CHAPTER I.2

2021 Words
Ai tak merasa keberatan jika kadang ibunya tak ingin menatap matanya saat sedang bicara, ia bisa mengerti kenapa wanita itu begitu. Pasti karena kemampuan aneh yang dimiliki Ai sejak lahir. Ia sendiri baru sadar saat berada di tahun ketiga Primary School, bahwa ia bisa mendengar kata hati lawan bicaranya hanya dengan saling bertatapan. Ai bisa mendengar apa yang ada di pikiran lawan bicaranya. Seperti hari ini, saat Tiara terburu-buru menghampirinya tepat saat ia baru saja tiba di kelas. "Kamu sudah cek portal akademis? Dapat score berapa?" tanya cewek berambut hitam lurus sepinggang itu. Ai dan Tiara sudah beberapa kali berada di kelas yang sama sejak mereka masih duduk di Secondary School. Dan bisa dibilang mereka ini teman sekaligus rival. Tiara adalah sosok ambisius yang selalu ingin melihat namanya di urutan teratas pada papan score akademik [3]. Cara terbaik untuk menggambarkan sifatnya adalah bahwa dia lebih memilih berkompetisi daripada bekerja sama. Dia bahkan demam selama beberapa hari cuma karena Ai pernah menggeser namanya ke posisi kedua, sejak saat itu ia selalu merasa Ai adalah saingannya. Meski Ai tak pernah sekalipun lagi mengalahkannya. "Entahlah, aku belum check," balas Ai sambil membiarkan Tiara merendengi langkahnya menuju ke kelas tempat kuliah pertama hari ini. Sebenarnya dia sudah melihat score-nya, periode ini dia cuma dapat 95%, urutan ketiga, makanya dia malas memberi tahu Tiara. Dalam hati dia juga kesal setiap melihat ekspresi puas Tiara ketika tahu bahwa Ai masih berada di bawahnya. "Aku cuma dapat 98%, menyebalkan sekali, padahal kurasa aku sudah mengerjakan semuanya dengan sempurna," Tiara menggerutu sambil mengerling Ai. Saat tatapan mereka bertemu, Ai segera tahu bahwa cewek bertubuh pendek di hadapannya itu sangat bernafsu menunggu kekalahan Ai. "Ayo katakan berapa score-mu, pasti tidak mungkin lebih tinggi dari aku, 'kan?" Itulah isi pikiran Tiara yang sebenarnya, dan Ai cuma bisa mendengus tertawa menanggapinya. "Kamu tenang saja, aku tidak berniat mengalahkanmu kok," sahut Ai akhirnya. "Kamu boleh terus berada di peringkat pertama atau di peringkat berapa pun yang kamu inginkan. Aku akan berusaha untuk tidak mengunggulimu," sambungnya di sela tawa ringan. Air muka Tiara berubah setelah mendengar perkataan Ai, ia terlihat kesal. Ai sengaja mengatakan itu agar Tiara tidak merasa puas dengan kemenangannya, itu adalah satu-satunya cara Ai untuk menyelamatkan harga dirinya. Karena sebenarnya Ai sadar bahwa ia tak bisa mengungguli Tiara – kemenangannya terhadap Tiara yang dulu pernah terjadi sekali itu hanya kebetulan. Dengan membiarkan Tiara berpikir seolah Ai sengaja tidak menggunakan seluruh kemampuan untuk mengalahkannya, maka Tiara tidak akan pernah merasa menang dari Ai dengan sempurna. "Kenapa begitu? Bukankah seharusnya kamu belajar dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan score terbaik?" protes Tiara. "Bagiku score terbaik itu tidak harus 100%" "Tapi kalau kamu bisa dapat 100% kenapa kamu tidak mau mengusahakannya?" "Aduh... Tiara," keluh Ai akhirnya, "tidak semua orang seperti kamu. Kalau kamu merasa belajar semalaman membaca berpuluh-puluh buku sebagai hobi yang menyenangkan, orang lain bisa saja menganggap itu siksaan. Jadi meskipun sebenarnya mungkin banyak orang yang bisa mengalahkanmu, tapi jika untuk itu mereka harus mengorbankan waktu santai dan bermainnya, mereka lebih memilih untuk puas dengan nilai terbaiknya walaupun itu tidak sampai 100%." "Jadi maksudmu nilai sempurna itu tidak penting dibandingkan dengan waktu santai dan bermain? Memangnya kamu sekolah dan kuliah untuk apa? Untuk belajar, kan?" "Tepat sekali. Untuk belajar. Bukan untuk mendapat nilai sempurna," timpal Ai cepat. "Aku bukan mengatakan bahwa caramu salah, Tiara. Kamu ini adalah orang yang beruntung karena dianugrahi hobi belajar yang sangat luar biasa. Cuma sedikit orang yang menganggap belajar sama menyenangkannya dengan main game seperti kamu. Sikapmu yang tergila-gila pada pelajaran ini adalah suatu kelebihan yang tidak kumiliki. Bagimu mendapat nilai sempurna adalah suatu keharusan dan sangat lumrah. Tapi, manusia hidup bukan cuma untuk itu." "Bukankah semua orang harus memaksa dirinya untuk belajar? Kita semua kan memang harus mencintai ilmu pengetahuan?" "Iya, tentu saja." "Jadi?" "Jadi ya sudah. Aku kan sudah bilang kalau kamu tidak salah." "Tapi kenapa kamu..." "Sudah jangan dibahas lagi, nanti juga kamu akan mengerti," tukas Ai akhirnya. Ia tak perlu terlalu menanggapi Tiara. Cewek ini cuma ingin mencari pembuktian bahwa ia lebih hebat dari Ai. Padahal Tiara tak perlu melakukan itu, karena Ai tak pernah berniat menghabiskan waktunya untuk bersaing dengan cewek Einstein itu. Ai merasa sudah puas dengan hasil yang dicapainya sekarang, ia merasa tak harus menambah usaha untuk mendapatkan lebih dari ini. Tapi dibalik semua itu, Tiara selalu saja lengket dengan Ai. Kalau ditanya siapa yang paling dekat dengan Tiara, semua orang akan menjawab, Aisyah Chandra. Memang tak banyak yang bisa bergaul dengan Tiara, bukan cuma karena dia dianggap membosankan, tapi juga karena jiwa berkompetisinya yang sangat luar biasa itu. Siapa yang tahan? "Ai, setelah mata kuliah Strategi Politik, kamu ada kuliah lagi tidak? Kita ke perpustakaan, yuk. Katanya ada beberapa buku baru. Aku penasaran, kamu mau?" tanya Tiara saat mereka sudah sampai di depan kelas dan pintu di hadapan mereka terbuka otomatis. Ai duduk di kursi baris kedua sambil menjawab seadanya, "Aku sudah ada janji nanti." "Oh..." Wajah Tiara tampak agak kecewa. Ia mengangguk-angguk pelan sambil kemudian mengambil tempat duduk di depan Ai. "Oh iya, pengkajian teori keamanan yang..." "Ai, sudah selesai tugas Politik Nasional Avalon?" Sebuah suara menyela kalimat Tiara. Ai sedikit memutar tubuhnya untuk dapat melihat si pemilik suara, itu Hagi. Teman akrabnya sejak kecil. Bukannya Ai tidak tahu, Hagi sudah suka dengannya sejak usia mereka 15 tahun, tepatnya saat mereka berada di tahun ketiga secondary school. Dia sengaja sekolah dan kuliah di tempat yang sama dengan Ai, tanpa berani mengungkapkan perasaannya, dan selamanya berada di friendzone. "Aku sudah submit ke email Prof. Idjang," jawab Ai sambil mulai menekan tombol power pada keyboard yang ada di permukaan mejanya [4]. Ia masih harus menempelkan ID pada panel persegi di sudut kiri meja dan memasukkan password-nya sebelum bisa menggunakan komputer di meja tersebut. Setelah aksesnya diterima, layar hologram berukuran 12 inci muncul di atas meja. "Aku agak ragu soal hukum yang berkaitan dengan Eyja. Wah, lengkap sekali," seru Hagi saat melihat tugas essay milik Ai yang terpampang di layar. "Kamu dapat referensi buku dari mana?" "Aku punya bukunya. Pulau itu memang bagian dari Avalon. Tapi kalau soal hukumnya tak perlu dibahas panjang lebar di tugas kali ini, soalnya paper ini lebih fokus ke politik nasional..." "Betul," sambar Tiara. Sejak tadi dia sudah menanti Ai mengambil jeda agar ia bisa menyela. "Kalau soal hukum Eyja, cuma perlu dibahas satu atau dua kalimat. Mereka semua orang barbar, mereka tidak punya hukum. Bahkan teroris seperti WoLf berasal dari sana, aku tidak sudi jika Avalon dianggap sama dengan pulau buangan itu." "Pada dasarnya penduduk pulau itu memang orang Avalon," balas Ai lagi. "Lagipula, tidak ada dasar yang membuktikan bahwa WoLf itu orang-orang Eyja." "Tentu saja WoLf itu mereka!" tukas Tiara menggebu-gebu. "Mereka kan tidak pernah suka dengan kita. Kalau tidak dijaga Divisi-4, Angkatan Laut kebanggaan Avalon, teroris dari pulau itu akan semakin merajalela, dan mereka sedang mengumpulkan kekuatan untuk menghabisi kita. Mereka bahkan tidak segan-segan membunuh orang tua dan anak-anak." "Kamu hanya bicara berdasarkan buku-buku yang kamu baca." "Kalau tidak dari buku, darimana lagi kita mendapat informasi?" "Tapi buku itu tidak semuanya...," Ai mengambil jeda sejenak dan menarik napas panjang, "ah... sudahlah, aku malas berdebat denganmu." "Tuh kan... kamu begitu lagi, kamu tidak pernah mau 100% menghadapiku, selalu setengah hati dan berhenti di tengah jalan. Menyebalkan." "Kalau kamu sangat membenci Eyja, apa menurutmu Third Child yang dibuang ke sana juga pantas dibenci?" Akhirnya Hagi ikut buka suara. "Sejak awal kelahiran mereka juga sudah salah, jadi ya wajar saja mereka dibuang." Tiara mengangkat bahunya sekilas. Ai sendiri tak bisa menyembunyikan ekspresi jijik di wajahnya, Tiara begitu ringannya menentukan bahwa hidup anak-anak Third Child tidak berharga. Padahal mereka juga anak manusia dan mereka berhak mendapatkan hak kehidupan yang layak. "Tapi beberapa tahun belakangan, hampir tidak ada lagi Third Child yang dikirim ke Avalon kan," Tiara menambahkan lagi. Sepertinya ia sadar bahwa Ai sangat tidak suka dengan sikap cueknya terhadap nasib Third Child. "Karena kesadaran masyarakat semakin tinggi, bahwa memiliki anak ketiga itu salah." "Kesadaran masyarakat apa? Membuang anak sendiri kok dianggap kesadaran," gerutu Hagi bernada protes. Ia tak menyangka Tiara akan mendengar gumamannya dan langsung membalas. "Kita semua tahu, sebelum Zoire berkuasa, sempat terjadi lonjakan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk Avalon menjadi tak terkendali. Saat itulah pemerintah memberlakukan program wajib 4 in 1 – suami istri dan dua anak dalam satu keluarga – dan berlaku hingga sekarang [5]. Pemerintah sudah cukup baik menyediakan Third Child House (TCH), setiap ada anak ketiga yang lahir bisa dibesarkan di sana dan menunggu untuk diadopsi, jika sudah melewati usia 12 tahun ia masih berada TCH dan keluarganya tak bisa menebusnya, maka ia akan langsung dibuang ke Eyja. Itu sudah peraturannya, kalau masih ada yang melahirkan anak ketiga, berarti ia melanggar peraturan. Wajar jika mendapat hukuman." Tiara tampak kesal ketika ia mendapat bantahan. Tapi Ai dan Hagi hanya saling bertukar pandang, mereka malas membantah si mesin ilmu pengetahuan itu. "Tapi Eyja adalah pemasok kebutuhan pangan paling vital untuk Avalon," sambung Ai lagi. Ia bertekad ini akan menjadi counter-nya yang terakhir. "Rata-rata penduduknya adalah petani, peternak, dan nelayan. Kalau tidak ada mereka, kita juga yang akan susah." "Syukurlah mereka masih berguna," timpal Tiara. "Pemerintah bahkan berbaik hati memberikan mereka pendidikan membaca dan berhitung saat usia 7-8 tahun. Sekitar 20 tahun lalu, pemerintah juga mulai mengizinkan pengiriman beberapa orang Eyja ke West City. Yah... meskipun kita semua tahu apa yang dilakukan orang Eyja di sana. Tapi, aku rasa pemerintahan Zoire ini sudah sangat baik, walaupun dia menghapus sistem demokrasi yang telah menaikkannya menjadi pemimpin, tidak masalah. Bukankah ia dipilih langsung oleh rakyat, berarti rakyat juga harus menerima segala kebijakannya. Aku tak begitu yakin dengan sistem politik apa yang dianut Avalon sekarang, tapi sudah jelas posisi Zoire bukan lagi seorang presiden, ia sudah mengubah banyak hal dan membuat dinasti-nya sendiri. Dengan kata lain, dia sekarang adalah Raja Avalon. Kita memanggilnya Lord, kan? Dia juga sudah menetapkan dasar hukum yang menjadikannya penguasa tertinggi seumur hidup, dengan Luen sebagai perdana menteri sekaligus Panglima tertinggi pemimpin ketujuh Divisi [6]," Tiara menjelaskan panjang lebar tanpa bisa dihentikan, matanya berbinar penuh semangat. Bukan karena ia sangat berminat membahas Eyja, tapi karena berhasil menunjukkan apa yang ia ketahui. "Prof. Saeri datang," Ai menyikut Hagi dan berhasil membuat Tiara menghentikan ocehannya. Dia baru akan sangat puas setelah berhasil memuntahkan semua yang ada di kepalanya, tapi berhubung Ai dan Hagi pun sebenarnya sudah tahu informasi mengenai Eyja, ocehan Tiara terdengar sangat mengganggu. Jadi diam-diam mereka merasa lega saat Prof. Saeri tiba dan memutus kalimat Tiara. Ai tertawa tanpa suara waktu melihat Hagi memutar bola matanya sambil berbisik; "fyuh..." Hampir semua orang yang berada di sekitar Tiara sudah terbiasa dengannya. Sebenarnya dia cewek yang pintar dan asyik untuk dijadikan teman belajar, tapi entah disadarinya atau tidak, penyakit pamer ilmu dan gila berkompetisinya itu sudah sangat akut dan luar biasa menyebalkan. . _______________ [3] Sistem pada instansi pendidikan di Avalon: setiap sebulan sekali akan diumumkan siswa yang mendapatkan score tertinggi pada periode tersebut. Score beserta nama para siswa akan terpampang pada papan score akademik sesuai urutan. Sedangkan untuk sistem SSU, score akademik hanya akan diupdate setiap tiga bulan sekali, dan mahasiswa hanya akan menerima hasil score-nya masing-masing melalui portal akademik kampus. [4] Tiap meja di dalam kelas SSU dilengkapi dengan komputer yang menampilkan layar hologram ketika power-nya dinyalakan. Komputer itu bisa diakses menggunakan ID Card mahasiswa. [5] Sistem 4 in 1: Setiap lelaki dan perempuan yang sudah menikah memiliki batas waktu selama tiga tahun untuk melengkapi formasi (empat orang dalam satu keluarga). Setelahnya, setiap keluarga memiliki jangka waktu dua tahun untuk periode rekonstruksi (melengkapi kembali formasi setiap kali terjadi kekurangan), misalnya salah satu anak meninggal atau bercerai. Akibat sistem ini, joki suami/istri pun bermunculan, dan penjualan bayi marak terjadi. Peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang belum menikah, dan tidak ada batasan sampai usia berapa seseorang diizinkan melajang. Masyarakat hanya akan dianggap melanggar sistem jika jumlah anggota keluarga tidak sesuai sistem 4 in 1 (kurang atau lebih dari 4 dalam 1 keluarga). Hal ini dilakukan untuk menjaga angka kepadatan penduduk Avalon tetap rendah dan terkendali. [6] Avalon memiliki 7 Divisi pertahanan negara yang terdiri dari Divisi 1-Guardian, Divisi 2-Unit Khusus Inteligen (UKI), Divisi 3-Angkatan Udara, Divisi 4-Angkatan Laut, Divisi 5 Angkatan Darat, Divisi 6-Polisi, dan Divisi 7-Armour.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD