Chapter 1

1283 Words
Lembayung di senja hari. Aku sembunyikan kisahku di sana. Pasti akan dibawanya dalam gelap yang dalam. Dan aku terlindung. *** Ruang IGD (Instalasi Gawat darurat) sudah tak terlalu ramai seperti sebelumnya. Masih ada pasien berdatangan dengan segala keluhannya, tetapi semua tertangani oleh para dokter umum dibantu beberapa koas. Di ruang tindakan bedah, terlihat wajah-wajah tegang yang mengelilingi seorang pasien. Namun hanya satu yang terlihat datar. Ia adalah dokter yang memimpin operasi. Jari-jemari tangannya lincah dengan alat-alat bedah yang disediakan. Setiap kali ia menyebutkan salah satu alat, seorang perawat di sebelah, sigap memberikan. "Bisa tutup?" tanyanya dengan masih berkutat atas tubuh pasien. Suaranya lembut khas wanita, tetapi tanpa nada. Semua petugas medis di ruangan bedah, saling berpandangan karena tidak tahu ditujukan pada siapa. Sampai kemudian tatapan tertuju pada kedua koas yang berdiri berseberangan dari dokter bedah. Sepasang koas perempuan dan laki-laki saling berpandangan. Tatapan keduanya saling menunjuk. Walaupun hanya 'menjahit', tapi ini adalah pertama kalinya. Keduanya memang sudah mendapatkan teori, sedangkan praktek, hanya dilakukan terhadap mayat. Jadi, praktis ini adalah pengalaman pertama, ada nyawa hidup yang ditanggung. Kesalahan sedikit saja, fatal akibatnya. Dokter bedah menghentikan kegiatannya, ia menatap tajam pada dua koas yang masih saling tunjuk dengan isyarat tubuh. "Keluar kalau tidak bisa," ujarnya dingin, membuat kedua koas bergidik. "Saya siap, Dok," ujar koas laki-laki dengan lesu juga terpaksa. "Ranti! Bantu Sapta." Kemudian dokter bedah itu minggir dan memberikan ruang bagi Sapta yang sudah mengajukan diri. Kegugupan terpapar nyata saat Sapta bersuara meminta salah satu instrumen bedah. Wajar jika Sapta gugup, untuk banyak alasan, ia sangat tak nyaman dengan cara mengawasi sang dokter bedah. "Perhatikan needle-mu!" tegas dokter bedah. Sapta hanya mengangguk saja, bulir keringat mulai keluar dan perawat di sebelahnya menyeka agar keringat tak sampai jatuh. Hati-hati Sapta menempatkan needle ke needle holder. "Jari telunjukmu letakkan pada titik istirahat instrumen." Lagi dokter bedah mengarahkan yang masih dipatuhi Sapta. Selanjutnya Sapta bergulat dengan jahitan. Selang beberapa waktu, terlihat Sapta sudah menyimpulkan jahitan. Kembali dokter bedah maju dan mengamati hasil jahitan Sapta. "Oke." Napas-napas lega terdengar bersamaan, seiring berlalunya dokter bedah keluar dari ruang operasi. Si dokter bedah mencuci tangannya di scrub station. Ia terlihat serius. Setiap celah jemari, disikatnya dengan hati-hati. Tak berapa lama, Sapta dan Ranti menyusul mencuci tangan di scrub station. "Jangan pernah takut memulai. Kalau tak siap, mundur saja jadi dokter." Dokter bedah terlihat sudah selesai mencuci tangannya. Ia melepaskan masker wajahnya. Sapta dan Ranti terpesona. Dokter bedah di IGD memang terkenal akan kecantikannya. Sayangnya, ia tak pernah punya senyum. Sikapnya terlalu dingin dan kata-kata yang keluar seringkali sinis. Wajahnya seperti anak-anak, putih, dan bersih. Bibirnya mungil berwarna natural tanpa polesan lipstick. Matanya bulat dengan bulu mata yang lentik. Andai penutup kepala dilepas, dan rambut terurai, maka dokter bedah akan terlihat seperti boneka. Dokter bedah keluar dan disambut keluarga pasien. Hanya kepada pasien dan keluarganya, sang dokter memberikan senyuman ramah. Dengan sabar, ia menjelaskan seberapa parah dan bagaimana hasil operasinya. Kali ini, sang dokter mendapatkan limpaham ucapan terima kasih dan syukur dari keluarga pasien. Dokter bedah melanjutkan langkahnya menuju meja perawat dan disambut perawat senior bernama Anis yang menyerahkan formulir untuk ditandatangani. "Gak pulang, Dok?" tanya Anis. "Hmm...." Dokter bedah hanya menggumam dan mengangguk-anggukan kepala, sembari masih membaca lembaran-lembaran kertas di hadapannya. "Dokter Anwar sudah datang dari tadi. Bedah sudah ada yang jaga." "Hmm...." Dokter bedah kemudian membubuhkan tanda tangannya dan berlalu. Perawat Anis bergegas membuntuti dan menyejajarkan langkahnya dengan dokter bedah. Sesampainya di dalam ruangan dokter bedah, perawat Anis menutup pintu dan mengambil s**u coklat dingin yang tadi dibuatnya dari dalam kulkas dingin. "Minumlah, Yonna." Kayonna, sang dokter bedah menyesap s**u dingin yang disuguhkan. Sedangkan perawat Anis mengamati dengan sayang. Ada kisah di masa lalu yang membuatnya menyayangi Yonna bagaikan putrinya sendiri. Ia merasa berhutang banyak pada dokter cantik tersebut. Selain itu, Anis tak mau Yonna akan mengalami apa yang putrinya alami, karenanya Anis selalu berada di sisi Yonna. "Kalau susunya sudah habis, pulanglah," pinta Anis sembari melipat jas dokter Kayonna. "Sudah malam," jawab Kayonna sambil lalu dan tetap menikmati s**u dinginnya. "Masih jam sepuluh, jangan cari alasan." "Kalau diculik?" "Yang menculikmu sia-sia." "Hmm...." Wajar jika Anis tak terlalu mengkhawatirkan kemampuan Kayonna menjaga diri. Yonna sendiri memegang sabuk hitam di karate dan merah di Judo. Begitu saja, bagi pria yang tahu, akan otomatis undur diri. "Yonna, aku tahu kamu sangat mampu berjaga sebagai dokter. Tapi, kamu ini manusia, kalau kamu begini terus, kamu bisa mati." "Mati.... Kalau sudah waktunya, ya mati aja." "Yonna!" bentak Anis, membuat perhatian Yonna teralihkan dari s**u dinginya. Mata Anis menatap tajam Yonna dan Yonna tahu ia sudah salah. "Maaf," ujar Yonna masygul. "Aku pulang kalau susunya habis." Senyum tipis tergores di wajah Anis. "Cepat habiskan," perintah Anis lembut. Anis kemudian keluar dari ruangan Yonna. Yonna memutar-mutar gelasnya, menimbang-nimbang keputusannya untuk pulang. Enggan baginya pulang ke rumah yang bukan rumahnya. Namun jika tak pulang, dirinya tak enak hati dengan Anis yang begitu perhatian. Segera diteguk habis susunya. Dengan menghela napas, Yonna menuju ke lemari dan mengambil tas ransel juga sepatu Converse. Setelah mengganti sandal rumah sakit dengan sepatu, Yonna mematikan lampu ruangannya. Membiarkan sesaat dirinya dipeluk kegelapan untuk kemudian keluar menuju terang yang membuat Yonna malas. *** Saga meregangkan tubuhnya yang penat. Selama dua puluh jam lebih lamanya, ia duduk tenang di dalam burung besi yang membawanya melayang pulang ke rumah. Perjalanan pulang yang terpaksa. Saga mengedarkan pandangannya. Rumahnya masih sama, hanya sedikit saja perubahan. Tamannya terlihat semakin mewah dengan tambahan ornamen-ornamen cantik. Kini ada kolam dengan pancuran yang terletak tepat di tengah taman. Setidaknya rumahnya kini terlihat lebih manis daripada saat dulu ia pergi. "Welcome home," ujar Rayhan sembari merangkul pundak Saga dengan tertawa kecil. Rayhan adalah tetangga, teman sekolah sekaligus adalah sahabat Saga. Keluarga Rayhan adalah juga sahabat keluarga Saga. Walaupun kemudian Saga dan Rayhan berpisah jarak untuk banyak waktu, tetapi kedekatan keduanya masih terjalin baik, di mana Rayhan lebih sering mengunjungi Saga di London. Salim dan Aji muncul. Keduanya terlihat senang dengan kedatangan Saga. Percakapan kecil terjadi antara Saga dan kedua abdinya. Setelahnya Salim dan Aji bergegas menurunkan tas dan koper Saga dari bagasi mobil Rayhan Perhatian Saga teralihkan ke arah gerbang rumah. Seseorang melangkah masuk dengan santai. Ia mengenakan jaket ditutup rapat dan hoodie yang bertengger di kepala. Kedua tangannya masuk ke dalam saku jaket dan kepalanya menunduk, membuat Saga penasaran akan wajah si tamu misterius. "Yonna!" seru Rayhan, mengejutkan Saga yang sedang konsentrasi. Saga kembali memperhatikan tamu misterius yang disapa dengan nama Yonna. Jantung Saga mendadak berdegup keras. Perasaannya campur aduk, penuh akan rasa ingin tahu. Semuanya tiba-tiba melambat, ketika Kayonna mengangkat kepala. Yonna menghentikan langkah dan menatap lurus pada dua pria di hadapannya. Tak ada senyum, karena Yonna merasa tak perlu tersenyum. Ia hanya menatap sekilas Rayhan dan segera beralih pada sosok pria yang berdiri mematung di sebelah Rayhan. Yonna dan Saga saling berpandangan, menjajaki satu dengan lainnya. Mencari-cari kemungkinan adanya kedekatan, tetapi kemudian Yonna mengembuskan napas perlahan. Ia kenal siapa laki-laki itu. Namun ia merasa tak perlu menyapa atau pun bertanya kabar. Yonna melanjutkan langkahnya dan semakin dekat. "Gak jaga?" tanya Rayhan yang lagi-lagi membuat langkah Yonna terhenti. Kini jarak antara Yonna dengan Saga dan Rayhan hanya beberapa langkah. Cukup bagi Saga untuk dapat melihat wajah Yonna yang masih dinaungi hoodie. Saga terkesima sekaligus terpesona. Kayonna begitu cantik dengan alis mata yang hitam natural dan rapi. Dari semuanya, Saga penasaran akan gelapnya warna mata Yonna. Ia seolah terseret masuk dalam misterinya. "Gak," jawab Yonna, singkat. Matanya bergerak menatap tepat ke mata Saga. Membuat Saga menjengkit karena terkejut. "Kenapa? Kok oleng. Perasaan sudah makan," tanya Rayhan yang kebingungan mendapati reaksi aneh Saga. "Its oke." Saga menjawab cepat. Kembali Saga menata diri. Melihat sikap dingin Yonna, Saga pun tak mau kalah. Ia tak berniat menyapa Yonna. Tanpa ba-bi-bu lagi, Yonna melanjutkan langkahnya, melewati kedua pria menawan tanpa ekspresi. Saga melongo tak percaya, bagaimana bisa ada seorang gadis sebegitu tidak acuhnya? Selama ini, tak ada siapa pun wanita mengabaikan dirinya juga Rayhan. "Brrr..., dingin." Rayhan berpura-pura menggigil sembari memandang punggung Yonna. Saga geli melihat sahabatnya yang mendeskripsikan Yonna dengan tepat. Dengan senyum simpul, Saga melanjutkan langkahnya dan masuk ke dalam rumah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD