Chapter 2

727 Words
Aku pulang karena angin mengabarkan masa lalu. *** Suganda menikmati sarapan paginya ditemani Salim yang berdiri tak jauh darinya. Suganda selalu sendirian saat makan. Sesekali saja cucu perempuannya ikut menemani. Sesekali juga ada acara makan malam bersama. Hanya sesekali yang berjarak waktu lama. Awalnya Suganda tak ambil pusing dengan kesenyapan yang tiba-tiba. Ia sendiri sedang bermasalah dengan emosinya dan melampiaskan pada pekerjaan. Akan tetapi, bertambahnya umur, melemahnya fisik, membuat Suganda menjadi melankolis. Ia merindukan kebersamaan. "Pagi, Kek," sapa Saga yang masih mengenakan baju olahraga warna hitam. Saga mengambil gelas dan menuangkan jus jeruk ke dalam gelasnya sendiri. "Lari ke mana saja?" tanya Suganda dengan senyum lebar. Akhirnya, cucu laki-laki yang menjadi harapan, sudah pulang. "Sini saja." "Apartemenmu sudah kosong?" "Saya hanya sementara." Gurat kecewa terpapar di wajah Suganda. Ia tak suka dengan jawaban Saga juga sikap Saga yang tak acuh. Suganda menghela napas dan kembali melanjutkan makannya. "Kalau kayak gitu, ngapain pulang?" Saga menatap kakeknya yang menua. Suganda tak sekekar dulu. Tubuhny lebih kurus dari yang terakhir Saga ingat. Tubuh Suganda juga sudah mulai membungkuk, seolah di punggungnya tertumpuk beban berat. Saga mengenang Suganda sebagai sosok kakek yang hangat, selalu tertawa dan selalu menuruti semua mau Saga. Hanya ada satu permintaan yang tidak dipenuhi oleh Suganda dan itu menjadi awal retaknya hubungan antara cucu dengan kakeknya. "Saya di sini hanya sampai Papa bisa kembali menduduki posisinya," ucap Suganda. "Hhh..., laki-laki g****k. Laki-laki lemah. Apa yang bisa diperbuatnya selain senang-senang entah di mana?" sahut Suganda dengan nada kesal. "Laki-laki itu masih Papa saya dan laki-laki itu juga putra satu-satunya Kakek." "Saya masih ingat," gerutu Suganda yang merasa dirinya sedang digurui oleh sang cucu kesayangan. "Kapan kamu akan menemui Erwin?" "Nanti jam sepuluh. Tadi saya sudah menelpon Pak Erwin." "Pelajari baik-baik. Sebentar lagi akan ada rapat dewan direksi." "Ingat ya, Kek, saya hanya sementara." Suganda diam saja, hatinya semakin kesal dengan penolakan Saga. Suganda menaruh banyak harapan pada cucunya itu. Dibandingkan putranya, Suganda justru ingin mewariskan semua hanya pada Saga. Namun ia yakin, Saga akan menolaknya. Setelah menghabiskan selembar roti, Saga ijin meninggalkan ruang makan terlebih dahulu. Ia tak langsung menuju kamar, melainkan keluar menuju halaman belakang. Halaman belakang memang sangat luas, tapi tidak ada kolam renang. Suganda tidak suka. Banyak pepohonan, banyak ornamen, menyejukkan. Saga merindukan halaman belakang rumahnya, terutama rumah pohonnya. Bergegas Saga melangkah ke sisi lain, dimana terlihat pohon akasia tua yang masih kokoh berdiri. Saga tersenyum girang, rumah pohonnya masih ada. Tangga kayunya pun masih terpaku kuat. Dengan semangat, Saga mencoba naik. Namun, baru satu kaki dipijak, pandangannya terpaku pada sudut lain halamannya. Di sana ada gudang tua yang sudah hancur dan dibiarkan tetap begitu adanya. Seolah itu adalah monumen yang wajib untuk dikenang. Kontras, dengan yang ada di sebelahnya persis, ada bangunan yang ukurannya serupa dengan gudang hancur. Warna bangunannya, jendelanya, pintunya, persis sama dengan gudang yang Saga ingat—sebelum hancur. Itu replika. Menyadari hal itu, Saga tercekat. Perlahan Saga berjalan mendekati tempat yang sama sekali tak ingin di dekatinya. Akan tetapi ia penasaran akan replika gudang yang berdiri kokoh tepat di sebelah gudang yang hancur. Saga mengamati gudang baru itu dengan seksama. Dalam hati, ia bertanya-tanya, untuk apa orang tuanya membangun replika gudang lama. Bukankah lebih masuk akal membangun saja lagi dari puing-puingnya. Bukankah membiarkan saja puing-puing gudang lama, hanya membuka luka yang sudah mulai sembuh? Saga benar-benar tak habis pikir. Sesaat setelah mengamati utuh replika gudang lama, pandangan Saga terpaku pada jendela kacanya. Bias matahari, memberikan efek aneh pada kaca jendela itu. Bayangan dari dalam, tak terlihat sempurna. Saga mendekat perlahan-lahan sembari memicingkan mata, mencoba menajamkan tangkapan pupilnya. Semakin dekat, Saga semakin yakin jika bayangan itu bergerak. Karena penasaran berlebih, Saga menempelkan kepalanya ke kaca jendela dan ia terkejut. Wajah Saga memerah. Untuk beberapa saat ia masih menatap jendela dengan tatapan tajam dan kemudian berbalik, meninggalkan rumah replika gudang lama. Sial! Sial! g****k! umpat Saga dalam hati. Saga melangkah cepat dan menggaruk-garuk kepalanya kesal. Lelaki tinggi itu sedang merasa sangat malu. Ia tak hentinya memaki diri sendiri. Rasa malu itu, membuat dadanya bergemuruh tak beraturan. Saga benar-benar berharap dirinya bisa kembali ke London detik itu juga. Sedangkan di dalam rumah replika gudang lama, Kayonna diam menatap kepergian Saga. Tangannya yang satu di dalam saku dan satunya lagi memegang secangkir teh hangat. Tak ada ekspresi apa pun. Tak ada juga pertanyaan dalam hati, kenapa Saga harus mengintip ke dalam rumah. Seolah apa yang baru saja terjadi adalah hal biasa. Kayonna berbalik, ia harus segera mandi dan kembali ke rumah sakit. Di letakkannya cangkir teh disebelah boneka Snoppy, di atas meja makan bulat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD