." Bima membela istrinya.
Badriah pun berbalik, menatap putranya dengan kesal. "Bima, kamu terlalu membela dia! Lihat saja, dia pasti sedang menipu kita." Badriah tidak mau kalah.
"Jangan begitu, Bu. Intan tidak bersalah. Dia bekerja keras untuk kita semua. Tolong jangan menyalahkan dia tanpa bukti!" kata Bima tegas. Ibunya itu memang sering mengatakan yang tidak berdasar tanpa ada bukti.
Intan kembali diam, merasa sangat bersalah melihat sang suami membelanya dengan begitu tulus. Namun, dia hampir saja mengkhianati Bima yang selama ini selalu mempercayainya. Perasaan bersalah semakin dalam menusuk hatinya. Setelah Badriah meninggalkan ruang tamu dengan kesal, Intan mendekati Bima.
"Sayang, makasih sudah belain aku," ucap Intan lirih.
Bima tersenyum lembut dan memeluknya. "Kamu istriku, Intan. Aku tahu kamu tidak akan melakukan hal-hal seperti itu. Sekarang, istirahatlah!" Bima percaya kepada istrinya.
Malam itu, Intan berbaring di samping suaminya dengan perasaan campur aduk. Intan sudah memutuskan kalau dia harus setia pada Bima dan membatasi perasaannya terhadap Mahendra. Dia tidak ingin menghancurkan rumah tangga yang selama ini mereka bangun bersama.
***
Keesokan harinya, Intan pergi ke kantor dengan perasaan canggung. Bagaimana tidak, mereka berciuman di sebuah ruangan yang hanya ada mereka berdua saja dan sekarang mereka harus saling bertemu.
Saat tiba di ruangannya, Intan melihat Mahendra sudah berada di mejanya, sibuk berkutat dengan lembaran kertas. Intan merasa gugup saat harus bertatap muka dengan bosnya setelah kejadian semalam.
"Selamat pagi, Pak," sapa Intan pelan.
Mahendra mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Selamat pagi, Intan. Bagaimana keadaanmu hari ini?"
"Baik, Pak. Terima kasih atas bantuan Anda semalam," jawab Intan sambil menunduk.
"Tak perlu sungkan. Itu sudah kewajiban saya memastikan karyawan saya baik-baik saja," kata Mahendra dengan nada ramah.
Intan hanya mengangguk dan segera duduk di mejanya, berusaha fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terus saja terganggu oleh perasaan bersalah dan canggung.
Intan mengingat kejadian itu. Ciuman pertama dengan Mahendra yang pastinya akan sangat sulit untuk dilupakan begitu saja.
Di dalam kesibukannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Temannya, Rina, mengirimkan pesan yang membuat jantungnya berdebar kencang.
"Intan, aku tadi melihat Bima di sebuah hotel. Kamu tahu dia ada meeting di sana?" tanya Rina memastikan.
Intan terkejut membaca pesan itu. Dia segera menghubungi Bima.
"Halo, Bima? Kamu di mana?" tanya Intan dengan nada cemas.
"Aku sedang meeting, Sayang. Ada apa?" jawab Bima dengan suara tenang nampak tidak ada apa-apa.
Intan merasa ada yang tidak beres. "Meeting di mana? Kenapa harus di hotel?"
"Oh, ini ... ada acara perusahaan. Jangan khawatir, aku akan pulang nanti," jawab Bima cepat dan singkat.
Belum puas dengan jawaban Bima, Intan merasakan ketidaknyamanan yang mendalam. Namun, sebelum dia sempat bertanya lebih lanjut, suara dehaman terdengar dari belakangnya. Intan berbalik dan melihat Mahendra berdiri di sana.
"Intan, apa yang sedang kamu lakukan? Ini waktu kerja, bukan waktunya kamu telepon!” tegur Mahendra dengan suara tajam.
Intan merasa kesal dan malu. "Maaf, Pak. Ini penting.” Dengan suara sedikit kesal, Intan menjawab teguran bosnya itu.
Mahendra menggelengkan kepala. "Tidak ada yang lebih penting dari pekerjaan saat ini. Selesaikan urusan pribadimu di luar jam kerja!"
Intan merasa darahnya mendidih. Kebenciannya terhadap Mahendra kembali muncul. Betapa bodohnya dia hampir saja terbuai oleh pria yang sangat menyebalkan itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia kembali ke mejanya dan mencoba fokus pada pekerjaannya, meski pikirannya kembali memikirkan Bima yang sedang berada di hotel.
Sepanjang hari, Intan tidak bisa menghilangkan perasaan cemas dan marah. Dia berusaha keras untuk menenangkan dirinya, tetapi pikiran terus berkecamuk di dalam kepalanya. Kecurigaannya terhadap Bima semakin menguat, tetapi dia tidak bisa berbuat banyak saat ini.
Di akhir hari kerja, Intan mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara lagi dengan Mahendra. Dia ingin memastikan tidak ada kesalahpahaman lebih lanjut. Namun, sebelum dia sempat melakukannya, Mahendra sudah pergi meninggalkan kantor.
Intan pulang dengan perasaan lelah dan bingung. Setibanya di rumah, Intan melihat Bima sudah menunggunya di ruang tamu dengan senyuman hangat.
"Intan, maaf aku membuatmu khawatir tadi siang. Sebenarnya, aku ada urusan penting dengan klien di hotel itu. Tidak ada yang perlu kamu cemaskan," kata Bima sambil memeluknya.
Intan ingin mempercayai kata-kata suaminya. Namun, perasaan ragu masih menyelimuti hatinya. Dia hanya bisa tersenyum lemah dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya untuk menenangkan pikiran buruk terhadap Bima.
Malam itu, Intan terus berpikir di kamar. Dia memutuskan untuk lebih waspada dan berusaha menjaga hubungan mereka. Dia tahu bahwa kebahagiaan rumah tangganya adalah yang terpenting. Perasaannya terhadap Mahendra harus dia kendalikan dan fokus utamanya adalah menjaga kepercayaan dan cinta dari Bima.
***
Keesokan harinya, Intan berusaha membatasi interaksinya dengan Mahendra. Dia hanya berbicara seperlunya dan fokus pada pekerjaan. Namun, di balik sikap profesionalnya, ada perasaan yang terus bergejolak. Dia tahu bahwa dia harus kuat dan tidak membiarkan dirinya tergoda lagi. Namun, rasa cemas terhadap Bima tidak juga hilang. Intan merasa perlu mencari tahu lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak ingin merasa tertipu atau dikhianati. Keputusan besar harus diambil dan dia siap menghadapi segala konsekuensi demi kebahagiaan dan ketenangan hatinya.
Sementara itu, Mahendra yang memperhatikan perubahan sikap Intan hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Dia tahu ada sesuatu yang mengganggu karyawannya itu, tetapi dia memilih untuk tidak ikut campur lebih lanjut. Dia menghormati batasan yang Intan buat, meski dalam hatinya ada perasaan tak menentu yang sulit dijelaskan.