CHAPTER I.3

1891 Words
"Hei." Sebuah tepukan mendarat di pundak Ai saat ia sedang menikmati makan siang di kantin kampus, setelah kuliah pertama dengan Prof. Saeri tadi berakhir. Ai mengangkat wajahnya untuk dapat melihat si pemilik suara. "Oh, kamu," gumamnya acuh tak acuh sambil kembali menggigit roti dan menyeruput cappucino hangatnya. "Haishh... dingin banget reaksinya," keluh Ariel masih dengan cengiran yang sama di wajahnya. "Padahal tadi kita sudah ketemu di kelas, tapi kamu pura-pura nggak kenal." Cowok berkulit gelap itu menarik kursi di hadapan Ai dan mempersilakan dirinya sendiri duduk di situ. "Apa kamu juga sudah tahu kalau hari ini kita akan ngobrol dan duduk di kantin ini?" tanya Ai. Ariel tertawa lepas mendengarnya. "Jangan ketus gitu dong, Seventh," sahutnya kemudian. "Sekarang jelaskan apa itu Seventh dan siapa kamu sebenarnya?" "Soal itu nggak bisa dijelaskan di sini, nanti kamu masih ada kuliah?" Ariel balik bertanya dan Ai cuma balas menggeleng. "Bagus, aku juga. Berarti habis ini kita bisa langsung menuju lokasi di mana teman kita yang lain sedang menunggu. Biar semuanya lebih mudah untuk dijelaskan." "Apa yang membuatmu berpikir aku bersedia ikut pergi ke suatu tempat yang tak kuketahui dan di sana sudah ada teman-temanmu sedang menunggu. Memangnya aku bodoh?" Ariel tertawa lagi sebelum membalas. "Mana berani aku menganggapmu bodoh, Ai. Ya sudah begini saja deh," ia menegakkan duduknya dan melipat kedua tangan di atas meja, "gunakan kemampuanmu dan lihat apa aku memang punya niat buruk padamu," katanya sambil menatap Ai dengan sangat yakin. "Kamu bisa melihat masa depan?" tebak Ai akhirnya. Lebih tepatnya, Ai tidak menebak, tapi ia menemukan kenyataan itu dari mata yang terbuka lebar di hadapannya. "Dan kamu bisa membaca pikiran," timpal Ariel. Mereka lalu diam dan hanya saling bertatapan selama beberapa saat, sampai akhirnya Ai menghela napas. "Ada berapa orang?" tanyanya kemudian. "Kamu yang ketujuh," jawab Ariel dengan senyum lebarnya yang khas. "Tapi begini, perlu dicatat ya, kemampuanku nggak sehebat yang kamu kira. Melihat masa depan dan sebagainya itu nggak seperti yang kamu bayangkan. Aku cuma melihat sekelebatan peristiwa dalam tidurku. Seperti trailer sebuah film, sepotong dan cenderung acak. Lagipula, aku nggak tahu kapan penglihatan itu akan jadi kenyataan." "Kalau setelah melihat masa depan tapi kamu tidak tahu kapan itu akan terjadi, penglihatanmu itu hampir tidak berguna dong. Benar-benar tidak praktis," cibir Ai setengah bercanda. Alih-alih tersinggung, Ariel malah nyengir lebar. "Memang nggak praktis banget. Aku masih suka bingung mengingat dan menyatukan potongan mimpi yang kulihat. Akibatnya setiap kali ada kejadian aku terlambat bereaksi. Tapi akhir-akhir ini ingatanku semakin tajam. Aku mulai bisa mengantisipasi hal-hal kecil. Walaupun tetap saja aku masih nggak bisa berbuat banyak. Coba kalau aku punya kemampuan seperti Kevin," ia agak bergumam di akhir kalimatnya. "Kalau dipikir-pikir, kemampuanku juga punya banyak kekurangan," sahut Ai. "Kecuali orang yang kukenal dekat seperti keluarga atau teman dekat, kemampuanku hanya bisa digunakan jika saling bertatapan, " terangnya lagi. "Ya ampun, repot banget. Terus? Bagaimana caranya kamu melakukannya? Maksudku, apa kamu juga melihat potongan kejadian seperti yang kualami?" "Bukan, saat tatapanku bertemu dengan seseorang, dengan sendirinya pikirannya terdengar." "Whoaa... bahaya sekali. Berarti aku harus menghindari tatapanmu setiap kali lagi mikir jorok." "Ih... dasar mes*m!" Ai refleks memukul kepala Ariel dengan sendok di tangannya. Berjarak beberapa meter dari mereka, Hagi mengamati sambil menyeruput teh dinginnya. Dalam hati ia merasa telah dicurangi. Selama ini ia adalah yang paling dekat dengan Ai, mendekatinya sedikit demi sedikit tanpa berani sembarangan mengungkapkan perasaan karena takut semua usahanya akan rusak hanya gara-gara satu kalimat 'I love you' yang dikatakannya. Tapi si anak baru itu muncul entah dari mana, lalu dengan mudahnya mendekati Ai. Hagi merasa ia tak boleh membiarkan semuanya begitu saja. Disedotnya habis minuman dingin itu sebelum akhirnya beranjak dan melangkah menghampiri meja Ai dan Ariel. "Hei, ada teman baru kenapa tidak dikenalkan padaku, Ai?" sapanya sambil langsung mengambil tempat duduk di samping Ariel lalu mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, Hagi," katanya kemudian. Ariel langsung menyambut uluran tangan Hagi. "Oh... hai. Ariel," balasnya dengan mata yang bergantian menatap Ai dan Hagi. Wajah Hagi terlihat sedang berusaha keras menyembunyikan kekesalan. Tanpa perlu dijelaskan lagi, Ariel sudah paham. Ia pun beranjak dan mengumbar senyum lebarnya. "Aku masih ada kuliah. Pamit, ya," katanya sambil menatap mata Ai lekat-lekat. "Jam dua di lobby barat, akan aku jelaskan semuanya." Terdengar sangat jelas sekali, bergema di kepala Ai, seolah Ariel memang sedang bicara padanya. "See you around." Cowok jangkung itu melambaikan tangannya dan berlalu. "Kenapa dia harus buru-buru pergi begitu?" gumam Hagi setelah Ariel hilang dari pandangan. Ia lalu mengalihkan tatapannya pada Ai. "Kamu kenal di mana?" tanyanya lagi. "Kemarin, waktu aku sedang duduk di Tomo Park. Dia tanya jalan ke SSU," jawab Ai sambil mengangkat wajahnya untuk dapat bertemu mata dengan Hagi. "Tidak bisa! Orang itu tidak bisa seenaknya memotong jalanku! Aku tidak akan diam saja melihatnya merebut Ai!" Saat tatapan mereka bertemu, detik itu juga suara Hagi langsung terdengar. "Kalau begitu takutnya aku dilirik orang, kenapa tidak cepat nyatakan saja perasaanmu. Dasar cowok payah," batin Ai dalam hati. Dia sebenarnya tak punya banyak teman cowok. Ai hanya mengenal Hagi, teman cowok lain yang muncul biasanya adalah teman-teman Hagi. Intinya, Ai merasa bahwa Hagi adalah yang paling dekat denganya. Walaupun Ai tak tahu apakah yang ia rasakan adalah cinta, tapi ia tak bisa membayangkan suatu saat nanti memiliki lelaki lain yang akan mendampinginya, selain Hagi. Tapi Hagi tak pernah mengatakan apa-apa. Hanya diam-diam menjaganya sebagai teman. Meskipun Ai berkali-kali memancing agar dia mau menyatakan perasaannya. Hagi terlalu takut untuk membawa hubungan mereka ke level yang lebih tinggi. Dia sangat kurang percaya diri, karena Ai adalah cewek yang cukup beken di kampus. Peraih beasiswa bergengsi, juara bertahan karya ilmiah nasional, cantik dan cool. Siapa yang tidak kenal dengan Aisyah Chandra? Hagi merasa harus meningkatkan levelnya sebelum memberanikan diri meng-klaim bahwa Ai adalah miliknya. Padahal Ai tak peduli soal itu, asalkan Hagi bilang suka, ia akan membalas perasaannya. Lelaki yang paling dekat dengannya sejak ia kecil, yang paling mengerti akan dirinya, mendengarkan semua keluh kesahnya, selalu menolongnya walau sesulit apapun, dan tak pernah meninggalkannya meskipun berkali-kali melihat sisi buruk dalam dirinya. Dialah Hagi, teman baik Ai. "Kelihatannya dia cukup ramah," Hagi memulai obrolan lagi. "Siapa?" Karena tadi pikiran Ai sudah kemana-mana, dia jadi sulit menyambung pembicaraan. "Si Ariel itu," sahut Hagi. "Oh..." Ai meneguk habis cappucino yang sudah dingin di gelasnya. "Iya, memang," balasnya kemudian, "dia juga cukup ceplas-ceplos. Sepertinya kalau dia menyukai seseorang, dia tipe orang yang akan langsung menyatakan perasaannya." Perkataan Ai bermaksud menyindir Hagi. Lelaki itu pun tersenyum kecut sambil menelan ludah. Entah dia tahu atau tidak, bahwa saat ini sebenarnya yang dibutuhkan Ai adalah kejujurannya. --- "Yo, Seventh, sudah siap?" Suara ceria Ariel langsung menyambutnya saat Ai tiba di lobby barat SSU siang ini. Ariel berdiri bersama seorang remaja laki-laki berwajah western di sana. "Siapa anak itu?" Ai memutuskan untuk tak menyuarakan pertanyaan itu. "Terus? Sekarang kemana?" tanyanya sambil mengerling anak sekolahan berperawakan kecil di sebelah Ariel. Dia kurus dan tubuhnya bahkan tidak lebih tinggi dari Ai. Tapi senyumnya sangat angelic. "Ikut saja. Tanpa perlu kujelaskan panjang lebar, kamu sendiri sudah tahu kan bahwa aku sama sekali nggak berniat jahat." Ariel sengaja mendekatkan wajahnya agar Ai menatap matanya dengan jelas. "Iya, iya, jangan terlalu dekat," gumam Ai sambil menatap berkeliling. Entah kenapa dia cemas bagaimana kalau sampai Hagi mengikuti dan merasa Ai terlalu mesra dengan Ariel. Mereka lalu melangkah keluar lobby dan menuju ke arah basement kampus. Melewati beberapa ruangan kelas dan ruangan klub kegiatan mahasiswa, menyusuri koridor dan berbelok beberapa kali. Sampai akhirnya tiba di sebuah belokan ke kanan, tapi Ariel berhenti di ujung koridor itu. Ia tidak berbelok, padahal tak ada jalan lain. Ariel kemudian mengacungkan telunjuknya di depan wajah Ai, mengisyaratkan agar Ai menunggu dan memperhatikan gerakannya selanjutnya. Lelaki itu lalu mendorong satu bagian pada dinding di depannya, dan ternyata bagian itu adalah sebuah panel seukuran telapak tangan orang dewasa, dan berperan seperti kunci. Dinding di hadapan mereka membuka, menjadi sebuah pintu yang sebelumnya disamarkan menyerupai tembok di sekelilingnya. Mereka pun masuk ke balik pintu rahasia itu dan masih harus berjalan lagi menyusuri koridor yang sedikit lebih sempit sebelum akhirnya tiba di depan pintu yang bertuliskan; "lift rusak". Ya, pintu itu memang pintu lift. Tapi Ai merasa sangat konyol meletakkan tulisan itu di pintu lift ini, yang letaknya tersembunyi dan belum tentu ditemukan orang lain. Ariel menyentuh tembok di samping kanan pintu lift, lalu dinding yang tadinya polos itu membuka dan lagi-lagi memunculkan panel kecil disebaliknya. Ariel mendekatkan matanya ke panel yang ternyata adalah retina scanner, dan ia langsung disambut oleh suara robotic seorang wanita. "Selamat datang, Ariel 'Third' Winata." "Aku bawa Seventh dan Fifth," kata Ariel. "Passvoice diterima, Ariel 'Third' Winata, silahkan masuk," sahut suara robotic itu bersamaan dengan pintu lift yang terbuka lebar. Ariel mengajak Ai dan si kecil yang katanya adalah Fifth itu. "Kita ke atas atau ke bawah lagi?" tanya Ai bingung saat lift mulai bergerak. Ariel membalikkan tubuhnya membelakangi pintu lift dan si Fifth mengikutinya. "Ke bawah lagi, tenang saja, nggak terlalu jauh sampai ke inti bumi kok. Kami juga nggak suka markas yang terlalu panas," jawabnya kemudian. "Pintu yang akan terbuka sebelah sini," imbuhnya sambil lalu tertawa ringan. Tak lama setelah suara tawanya reda, dinding lift di belakang Ai terbuka dan membuat Ai nyaris melompat saking kagetnya. Ditambah lagi, ada seorang lelaki dengan wajah yang sangat luar biasa tampan dan senyum sempurna tanpa c*acat menyambutnya. "Selamat datang di Armour Quarter." Bahkan suaranya terdengar lembut dan menghanyutkan. Ariel menepuk pundak Ai dan mendorongnya pelan keluar dari lift. "Fais, jangan langsung gunakan pheromone-mu untuk mencuri perhatian cewek dong," protesnya. Lelaki yang dipanggil Fais itu hanya tertawa menanggapi protes Ariel sambil lalu melangkah menuju kumpulan kursi yang mengelilingi meja oval di tengah ruangan. "Silakan, kita masih akan menunggu yang lainnya," katanya pada Ai sambil menarik salah satu kursi. Ai duduk di kursi yang ditawarkan Fais, dan melihat si Fifth juga duduk tanpa dipersilakan. Ariel pun mengambil tempat duduk di sebelah anak itu. Ruangan ini tak lebih luas dari ruangan kelas yang ada di SSU. Lagipula, tak ada apa-apa di sini, selain meja dan delapan kursi yang mengelilinginya. Kemudian, cuma ada dua pintu yang saling berseberangan di ruangan ini. Salah satunya adalah pintu lift tempat mereka masuk tadi, dan satunya lagi berada tepat di belakang kursi yang ada di salah satu ujung meja. Ai menebak kalau kursi itu pasti milik pemimpin tempat ini. Dan sepertinya pemimpin tempat ini memang si lelaki tampan, karena ia sekarang duduk di kursi yang di ujung meja itu. "Sambil menunggu yang lain datang, lebih baik aku mulai menjelaskan dari awal kepada Ai... Oh iya, Kevin." Akhir kalimat Fais ditujukan pada si bocah Fifth yang ternyata bernama Kevin. "Kamu harus kembali menggunakan retina dan suaramu untuk masuk, jangan terus bergantung pada orang lain, OK?" katanya sambil tersenyum, tapi tak ada yang menganggapnya sedang bicara ringan. Ia jelas sedang memberi perintah. Buktinya, Kevin mengangguk dengan wajah merah. "Seminggu yang lalu Kevin sakit, suaranya serak dan sempat tidak terdeteksi. Sejak saat itu ia selalu nebeng orang untuk masuk ke Quarter, takut kalau suaranya ditolak lagi. Soalnya setelah dua kali percobaan suara ditolak, akses melalui retina mata juga akan terblokir, urusannya jadi susah. Nanti setelah ini kami juga akan mendata retina dan suaramu untuk dikenali, supaya kamu bisa bebas keluar-masuk dari sini," jelasnya kali ini pada Ai. "Baiklah, bagusnya kita mulai dari mana ya?" Lelaki itu menghempas napas sambil meluruskan punggungnya dan duduk menyandar. "Apa itu Armour?" Ai memutuskan untuk mulai bertanya duluan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD