Episode 3

1675 Words
Sambil menikmati makan siang itu, aku melihat-lihat sekitar Central Park. Saat itu sekitar 12.35. Masih 50 menit lagi untuk menunggu gerhana matahari. Walaupun kami hanya akan melihat gerhana matahari parsial, itu sudah sangat menakjubkan. Jack menawarkan roti baguette padaku, yang langsung kurobek dengan bersemangat. Dengan pisau kuiris, kutambahkan salami di antaranya, sesudah itu kutambahkan seiris keju cheddar, lalu kulahap dengan tersenyum. “Suka?” Aku mengangguk di sela-sela mengunyah rotiku. Sesudah selesai menelannya barulah aku menjawab. “Iya, ini luar biasa, Jack. Bisa-bisa aku terbiasa dengan segala kemewahan ini.” Jack tersenyum simpul. “Bagus, aku senang kalau kau menikmatinya. Nanti bisa kita atur untuk makan di tempat lain. Bagaimana kalau Sabtu ini atau Sabtu depan?” “Sabtu ini atau Sabtu depan?” ulangku sambil termenung. “Apa sudah ada janji dengan yang lain?” Aku menggeleng. “Tidak, tapi aku harus mencari apartemen baru. Apartemenku yang sekarang di Central Harlem itu bersama Josie. Sesudah kejadian ini, aku tidak bisa tinggal lagi di situ. Tidak mungkin bisa hidup tenang dengan George menemui Josie, apalagi Josie memberitahuku bahwa dia hamil.” Jack berdecak keras. “Dia sampai hamil apa karena kecelakaan sekali itu saja, atau karena sudah berkali-kali melakukannya?” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak tahu persis, tapi pengakuan Josie, mereka sudah berselingkuh di belakangku sejak dua tahun lalu. Bodoh sekali! Aku bahkan sama sekali tidak tahu, sampai akhirnya menangkap basah mereka. Dua tahun! Benar-benar dungu....” Air mata kembali mengancam untuk mengalir. Segera aku menatap ke atas untuk mencegahnya. Beberapa kali kutarik napas panjang. Selera makanku jadi hilang. Kutaruh rotiku di piring. Tiba-tiba…. “Ja-Jack?” Jack sudah meraih bahuku sehingga kepalaku jadi bersandar di bahunya. “Seperti kataku sebelumnya, kalau kau butuh orang untuk mendengarkan atau menghiburmu, aku ada di sini.” Air mataku yang kutahan tadi, akhirnya mengalir juga. Jack meraih pinggangku, lalu menggeser posisiku jadi bersandar di dadanya. “Menangislah. Jangan ditahan-tahan.” Kupeluk dia, lalu menangis lagi di dadanya. Rasanya melegakan bahwa aku tidak sendirian menghadapi masalah ini. Beberapa saat kemudian, aku menengadah untuk menatapnya. “Jack? Kenapa kau baik sekali hari ini? Apa karena ini perayaan lima tahun bekerja untukmu?” Jack terkekeh. “Aku selalu baik. Kau saja yang tidak peka.” “Masa? Bentakan, omelan, dan tuntutan kerja yang tiada henti, lembur dalam hari-hari menjelang pengiriman sampai subuh, apa itu baik?” Jack kembali terbahak. “Itu tuntutan pekerjaan. Di luar itu, aku selalu baik padamu, kan?” “Kenapa aku tidak bisa mengingatnya, ya?” godaku. “Coba kau ingat-ingat. Aku selalu menawarkan untuk mengantarmu pulang setiap minggu kau mengantarkan laundry dan espresso. Ingat? Juga menawarkan makan atau mentraktirmu makan di luar, atau memberi bonus.” “Itu kan imbalan pekerjaan,” sergahku cepat. “Benar juga. Ah, ya, memberimu cuti 3 minggu waktu ibumu meninggal. Apa itu bisa dihitung?” Aku menggeleng. “Kau ini, jadi ini ajang menghitung kebaikan?” Dengan geli aku terkekeh. “Apa kau akan memberiku beban tugas yang gila-gilaan, Bos? Makanya kau melunakkanku dulu?” godaku lagi. Jack terdiam sambil menatapku beberapa saat. “Bisa jadi begitu,” gumamnya. “Apa katamu? Aku tidak jelas mendengarmu.” “Tidak apa-apa.” Jack kembali meraih bahuku supaya kembali bersandar padanya. Angin sepoi-sepoi yang bertiup ditambah dengan suasana tenang, membuatku tidak bisa berpikir. Kembali aku bersandar di dadanya sambil menghela napas pelan. Jack mengelus rambutku lagi. Dengan cepat, dibukanya ikat rambut yang menahan sanggul rambutku. “Hei!” protesku. Jack mengabaikan protesku, malah memasukkan ikat rambutku ke dalam saku celana panjangnya, lalu dengan tangannya yang satunya lagi mulai menyugar rambutku. “Rambutmu indah, Daphne. Lebih indah kalau digerai.” “Ja-Jack.” Dengan terbata, aku melemparkan tatapan tanda tanya ke arahnya. Jack menatapku dalam-dalam, lalu wajahnya perlahan mendekat ke arah wajahku. “Akhirnya kutemukan juga kau, Daphne!” Suara keras itu membuatku terlonjak. Segera aku menjauh dari Jack. “Ge-George? Bagaimana kau tahu aku di sini?” “Tentu saja dengan melacak GPS ponselmu. Kau marah-marah padaku dan Josie, padahal kau sedang bermesraan dengan laki-laki ini. Di tempat terbuka pula!” Jack dengan cepat segera berdiri, lalu menghadang George. “Mantan kekasih Daphne? Minta maaf padanya. Kami hanya makan siang, bukan bermesraan.” “Makan siang? Kau kira aku anak ingusan yang mudah kau bohongi, Bung? Jelas-jelas kulihat tadi kalian mau berciuman kalau saja aku terlambat datang.” Dengan cepat aku berdiri juga di antara Jack dan George. “Ini tidak seperti kelihatannya. Lagipula kita sudah tidak ada urusan apa-apa. Jadi kalau aku mau bersama siapa pun, itu bukan urusanmu.” “Oh, ya? Dengan cincin pertunangan masih melingkari jarimu, kau masih tetap tunanganku. Kita masih akan menikah akhir tahun ini.” Jack segera maju, tapi dengan cepat kuhalangi dia. “Jangan, Jack. Biar aku yang bicara dengannya.” Melihat Jack yang tidak mau mundur, segera kutarik tangannya pelan untuk mendapat perhatiannya. “Kumohon, biarkan aku yang mengatasi ini,” pintaku dengan suara pelan. “Baiklah, tapi kalau dia macam-macam, aku akan menghajarnya.” Jack mundur beberapa langkah, sambil terus memperhatikan kami berdua. “Cepat sekali menemukan pasangan baru, Daphne? Sudah berapa lama kamu berselingkuh?” “Lihat siapa yang bicara? Aku tidak sepertimu. Urus saja Josie dan calon anakmu!” bentakku kesal. George meraih kedua tanganku. Suaranya berubah lembut. “Josie bukan hamil olehku. Dia sudah hamil sebelumnya oleh orang lain.” Aku menyentakkan tanganku. “Tidak mungkin! Josie tidak berkencan dengan orang lain selama ini. Dengan siapa lagi dia hamil kalau bukan denganmu?” “Aku akan memintanya untuk aborsi.” “Jangan berani-berani melakukan itu! Anak kalian berhak untuk hidup. Kalaupun kalian tidak menginginkannya, berikan pada yayasan yang mau menerima anak itu.” George menatapku beberapa saat. “Sesudah itu, apa kamu mau kembali padaku?” Aku berdecak keras. “Apa kau sudah hilang ingatan, George? Aku tidak bisa menerima pengkhianatanmu. Jadi seperti yang kukatakan kemarin, kita sudah selesai.” Teringat perkataan George tadi tentang cincin tunangan, segera kulepaskan cincin itu. Kutarik tangannya, lalu menyerahkan cincin itu padanya. “Sudah tidak ada cincin pertunangan lagi di jariku. Jadi sudah resmi kita tidak ada hubungan apa-apa lagi.” “Daphne, jangan emosional begini. Kita sudah berpacaran selama tiga tahun, juga sudah bertunangan. Hanya tinggal enam bulan lagi kita akan menikah. Ayolah, maafkan aku, ya?” “George, berapa kali aku harus mengulang hal ini? Aku tidak akan kembali padamu. Tidak peduli apa pun yang kau lakukan, kita sudah selesai.” Saat itu, Jack kembali berada di sampingku. Dirangkulnya bahuku. “Sudah selesai?” “Bagiku sudah,” jawabku cepat. “Bung, kau sudah melakukan kesalahan besar. Jadi enyahlah sebelum aku memanggil pihak keamanan untuk menangkapmu karena mengganggu kenyamanan dan ketentraman di tempat umum,” ancam Jack. “Jangan ikut campur! Ini urusanku dengan Daphne.” “Tentu saja ini urusanku juga. Daphne adalah bawahan sekaligus temanku. Karena kau menyakitinya, aku tidak akan pernah membiarkanmu kembali melakukannya.” Seakan keributan ini belum cukup, tiba-tiba terdengar suara Josie. “George! Di sini ternyata kamu. Aku sudah mencarimu dari kemarin.” Begitu melihatku dan Jack, mata Josie membelalak. “Daphne? Kau dengan bosmu? Wah, wah, tidak pernah cerita bahwa kalian ada affair.” “Tutup mulutmu!” bentak Jack kasar. Dia kembali berdiri di dekatku. “Di antara Daphne dan aku tidak ada seperti itu. Lagipula kalaupun kami akan memulai hubungan, tidak ada salahnya. Dia lajang, aku lajang. Bukan affair sama sekali.” Josie bertepuk tangan. “Baguslah! Akhirnya kita bisa mendapatkan akhir yang bahagia masing-masing. Aku dengan George dan anak kami-,” dengan demonstratif Josie mengelus perutnya yang masih rata,” -lalu kamu dengan bosmu.” Didekatinya aku, lalu berbisik dengan keras, “Tangkapan yang bagus, Daphne. Siapa sangka kamu sanggup menangkap ikan besar.” Dengan geram aku menjauh darinya. “Tidak seperti yang kau pikirkan, atau George,” tukasku. “Sudahlah, kalian pergi saja. Jangan membuatku tambah pusing dengan kelakuan kalian. Aku tegaskan, George, kita sudah tidak ada hubungan apa-apa. Begitu pula denganmu, Josie. Sejak kemarin, kau bukan lagi sahabatku. Aku akan segera pindah dari apartemen. Begitu pulang, aku akan memindahkan barang-barangku.” Josie mengangkat bahu. “Terserah. Aku juga tidak merasa ada bedanya antara ada kamu atau tidak di apartemen.” Sesudah itu, dengan genit Josie merangkul pinggang George. “George, Sayang, kamu bisa segera pindah ke apartemenku.” George menepis tangan Josie. “Tidak, aku tidak akan pindah ke sana. Mumpung kamu ada di sini, segera aborsi bayi itu. Kecuali kalau itu bukan anakku, terserah mau kamu apakan.” Josie mulai berteriak histeris. “Ini anakmu! Kenapa kamu tega tidak mengakuinya. Selama dua tahun ini aku tidak berhubungan dengan yang lain selain kamu, Sayang. Kenapa kamu bisa-bisanya menuduhku seperti itu?” Mereka mulai saling berteriak satu sama lain. Jack menarik tanganku, lalu berbicara pelan. “Ayo, kita lanjutkan makan. Biarkan saja mereka. Kalau mereka masih terus mengganggu, akan kuhubungi pihak security Central Park supaya mengusir mereka.” Aku menghela napas panjang. “Mudah-mudahan tidak harus sampai begitu. Kenapa George tidak mau menerima keputusanku? Padahal sudah jelas yang terjadi kemarin.” “Sudahlah. Biarkan saja. Nanti lama-lama juga dia akan sadar bahwa keputusanmu sudah tetap, tidak bisa diubah lagi.” “Semoga,” desahku penat. Baru saja kami mau duduk dan kembali menikmati makan siang, George dan Josie malah mendekat. “Daphne, kita belum selesai bicara. Kalau kamu butuh waktu untuk memikirkan ulang, aku akan menunggumu,” bujuk George. Baru saja aku mau menjawab, Josie segera berteriak. “Butuh waktu untuk memikirkan apa, sih? Kamu tidak dengar tadi Daphne bilang apa, Sayang? Dia sudah tidak mau kembali padamu. Apalagi sekarang sudah ada yang lain di sampingnya, mana mungkin dia mau kembali?” sergah Josie memanas-manasi George. George mengabaikan Josie, lalu meraih kedua tanganku. “Daphne, maafkan aku, ya? Aku berjanji akan baik padamu. Beri aku kesempatan kedua, ya?” Josie segera menarik tangan George dari tanganku, lalu segera berdiri di antara kami. “George, sudahlah. Ayo kita pulang. Masa kamu tidak kasihan dengan George Junior?” bujuknya sambil lagi-lagi mengelus perutnya. “Sebelum mendapat jawaban dari Daphne, aku tidak akan pulang. Daphne? Mau, kan, kamu memberiku kesempatan lagi? Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakannya lagi.” Melihat situasi yang berlarut-larut, Jack segera menelepon pihak keamanan Central Park. Sementara aku hanya bisa menghela napas panjang. Kepalaku mulai berdenyut-denyut. Kurang tidur semalam, ditambah lapar karena belum makan dari kemarin siang, ditambah juga menangis semalaman, apalagi mendengar George dan Josie terus bicara membuat kepalaku sangat sakit. Kutekan pelipisku, berharap mereka segera pergi. Begitu selesai menelepon, Jack menatapku. “Ada apa, Daphne? Sakit kepala?” Aku mengangguk lemah. “Sepertinya karena kurang tidur dan juga belum makan.” Tanpa memedulikan George dan Josie, ditariknya tanganku untuk duduk kembali. “Ayo makan. Kesehatanmu lebih penting. Tidak usah pikirkan dua orang itu. Anggap saja mereka tidak ada.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD