Chapter 2 - Kebakaran

1090 Words
*flashback on Dor... dor... dor... “Daryanto, tolong lindungi aku. Aku akan menyerang sisi kiri”. Melihat fattah yang sedang menyiapkan senjatanya, daryanto segera bersiap di posisinya untuk melindungi temannya yang akan maju menyerang. “baik. Kalau kau sudah siap, beritahu aku”. “oke”. Setelah siap, mereka berdua mengangguk memberikan kode bahwa akan bersiap menyerang. Fattah berlari maju untuk menembaki menerobos pasukan musuh yang ada di depannya. Sambil dilindungi oleh daryanto, fattah terus bergerak maju dengan cepat. Fattah memang di kenal dengan keberaniannya dalam menumpas musuh musuhnya. Selain dari otak cerdasnya dalam membantu mengatur strategi untuk memenangkan peperangan yang terjadi. Walau saat itu usaianya baru tujuh belas tahun, namun ia mampu menggerakkan pasukan dengan kharismanya sebagai pemimpin. Saat itu di surabaya tepat tanggal sembilan belas september seribu sembilang ratus empat puluh lima, mereka berperang di depan hotel yamato karena gagalnya deklarasi perdamaian antara pihak indonesia dan belanja yang belum mengakui proklamasi yang telah di ucapkan oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta pada tanggal tujuh belas agustus sebulan yang lalu. Setelah perjuangan itu, pihak indonesia mendapatkan kemenangan dan berhasil menaiki puncak hotel yamato yang berada di surabaya. Lalu merobek bendara belanda menyisakan warna merah putih saja. *flashback off Kegiatan upacara hari ulang tahun republik indonesia telah selesai. Kakek fattah dan kakak daryanto pun memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. “hei fattah, bagaimana kalau sekarang kita ke rumah ku dulu? Bisa jadi ini adalah pertemuan terakhir kita. Kita tidak tahu kan siapa duluan yang akan di panggil”. Ajak daryanto. “tidak terima kasih. Saat ini elvan pasti sudah menungguku di depan. Kasian kalau dia menunggu terlalu lama”. Jawab fattah. Lalu segera melanjutkan kalimatnya. “lagian aku nggak suka dengan dirimu hari ini. Terlihat sangat pesimis menjalani hidup. Ku sarankan satu hal padamu, walau saat ini usia kita sudah sangat sepuh, tapi kita harus terus menjalaninya dengan optimis”. Setelah mengatakan itu, fattah segera melangkah meninggalkan daryanto yang masih diam terpaku disana. Benar saja, elvan saat ini tengah menunggu dirinya di depan gerbang lapangan. Elvan tersenyum saat melihat uyutnya sedang berjalan menuju dirinya. “sudah selesai uyut?”. “sudah. Kau benar benar datang untuk menjemput uyut ya”. “iya dong. Aku kan sudah janji untuk jemput uyut disini”. Mereka berdua memutuskan untuk langsung masuk ke dalam mobil. “Lalu pekerjaan kamu bagaimana?”. Kaket fattah melanjutkan obrolan mereka. “tenang uyut, aku sudah izin sama atasan untuk keluar sebentar”. Elvan langsung menghidupkan mesin mobilnya lalu melaju untuk membelah jalanan kota kembang yang lumayan padat. “jangan terlalu sering izin keluar. Nanti kinerja kamu dinilai jelek oleh atasan”. “siap uyut. Lagian baru kali ini aku izin keluar. Demi uyut”. Elvan memang menghawatirkan uyutnya jika harus berjalan sendiri untuk pulang ke rumah. “oh iya, malam ini aku ada lembur karena di klub milik atasan ku akan diadakan pesta ulang tahun anaknya. Uyut nggak apa apa kan di rumah sendirian?”. “berhentilah untuk terlalu menghawatikan kakek satu ini. Kau fokus saja bekerja”. Elvan tersenyum sambil terus mengendarai mobilnya menuju rumahnya. Setelah sampai di rumah, kakek fattah segera membuka pintu mobilnya lalu bergegas untuk masuk ke dalam rumah. Setelah sampai di depan gerbang, kakek fattah menghentikan langkahnya lalu melihat kebelakang ke arah elvan yang masih ada di dalam mobil. “hati hati di jalan”. “siap uyut. Kalau gitu aku berangkat dulu”. Elvan melajukan mobilnya menuju tempat kerjanya kembali. Kakek fattah memang sering berada sendirian di rumah dikarenakan kesibukan cucu dan cicit laki lakinya bekerja. Untuk mengusir rasa bosannya, ia sengaja merawat berbagai macam tanaman baik sayuran maupun tanaman hias. Selain untuk mengisi kekosongannya, hal itu juga membuat rumahnya menjadi asri. Sore hari saat kakek fattah sedang menyiram tanamannya, terdengar suara dering telepon yang ada di rumahnya. Kriing... kring... kring... “halo, assalaamu’alaikum”. Kakek fattah membuka kalimat di telepon. “assalaamu’alaikum. Kakek, ini dirga. Dirga mau mengabarkan kalau mungkin malam ini aku akan lembur di kantor. Karena harus menyelesaikan laporan untuk dipresentasikan besok pagi. Tolong bilang elvan juga kalau aku mungkin akan pulang larut malam. Jadi kalian tidak perlu menunggu ku untuk makan malam”. Penjelasan panjang yang dirga katakan agar kakeknya tidak menunggunya pulang. “baiklah. Tapi malam ini juga elvan akan lembur karena ada acara di tempat kerjanya”. Jawab kakek fattah dengan ikhlas. Berarti malam ini ia akan sendirian di rumah. “loh, elvan juga lembur. Apa tidak apa apa kakek sendirian di rumah?”. “tidak apa apa. Toh kakek juga tidak sedang membutuhkan apa apa”. “baiklah kalau begitu. Tapi kalau ada apa apa langsung hubungi dirga atau elvan ya”. “iya iya. Kalian ayah dan anak sama saja. Terlalu menghawatirkan diriku”. “karena kakek sangat penting bagi kami. Kakek lah yang telah mendidik kami hingga kami bisa menjadi seperti sekarang”. “jangan berlebihan. Kakek tidak pernah berbuat apa apa kepada kalian. Ya sudah kalau begitu kamu lanjutkan pekerjaan mu. Jangan sampai terlalu lama menelpon”. “baik kek. Assalaamu’alaikum”. “wa’alaikumsalam”. Kakek fattah segera menutup teleponnya. Ia menghembuskan nafasnya, pasrah dengan keadaan yang mengharuskannya ikhlas atas kesendiriannya saat ini. Waktu sudah semakin senja, seperti usia dirinya yang makin hari kian bertambah. Semakin berkurang juga waktu dirinya untuk melihat dunia ini. Kakek fattah tidak mengharapkan hal hal yang muluk. Ia tahu bahwa kehidupan ini adalah skenario dari yang maha kuasa. Ia hanya menjalankan apa yang telah ditakdirkan untuk dirinya. Tidak mengharapkan untuk segera mengharap sang pencipta, tidak juga terobsesi untuk terus mengejar dunia. Apalah dunia ini yang hanya sementara. Sudah banyak kematian yang pernah ia lihat. Orang orang yang ia sayangi telah mendahului dirinya. Bahkan kedua anaknya telah lebih dulu berpulang. Yang membuat kakek fattah tegar adalah keikhlasannya untuk menjalankan skenario yang tuhan buat untuk dirinya. Kakek fattah memutuskan untuk membuat sendiri makan malamnya. Ia berencana untuk membuat makanan sederhana yaitu sayur sup dan ayam goreng. Namun, saat kakek fattah baru melangkahkan kakinya di dapur, hidungnya seperti menghirup aroma gas yang menyengat. Ia curiga adanya kebocoran gas yang terjadi di dapurnya. Segera ia mengurungkan niatnya untuk menyalakan kompor karena itu sangat beresiko terjadinya kebakaran. Kakek fattah ingin membuka jendelanya agar gas yang ada di dalam dapur segera keluar. Namun baru melangkahkan kakinya menuju jendela, terdengar percikan listrik dari stop kontak yang terhubung dengan kulkas. Ia sangat terkejut, ingin langsung berlari tapi tubuhnya sudah tidak mengizinkan untuk bisa bergerak cepat. Dan... Duuaaarrrr...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD