Keyra

1183 Words
Jagat benar-benar menepati janjinya untuk pulang cepat hari ini. Tentu saja janji untuk menemani sang putri tercinta di rumah. Jarang-jarang Jagat bisa pulang awal seperti hari ini. Jika bukan karena janjinya pada Keyra, mungkin dia tidak akan pernah pulang lebih awal. "Lagi makan apa itu?" Keyra yang sedang asyik menyuap buah sambil menonton film kartun kesukaannya langsung menoleh ke sumber suara. Senyumannya mengembang tatkala melihat presensi sang papa yang kini ada di dekatnya. Keyra senang bukan main. "Papa beneran pulang cepat ya?" "Iya dong, nggak mungkin Papa bohong." sahut Jagat. Dia sedikit menunduk untuk mengecup puncak kepala sang anak. "Enak nggak buahnya?" "Enak!" jawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Jagat sontak tersenyum lagi melihat bagaimana tingkah sang anak. "Ya sudah, habiskan. Papa mau bersih-bersih dulu." "Pa, nanti bantuin Rara mengerjakan tugas dari Miss Jenar ya?" Rara—panggilan Keyra sejak kecil. Opa atau ayah dari Jagat lah yang memberikan nama tersebut. Katanya agar lebih mudah saja saat dipanggil. "Iya, nanti sama Papa." "Yeayy! Makasih Papa. Rara bosan dibantuin terus sama Mbak Siti." balasnya. Lalu kemudian berbisik, "Mbak Siti suka marah-marah, galak banget! Rara sebel!" Siti yang masih bisa mendengar bisikan sang majikan kecilnya sontak melotot. Takut-takut nantinya sang tuan berpikir jika dia benar-benar galak dan jahat pada Keyra. Padahal, Siti hanya bersikap tegas jika sedang mengajari Keyra. Apalagi saat mengerjakan tugas. Karena memang, Siti selalu memperlakukan Keyra seperti anaknya sendiri. Jadi terbawa suasana jika sedang mengajari bocah berusia 6 tahun itu. "Oh, Mbak Siti galak? Mungkin karena Rara nya aja kali ya yang bandel, nggak dengerin Mbak Siti kalau lagi belajar." "Ih tidak Papaaa! Rara anak baik loh," "Masa sih?" Dengan polosnya Keyra mengangguk. Namun bibirnya sedikit mengerucut karena sang papa ternyata tidak membelanya. Padahal dia ingin sekali dibela. Sejujurnya, Keyra sedang ngambek pada Siti. Sebab sebelumnya dia ingin sekali makan es krim. Tapi Siti tidak memperbolehkannya, sebab sedang batuk. Jadi yang barusan dia mengadu soal Siti galak karena memang sedang kesal saja dan sebagai pembalasan rasa kekesalannya itu. "Iya, anak Papa memang anak yang baik banget. Iya kan Mbak Siti?" Siti dengan cepat mengangguk. "Iya Mas Jagat, bener. Keyra emang anak yang baik banget. Top banget pokoknya!" "Mbak Siti jangan ikut-ikutan Papa ya. Rara masih kesel sama Mbak!" seru Rara, lalu wajahnya melengos begitu saja. Jagat yang hendak pergi ke kamar terpaksa harus menundanya terlebih dahulu karena heran dengan sang anak yang tiba-tiba kesal pada Siti. "Kok ngomongnya begitu sama Mbak Siti? Jangan gitu dong Ra, nggak baik. Ayo minta maaf," "Tidak mau!" "Rara..." panggil Jagat dengan suara yang rendah, namun serius. Tapi tetap saja Keyra enggan menoleh dan terus menatap ke layar televisi. "Mas, sudah jangan dipaksa. Nggak apa-apa kok. Itu Rara lagi kesel saja karena nggak saya bolehin makan es krim. Kan lagi batuk." Jagat sontak menghela napas saat mendengar ucapan dari Siti. Tidak menyangka jika putrinya kesal hanya karena masalah sepele. Tapi Jagat tidak bisa juga menyalahkan, sebab yang namanya anak kecil pasti selalu begitu jika sedang dilarang. "Jangan ngambek lagi sama Mbak Siti." "Mbak larang Rara makan es krim soalnya. Padahal mau makan dikit saja Pa, dikiiiit banget." "No, kan lagi batuk. Nanti kalau udah sembuh, mau makan es krim yang banyak pasti Papa bolehin, oke?" Keyra langsung mendongak begitu sang papa menjanjikan sesuatu yang sangat menguntungkan. Senyumannya merekah begitu saja. "Janji Pa?" "Iya, janji. Asal jangan bilang-bilang sama Oma. Nanti Papa kena marah," "Okidokii! Pokoknya aman!" Melihat interaksi sekecil ini antara ayah dan anak, membuat Siti terharu. Sulit sekali untuk mengungkapkan dengan kata-kata. Sebab sejak Keyra bayi, mana pernah Jagat mendekatkan diri dengan sang anak? +++ Satu, dua, lima? Tentu bisa dihitung dengan jari, berapa kali seorang Jagat Kaivan Mahatama menemani Keyra belajar atau membantunya mengerjakan tugas rumah. Bukannya tidak mau, tapi Jagat minim waktu yang disebabkan oleh pekerjaannya di kantor. Maklum, sang ayah sudah tidak lagi ikut campur soal perusahaan. Jadi, Jagat lah yang mengurusnya. Dan sang ayah memilih untuk menjalankan bisnis restorannya. Karena memang lebih santai dan fleksibel untuk orang yang sudah berumur. "Yeayy selesai!" teriak Keyra saat selesai mengerjakan tugasnya. "Ayo, sekarang sikat gigi, cuci kaki dan tangan, terus bobok." "Oke Papa! Tapi malam ini Papa tidur di sini ya sama Rara?" "Katanya sudah besar? Kok tidur minta ditemenin?" "Papa nggak sayang sama Rara ya?" "Huss! Kata siapa nggak sayang? Sayang dong. Papa tadi cuma bercanda. Ini Papa temenin beneran. Tapi sekarang sikat gigi dulu ke kamar mandi. Biar Papa yang beresin buku-bukunya." "Okidokii!" sahut Keyra si kecil yang sangat aktif itu. "Jangan lari-lari Raaa..." Tidak ada sahutan dari Keyra, hanya kekehan kecil dari bocah itu yang mana membuat Jagat sampai geleng-geleng kepala. Begini ya rasanya punya anak yang sudah sebesar Keyra? Begini ya rasanya saat sang anak memintanya untuk tetap di sana? Serasa benar-benar dibutuhkan sekali dan disayang. Jagat juga sadar jika tempat untuk Keyra berlindung dan bermanja hanya padanya. Lalu sekarang dia di sini. Duduk sembari menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Sedangkan Keyra sudah berbaring di sebelahnya. Meskipun sudah bersiap untuk tidur, Keyra terus saja mengoceh tanpa henti. Menceritakan apa saja yang dia lakukan selama di sekolah. Bahkan menceritakan pula soal Miss Jenar yang kerap kali titip salam untuk Jagat. Sebenarnya, Jagat sering mendapatkan pesan dari Miss Jenar soal perkembangan Keyra selama di sekolah. Awalnya Jagat selalu meresponnya dengan baik. Tapi semenjak tau jika guru anaknya itu genit, Jagat tak pernah sekali pun menanggapinya. Kecuali jika hal-hal yang penting saja. Itu pun Jagat selalu mengonfirmasinya terlebih dahulu pada Siti yang memang selalu stand by di sana. "Ayo tutup matanya, Ra. Ini sudah hampir jam 9 malam. Besok kalau bangunnya kesiangan bagaimana?" Mengabaikan sang Papa, Keyra justru kembali bercerita. Kini giliran menceritakan soal salah satu temannya. "Rara punya teman, namanya Citra Pa. Citra baik banget, terus pipinya gembul banget menggemaskan!" "Anak Papa juga menggemaskan kok," "Kalau Rara cantik," "Iya, Rara cantik dan menggemaskan." "Papa, Rara itu cantik bukan menggemaskan. Pipi Rara kan tidak gembul seperti Citra." "Memangnya kalau pipinya nggak gembul itu artinya nggak menggemaskan ya? Kok Papa baru tau?" Bocah itu mengangguk mengiyakan. Benar-benar polos yang membuat Jagat gemas sendiri. "Iya! Kalau pipinya tidak gembul seperti Citra berarti tidak menggemaskan." "Ya sudah, pipi Rara digembulin ajalah." "Ih tidak mau! Nanti kasihan Citra kalau Rara pipinya gembul juga." "Kok gitu?" "Sudah, Papa jangan bicara lagi. Rara mulai mengantuk." "Oh, oke anak Papa. Good night!" "Papa jangan pergi ya! Pokoknya Rara mau ditemenin." "Iya ini ditemenin." Baru saja Jagat sedikit membenarkan posisi duduknya, Keyra dengan sigap langsung memeluk pinggang Jagat. Padahal, kedua matanya baru saja terpejam. Jagat tersenyum sembari mengusap pelan rambut sang putri. Menatap wajahnya dengan lamat, sampai akhirnya Jagat harus menghela napas panjang. Wajah Keyra, benar-benar mirip dengan perempuan itu. Itulah, salah satu alasan mengapa dulu, Jagat tidak sedekat ini dengan anaknya sendiri. Kebenciannya pada perempuan itu membuatnya enggan mendekatkan diri dengan Keyra kecil, si bayi lucu tanpa dosa. Tapi tepat saat Keyra hampir menginjak usia dua tahun, Jagat mengenyahkan semuanya dan memilih untuk berdamai dengan hatinya sendiri. Keyra, tidak salah apa pun. Tidak seharusnya dia menjauh dari anaknya sendiri. Penyesalan? Tentu saja ada. Sebab Jagat sangat menyayangkan karena dia tidak pernah ada untuk Keyra selama satu tahun lebih. "Mimpi indah, anak cantik Papa..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD