Episode 4

1701 Words
Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 1.55 siang ketika aku baru mau melanjutkan makan rotiku yang tertunda tadi. Baru kugigit sesuap dan belum sempat kukunyah, kembali George dan Josie mendekat. “Sudah, kau makan saja, Daphne. Aku yang akan mengurus mereka.” Jack dengan cepat segera berdiri lalu dihalanginya George dan Josie untuk tidak menggangguku. “Kalian sebaiknya segera pergi. Aku sudah menghubungi pihak security Central Park untuk mengusir, bahkan menangkap kalian kalau kalian masih saja terus mengganggu kami, terutama Daphne.” Dengan tatapan penuh kebencian, George segera berteriak. “Kamu akan menyesal, Daphne. Camkan kata-kataku. Laki-laki ini akan segera bosan denganmu, lalu mencampakkanmu. Saat itu, kamu akan mengemis untuk kembali padaku.” “Sudah cukup! Tidak malu bicara begitu? Terimalah kekalahan dengan besar hati, Bung.” “Apa yang membuatmu tertarik pada Daphne? Dia memang manis dan penurut, tapi membosankan.” Jack segera meninju wajah George. Bunyi krak terdengar sesudahnya. “b******k! Kamu mematahkan hidungku! Akan kutuntut kamu!” Josie tergopoh-gopoh mengeluarkan tissue untuk menghentikan darah yang keluar dari hidung George. “Ayo kita ke rumah sakit.” Tepat saat itu pihak security tiba. Jack segera melambai, lalu melapor. “Mereka terus mengganggu kami, terutama teman wanitaku. Walau sudah berkali-kali diminta untuk pergi, mereka terus berkeras di sini. Tadi laki-laki ini menghina teman wanitaku. Jadi kutinju dia.” Dua orang pihak keamanan yang datang segera mencatat pengaduan dari Jack. “Baik, Pak, laporan ini kami terima. Kami akan menanyai dua orang yang Anda laporkan dulu.” “Bohong, Pak. Kami tidak mengganggu siapa-siapa. Ini tempat umum. Siapa pun boleh berada di sini.” “Benar, Pak. Di sini memang tempat umum. Anda berdua berhak berada di sini, tetapi adanya pengaduan ini menunjukkan keberadaan Anda berdua telah mengganggu pihak lain. Tolong kerjasamanya untuk pindah dari lokasi ini ke tempat lain. Central Park sangat luas. Anda bisa memilih lokasi lain. Mari kami temani untuk ke lokasi lain,” sahut petugas keamanan tersebut. Dihadapkan dengan petugas keamanan yang menangani dengan sopan tapi tegas, George tidak berkutik. Akhirnya dia dan Josie meninggalkan lokasi itu diiringi seorang petugas keamanan. Jack segera menyalami seorang petugas yang masih tinggal. “Terima kasih atas bantuannya, Pak.” “Tidak masalah, Pak. Sudah tugas kami. Selamat menikmati makan siang. Maaf atas ketidaknyamanannya.” Jack mengangguk. Saat berbalik ke daerah piknik kami, saat itu gerhana matahari mulai terjadi. “Daphne, lihat! Gerhana matahari!” Karena keributan barusan, aku jadi lupa dengan gerhana matahari yang kami sudah tunggu-tunggu. Dengan cepat kuambil kotak berisi dua kacamata hitam. Kuserahkan yang satu ke Jack, sedangkan yang satu lagi kupakai. Tepat saat itu, bulan mulai bergerak perlahan-lahan untuk menutupi matahari. Saat itu sekitar pukul 2.10 siang. Bulan sudah bergerak menutupi matahari. Kami memperhatikan itu dengan takjub. Saat menyaksikan fenomena alam itu, tiba-tiba aku teringat dengan perkataan George dan Josie barusan, tentang diriku yang katanya membosankan, tentang Josie yang akan segera mempunyai anak. Juga tentang perkataan dan tindakan Jack yang bisa disalahpahami bahwa dia sedang mendekatiku. Segera aku menggeleng. Tidak mungkin. Kalau memang Jack tertarik padaku, kenapa baru sekarang? Tiba-tiba aku teringat sebelum George datang, Jack sepertinya mau menciumku. Apa itu benar? Kalaupun benar, apa jangan-jangan itu hanya kasihan dan ingin menghiburku saja? Semestinya begitu. Mendadak perasaan sedih dan merana memenuhi pikiranku. Seandainya saja ini semua tidak terjadi. Seandainya bisa berada di situasi lain, tidak seperti ini. Di mana saja, asal tidak usah mengalami hal-hal yang menyakitkan ini. Juga tidak usah menerima belas kasihan dari Jack. Saat itu, mendadak Jack menyentuh lengan kiriku. “Daphne, lihat!” “Apa?” “Itu, liontin kalungmu tiba-tiba bercahaya. Apa ada semacam lampu di dalamnya?” Mendengar pertanyaan Jack, kupegang liontin kalungku. Benar kata Jack, liontin kalungku menyala terang. Hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Kubuka tutup jam itu, lalu cahaya itu semakin terang. Kulihat jarum jamnya berputar berlawanan arah jarum jam normal. “Ke-kenapa begini?” “Ada apa, Daphne?” “Jarum jamnya berputar berlawanan arah seharusnya. Ini sangat aneh! Liontin kalungku ini memang adalah jam antik peninggalan nenekku. Nenekku mendapatkannya dari neneknya. Jadi sepertinya ini pemberian yang turun-temurun dari generasi ke generasi. Walaupun begitu, hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.” Jack mendekatiku. “Boleh kulihat?” “Tentu.” Kulepaskan kalungku, lalu kutunjukkan jam itu ke arah Jack. Jam itu masih tetap bersinar terang. “Belum pernah kulihat jam seperti ini. Menarik sekali. Kau harus menyimpannya baik-baik, Daphne.” Aku mengangguk. Sesudah itu, Jack menutup jam berbentuk liontin itu, lalu menyerahkannya kembali kepadaku. “Apa boleh kubantu pakaikan?” Aku tertegun beberapa saat sebelum menjawab. “Tentu.” Jack berjalan ke belakangku, lalu memakaikan kalung itu ke leherku. Liontin jamnya yang terasa dingin di kulitku serasa menyengat. Jack lalu kembali duduk di sebelahku. Sesudah menarik bahuku dengan lembut supaya berhadapan dengannya, kembali Jack menatapku, kemudian perlahan-lahan mendekatkan wajahnya. Ketika kami sudah sangat dekat, mendadak aku tersadar. Dengan cepat aku memalingkan kepala. Jack yang tidak menyangka jadi mengecup pipiku. “Daphne?” Aku tidak berani menatapnya. Jadi aku hanya melihat ke sebelahnya. Takut akan melihat rasa kasihan di sana. Sesudah itu sambil memejamkan mata, aku berharap bisa segera pergi dari sini. Tidak perlu lagi menerima belas kasihan dari Jack. Terdengar helaan napas Jack. “Begitu ternyata,” gumamnya. Sesudah itu terdengar nada suaranya yang biasa. “Ayo makan lagi, Daphne.” Kubuka mataku sambil memaksakan senyum kecil. “Ya, Jack. Mari kita makan.” Segera kusanggul kembali rambutku. Untunglah aku selalu membawa ikat rambut lebih di saku baju. Sesudah itu kami makan dalam hening. Suasana menyenangkan sebelum kedatangan George dan Josie hilang sudah. Sekitar pukul 2.45 kami akhirnya selesai makan. Sesudah selesai makan, Jack menelepon pihak restoran untuk membereskan perlengkapan piknik. Sesudah membayar karena tambahan waktu dari standar dua jam yang diberikan oleh pihak restoran, kami berjalan ke arah tempat parkir. “Maaf jadi merusak waktu piknik kita,” gumamku. “Hei, tidak usah minta maaf. George dan Josie bukanlah tanggung jawabmu. Aku senang piknik denganmu,” ucapnya dengan lembut. “Terima kasih, Jack. Aku juga senang sekali piknik denganmu.” “Bagaimana dengan tawaranku tadi? Mau makan malam denganku Sabtu ini atau Sabtu depan?” Aku menatapnya beberapa saat, mencari-cari tanda belas kasihan. “Kenapa kau mengajakku makan malam?” “Memangnya tidak boleh?” tukasnya cepat. “Ya, boleh, sih….” “Tapi?” “Aku hanya…..” “Hanya apa?” desak Jack lagi. Saat itu kami sudah tiba di tempat parkir. “Mana mobilmu?” Jack tersenyum. “Mengalihkan perhatian supaya tidak usah menjawab, ya?” Aku gelagapan dikonfrontasi begitu. “Bu-bukan begitu….” “Jadi?” tanyanya lagi sambil bersedekap dan menatapku dengan intens. Mata birunya seperti menyiratkan tawa. Kehangatan sorot matanya membuatku lebih nyaman. “Hanya heran saja. Apa aku proyek amalmu yang berikutnya?” “Proyek amal? Apa maksudmu?’ “Ya, sesuatu yang kau dukung, seperti misalnya yang dilakukan perusahaan kita tahun lalu untuk membiayai kursi roda untuk sepuluh anak SMP, atau beasiswa untuk anak staf di perusahaan kita.” Jack mengerutkan keningnya. “Aku masih tidak mengerti. Kenapa kau berpikir bahwa aku menganggapmu sebagai proyek amalku yang berikutnya?” “Karena sejak mendengar masalahku, apalagi barusan sesudah bertemu dengan George dan Josie, kau jadi terlalu baik.” Jack terbahak-bahak mendengar penjelasanku. Saat itu kami sudah tiba di samping mobilnya. Jack membukakan pintu mobil untukku. Sesudah kami masuk, dia tidak langsung menjalankan mobilnya, malah menatapku berlama-lama. Kembali dia mengulurkan tangannya untuk menyelipkan helai-helai rambutku yang terlepas dari sanggulnya. “Kau bukan proyek amalku yang berikutnya atau kapan pun. Nanti juga kau akan mengerti alasannya.” Sesudah itu, dia tersenyum lembut padaku, membuatku jadi salah tingkah. Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, aku terus bertanya-tanya dalam hati. Kalau memang Jack bukan menganggapku proyek amal berikutnya, lantas apa ini hanya kebaikannya? Tapi kalau benar begitu, kenapa rasanya lebih dari itu? Begitu sampai di tempat parkir, Jack menghentikan mobilnya. “Daphne, aku belum mendapat jawabanmu.” “Tentang hal apa?” “Jadi kita makan bersama Sabtu ini atau Sabtu depan?” “Oh, yang itu. Baiklah, kalau memang kau mau, Sabtu depan saja, bagaimana?” “Oke, jadi, ya. Akan kujemput pukul 6 malam. Kasual atau formal?” “Karena kau yang mengajak, aku akan ikut maumu.” “Nanti aku kabari sesudah memilih tempatnya.” Segera aku mengangguk. “Terima kasih sudah menghiburku dan mengajakku makan. Aku sangat menghargainya, Jack.” “Sama-sama. Aku senang melakukannya.” Sesudah itu kami kembali ke kantor dan bekerja seperti biasa. Aku kembali sibuk membereskan berbagai dokumen yang diperlukan untuk mengurus perizinan ekspor. Jennifer sudah mengirimkan banyak dokumen untuk diperiksa dan ditandatangani oleh Jack. Sementara sejumlah data yang diperlukan untuk kelengkapan pengiriman dokumen juga harus disiapkan. Belum lagi aku harus mempersiapkan materi presentasi yang akan dibawakan Jack minggu depan, menghubungi pihak pelabuhan untuk memastikan pengapalan barang sudah berjalan dengan baik, juga memberitahu pihak importir di China bahwa microchip yang mereka pesan sudah dalam perjalanan. Sepanjang hari itu, pikiranku tidak sempat memikirkan masalah George, Josie, atau Jack. Pukul tujuh malam, akhirnya semua pekerjaanku selesai juga. Begitu bersiap-siap mau pulang, kulihat Jack baru keluar dari ruangannya. “Hai, Bos, baru mau pulang?” “Ya, kau juga? Ayo pulang sama-sama.” Aku mengangguk, lalu berjalan bersamanya ke arah elevator menuju tempat parkir. Sesampai di tempat parkir, kembali Jack membukakan pintu mobilnya untukku. Sesudah masuk, dia memutar satu lagu Adele, To Make You Feel My Love. “Tumben? Biasanya seleramu bukan lagu-lagu Adele,” celetukku mendengar irama lagu itu. Dia tidak menjawab hanya tersenyum kecil. Sepanjang jalan kami hanya berdiam diri. Sesudah seharian bekerja, terutama sesudah perdebatan dengan George, aku terlalu lelah untuk percakapan ringan. Begitu sampai di depan apartemenku, Jack segera turun, lalu kembali membukakan pintu mobilnya. Begitu keluar, dia segera mengantarku ke depan apartemen. “Apa mau minum dulu, Jack?” “Tidak, aku hanya mau memastikan kau masuk ke apartemen. Oh, ya, karena kau bilang akan pindah, bagaimana kalau sementara mencari apartemen, kau tinggal dulu di tempatku?” “Itu nanti akan sangat merepotkanmu. Tidak usah, Jack, terima kasih.” “Tidak repot sama sekali. Kamar di tempatku ada dua. Kamu bisa pakai yang satu. Biasa itu untuk tamu yang berkunjung, orang tuaku atau Jeanne,” tuturnya menjelaskan. Jeanne adalah adik Jack. “Baiklah, hanya sampai aku mendapatkan apartemen baru. Terima kasih banyak, Jack.” “Mau pindah sekarang? Aku akan membantumu mengangkut barang-barangmu sekarang.” “Ah, ide yang bagus. Lebih cepat pindah, lebih cepat aku tidak usah berurusan dan bertemu dengan Josie dan George lagi. Terima kasih banyak, Jack.” Jack mengikutiku masuk ke apartemen. Semalam memang aku sudah membereskan barang-barangku supaya bisa segera pindah. Josie juga tidak pulang ke apartemen semalam. Jadi membuatku lebih leluasa untuk membereskan barangku, juga menangis.... “Duduk dulu, Jack. Mau minum apa? Jus apel, soft drink, atau air mineral?” “Tidak usah, nanti aku minum di apartemenku saja. Mana barang-barangmu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD