Tertarik

1218 Words
"Terimakasih sudah mempercayakan kami, Mbak Jelita. Semoga puas dengan hasil gaunnya ya," "Sangat puas, Mbak Luna. Sudah lama saya ngepoin hasil gaun buatan Mbak Luna di official i********: butik. Bagus-bagus banget Mbak. Jadi seneng banget waktu tiga bulan lalu dapat slot!" sahutnya dengan raut wajah penuh kesenangan. Wanita cantik yang bernama lengkap Kaluna Atmadja itu sontak tersenyum simpul. Ia senang jika kliennya ternyata puas dengan hasil yang diberikan. Siapa sih yang tidak kenal dengan Kaluna Atmadja? Meskipun bukan fashion designer terkenal di Indonesia, semua hasil gaun pengantin buatannya banyak sekali peminatnya. Pemilik butik D'Moon Boutique itu selalu sibuk, dan setiap kali membuka slot pembuatan gaun pengantin, pasti slot akan langsung penuh hanya dalam kurun waktu 1 jam. Kaluna tidak pernah mengambil job banyak, hanya mengambil sedikit, agar bisa fokus dan hasilnya maksimal serta memuaskan. Sebab waktunya tidak hanya dihabiskan untuk mengerjakan gaun pengantin saja. Kaluna juga sibuk membuat design untuk baju-baju yang ia jual di butiknya. "Ikut seneng kalau Mbak Jelita juga seneng. Semoga acara pernikahannya lancar ya Mbak. Sekali lagi, terimakasih sudah mempercayakan saya untuk membuat gaun pernikahan Mbak." "Iya Mbak Luna, sama-sama. Saya yang harusnya berterimakasih di sini, karena berkat Mbak Luna, saya jadi bisa mewujudkan gaun pengantin yang sesuai dengan impian saya.” “Sama-sama ya Mbak Jelita.” “Kalau begitu, saya pamit pulang sekarang ya Mbak Luna." Wanita berusia 29 tahun itu tersenyum ramah pada klien barunya tersebut. Kaluna memang terkenal sangat ramah jika berhadapan dengan para klien-kliennya, ataupun dengan para customer. Tapi begitu dingin dengan setiap orang yang sama sekali tidak dia kenal, dan tak memiliki kepentingan dengannya. "Sin, Erika ada ngabarin kamu nggak? Kok hari ini nggak masuk lagi dia?" Sinta—sang admin, langsung menggelengkan kepala dengan cepat. Benar-benar tidak tau mengenai kabar Erika sama sekali. "Nggak tau Mbak. Chat-ku dari kemarin nggak dibales juga tuh. Apa sakit ya Mbak?" Kaluna mengangkat bahunya tidak tau juga. "Nggak tau juga. Takutnya sih begitu, dia sakit tapi nggak bilang. Udah aku telepon juga nggak di angkat sama sekali. Padahal aku butuh bantuan dia biar cepat selesai gaun pesanannya Mbak Nina. Deadline bulan depan harus beres semua." "Mau aku bantuin Mbak? Tapi aku nggak ada basic sama sekali soal begituan." Kaluna lekas menggelengkan kepalanya. "Nggak perlu Sin, tugas kamu kan ngurusin klien. Kalau kamu bantuin aku, malah pekerjaan kamu yang keteteran." "Ya sudah kalau gitu. Semangat Mbak Luna! Tapi kalau butuh bantuan, panggil aku aja Mbak." Kaluna sontak menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis. Lalu ketika dia mengingat sesuatu, Kaluna kembali berucap, "oh iya hampir lupa, aku udah janji sama Mbak Mila buat jemput Cici. Jam berapa sih ini?" Kaluna memutar tubuhnya untuk melirik jam dinding yang ada di belakang. Wanita itu sontak memukul jidatnya sendiri karena waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 pagi. "Cici pulangnya jam berapa emangnya Mbak Lun?" "Jam 11 Sin. Duh, aku keluar bentar ya. Mau jemput Cici. Sekalian deh, mau mampir beli makan siang. Kamu mau sekalian aku beliin nggak Sin?" "Ditraktir kan ini Mbak?" "Iya, ditraktir. Mau apa? Jangan suruh aku mikir ya, aku males mikir soalnya." "Mau beli makan siang di mana Mbak?" tanya Sinta, agar lebih mudah memutuskan ingin menu makan siang apa. "Nggak tau sih, belum kepikiran. Ya udah deh, ntar aja gampang. Aku telpon kamu nanti," "Oke deh kalau gitu Mbak." sahut Sinta dengan cepat. “Eh tapi bebas juga nggak apa-apa Mbak, terserah Mbak Luna aja mau beliin apa. Aku terima-terima aja karena gratis!” Tidak ada balasan dari Kaluna, sebab wanita itu buru-buru masuk ke ruangannya untuk mengambil tas dan juga ponselnya. Begitu keluar dari ruangan, Kaluna tampak berjalan sedikit lebih cepat. "Aku tinggal ya," Sinta sontak menoleh dan menyahut, "Iya, Mbak Luna. Hati-hati di jalan!" Selama di perjalanan, Kaluna memang sedikit mempercepat laju mobilnya. Sebab dia memang tidak mau sampai terlambat untuk menjemput Cici. Kaluna tau bagaimana tabiat sang kakak jika sampai dia telat menjemput Cici. Pasti urusannya akan sangat panjang. Bahkan terakhir kali karena masalah sepele pun, Kaluna dan sang kakak saling perang dingin sampai hampir 1 bulan lamanya. Memang mengerikan. Suara dering ponselnya mulai terdengar menginterupsi. Kaluna sontak melirik ponselnya yang memang dia letakkan di dashboard mobil. Kaluna hanya menghela napas saat nama sang kakak tertera di sana. Enggan menjawabnya, sebab dia tau pasti sang kakak akan mengomel dari A sampai ke Z. Dan Kaluna malas untuk mendengarnya. Hingga akhirnya sebuah notifikasi pesan muncul. Sang kakak ternyata hanya ingin memberitahunya jika Cici sudah dijemput. Dan memintanya untuk batal menjemput Cici, sebab Cici sudah pulang lebih awal. Hal itu tentu sedikit membuat Kaluna berdecak kesal. Sebab dia hampir saja sampai ke tempat di mana sang ponakan bersekolah. "Kebiasaan banget deh Mbak Mila ini. Serba mendadak. Kenapa nggak ngabarin dari awal? Mana udah mau sampai lokasi lagi, astaga. Puter balik lagi dong gue?" Kaluna hanya bisa mengoceh kesal saat ini. Dia sudah meluangkan waktunya yang super sibuk untuk mengiyakan permintaan sang kakak, yaitu menjemput Cici di sekolahnya. Moodnya hari ini juga kurang baik sebenarnya, sebab sang kekasih membatalkan pertemuan dengannya secara tiba-tiba. Padahal, sudah lama mereka tidak pernah makan siang bersama. "Cari makan siang sekalian deh kalau gitu," monolognya, sesaat setelah berhasil putar balik arah. +++ Jagat baru saja mendudukkan diri di sebuah bangku yang paling ujung. Sengaja agar tidak mengundang perhatian banyak pengunjung cafe. Sejujurnya, ini kali pertama Jagat datang ke cafe milik salah satu teman semasa kuliahnya dulu. Bahkan teman yang tergabung dalam grup band yang mereka buat. Tapi sayangnya bubar, setelah wisuda. Tentu saja, karena masing-masing dari mereka lebih memilih untuk meraih keinginannya sendiri-sendiri. Suara gaduh mendadak menarik perhatian Jagat yang baru saja duduk tenang sambil memainkan ponselnya. Namun, bukan Jagat saja, tapi hampir seluruh pengunjung yang ada di dalam cafe tersebut langsung tertuju pada bangku yang letaknya di tengah-tengah. Seorang wanita, baru saja menyiramkan segelas es americano pada salah seorang pria yang duduk di bangku tersebut, tepat pada wajahnya. Dan seorang wanita yang Jagat pastikan itu adalah selingkuhannya langsung berdiri menjauh. "Dasar cowok brengsekk! Ini yang lo bilang sibuk ketemu klien, hah?!" "Cewek stres lo! Basah semua muka gue, sialan!" "Lo pikir gue peduli? Nggak!” sahut wanita itu dengan berani. Terlihat tidak gentar sama sekali. “Kita putus!" Pria itu mendecih pelan dan menyahut, "bagus deh, kalau putus. Gue juga udah males sama lo Lun! Lo tuh sok keras, sok mandiri yang bisa apa-apa sendiri. Nggak ada harga dirinya gue sebagai laki-laki kalau di hadapan lo!" "Ck! Gue emang nggak butuh laki-laki pecundang kayak lo!" Jagat diam-diam tersenyum di tempatnya saat ini. Wanita itu, benar-benar keren di matanya. Sangat pemberani dan bahkan tidak terlihat sedih sama sekali saat mengetahui kekasihnya berselingkuh. Baru kali ini Jagat merasa senang menonton orang bertengkar di depan umum. Karena menurut Jagat, wanita tadi memang berbeda. Sangat berani, meski menjadi bahan tontonan banyak orang. Selain itu juga sangat menarik. Salah satu kriteria yang dicari oleh Jagat. Yaitu, pemberani, tegas dan mandiri. Sepertinya memang ia benar-benar tertarik pada wanita cantik tadi. "Cantik juga," gumamnya tanpa sadar. Bahkan Jagat terus menatapnya sampai wanita itu menghilang dari balik pintu. "Gat? Lo barusan dateng? Sorry deh kalau yang ribut-ribut tadi bikin lo keganggu. Udah gue—" "Cewek tadi..." "Hah?" "Cewek tadi Van, cewek yang kayak tadi carinya di mana?" Evan sontak memutar bola matanya malas. Dia pikir Jagat akan mengatakan apa, tapi ternyata soal makhluk yang namanya perempuan. "Van—" "Noh, di pinggir empang!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD