"Kenneth! kapan kau datang?" Calvin meninggalkan meja kerjanya dan melangkah menuju ke seorang pria yang baru saja memasuki ruangannya. Wajahnya terlihat begitu bahagia.
Kenneth tersenyum hangat. "Apa aku datang di saat yang tidak tepat, Kak?" Kenneth melihat ke tumpukan berkas yang ada di meja kerja kakaknya.
"Oh, tidak, Ken. Kau tidak mengganggu sama sekali." Calvin membuka kedua tangannya lebar, lalu memeluk adiknya yang jarang ia lihat. "Sudah lama kita tidak bertemu, Kakak merindukanmu."
Kenneth membalas pelukan Calvin. "Ayolah, kita baru bertemu dua bulan lalu." Kenneth melepaskan pelukannya.
"Dua bulan? Kenapa rasanya seperti sudah 2 tahun, ya?" gurau Calvin. Ia duduk di sofa begitu juga dengan Kenneth.
"Aku turut berduka atas kematian istrimu, Kak." Kalimat belasungkawa dari Kenneth membuat senyum di wajah Calvin memudar. Pria itu kini memasang wajah kehilangan bercampur kecewa. "Semua pasti terasa berat bagimu."
"Tidak ada kehilangan yang terasa mudah, Ken. Meski dia mengkhianatiku, dia tetap istri yang aku sayangi." Calvin terlihat begitu sedih seakan ia benar-benar merasa kehilangan.
Kenneth mengetahui benar bagaimana beratnya kehilangan. Akan tetapi, Kenneth merasa ragu tentang ucapan Calvin barusan. Kenneth bukannya berburuk sangka, hanya saja ia tahu sejak awal Calvin tidak pernah mencintai Aletta. Ketika pertama kali Calvin tahu bahwa dirinya akan dijodohkan, Calvin menolak mentah-mentah. Entah untuk alasan apa Calvin berubah pikiran dan mau menikah dengan Aletta yang bukan tipe Calvin.
"Kau benar-benar yakin Aletta berselingkuh?" Kenneth menatap kakaknya serius.
Calvin tidak mengerti kenapa adiknya menanyakan hal ini. Bukankah bukti-bukti yang ada telah menjelaskan bahwa Aletta berselingkuh. Seharusnya tidak ada satu orangpun yang meragukan kebohongan yang ia buat.
"Aku sudah menemui pria itu sendiri, dan ia mengatakan bahwa dia memang menjalin hubungan dengan Aletta. Kenapa? Ah, mungkin kau tidak yakin karena Aletta terlihat begitu lugu. Aku juga enggan percaya, tapi bukti dan pernyataan selingkuhan Aletta menjelaskan segalanya." Calvin mencoba meyakinkan Kenneth. Sorot matanya terlihat begitu terpukul saat membuka tentang perselingkuhan Aletta yang hanyalah bualannya saja.
Kenneth masih tidak percaya bahwa Aletta berselingkuh. Akan tetapi, ia mulai termakan sandiwara Calvin. Tampaknya di sini kakaknya juga korban yang termakan bukti-bukti itu.
"Sudahlah. Tidak perlu membahas hal itu lagi. Aku ingin Aletta tenang di atas sana." Calvin segera mengalihkan pembicaraan. "Jadi, kenapa kau kembali ke negara ini setelah 7 tahun fokus pada penelitianmu di luar negeri? Kau bahkan tidak kembali saat kakak iparmu di makamkan."
Kembali saat Aletta di makamkan? Kenneth meringis tertahan. Mungkin jika ia ada di pemakaman Aletta, ia tidak akan membiarkan tubuh Aletta terkubur di tanah. "Aku memutuskan untuk mengambil tawaran bekerja di rumah sakit Peterson."
Calvin terlihat bahagia. "Harusnya kau mengambil tawaran ini sejak dulu, Ken."
Kenneth tersenyum kecil. Jika bukan karena ingin menyelidiki tentang kematian Aletta, maka ia tak akan kembali, setidaknya sampai ia benar-benar bisa melupakan Aletta.
"Aku baru menyelesaikan penelitianku, jadi tidak ada alasan bagiku untuk menolak kali ini." Kenneth tidak sepenuhnya berbohong. Penelitiannya memang baru saja selesai. Ia telah menemukan obat untuk penyakit kanker. Obat yang ia beri nama AE. Kenneth sendiri berprofesi sebagai dokter spesialis onkologi.
"Apapun itu baguslah. Kita akan lebih sering bertemu," sahut Calvin.
Ditengah pembicaraan Calvin dan Kenneth, pintu ruangan Calvin terbuka. Atensi Calvin beralih ke pintu ruangannya, jantungnya berdetak cemas saat melihat Briella yang datang, tapi ia mencoba untuk terlihat tetap tenang. Ia tidak ingin Kenneth mengetahui hubungannya dengan Briella.
"Briella?" Kenneth mengerutkan keningnya.
"Ken?" Briella terlihat sedikit terkejut. "Kau kembali."
"Apa yang kau lakukan di tempat kakakku?" tanya Kenneth.
Briella melirik Calvin sejenak, berpikir apa yang harus ia katakan pada Kenneth. "Aku ke sini untuk menjemput Meisie."
"Meisie?" Kenneth kini beralih ke Calvin.
"Sejak kematian Aletta, Briella yang sesekali menjaga Meisie." Calvin mencoba membuat alibi Briella menjadi lebih kuat.
"Meisie tidak ikut ke kantor bersamaku. Dia ada di rumah." Calvin beralih ke Briella.
"Ah, baiklah, kalau begitu aku akan ke rumahmu," balas Briella. "Kalau begitu aku pamit, Calvin, Kenneth."
"Ya, hati-hati." Calvin menanggapi Briella, sementara Kenneth hanya diam saja. Kenneth tidak begitu dekat dengan Briella meski ia sudah mengenal Briella cukup lama.
"Kalau begitu aku juga pamit, Kak. Aku harus ke rumah sakit, ini hari pertama aku bekerja."
"Kau baru kembali dan sudah langsung bekerja? Kau tidak berubah, Ken."
"Sebenarnya aku sudah kembali dari kemarin. Aku baru bisa mengunjungimu hari ini karena urusan di rumah sakit."
Calvin tampak kecewa. "Ah, kau mengesampingkan kakakmu rupanya."
"Kau tahu bukan itu maksudku," sahut Kenneth.
Calvin tertawa kecil. "Ya, ya, aku tahu. Aku hanya bercanda. Kau masih saja serius seperti dulu."
Kenneth berdecih sembari tersenyum. "Aku akan mengunjungimu lagi setelah pulang kerja."
"Harus. Meisie pasti senang bertemu langsung denganmu."
Kenneth berdiri dari duduknya. "Aku juga sangat ingin menemui gadis kecil itu. Dia masih menyukai boneka beruang, kan?"
"Ya. Pastikan kau benar-benar datang. Meisie akan kecewa jika kau tidak datang." Calvin juga berdiri dari duduknya, mengantar adiknya yang sudah mulai melangkah menuju ke pintu ruangan.
"Aku pergi." Kenneth membuka pintu dan pergi setelah melihat anggukan Calvin.
Kenneth masuk ke dalam lift, ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Dave, bantu aku menemukan seseorang." Kenneth menghubungi temannya. "Aku akan mengirimkan datanya padamu."
"Aku akan mengerahkan semua kemampuanku, Ken."
"Terima kasih, Dave."
***
Qyra baru saja selesai membersihkan lantai kediaman Calvin. Sekali lagi ia merasa bodoh karena memilih mengambil tanggung jawab membersihkan kediaman itu sendirian di kehidupan sebelumnya. Untuk apa ia membuat lelah dirinya dengan pekerjaan rumah padahal ia memiliki uang untuk membayar pelayan.
Lihatlah sekarang, kediaman itu bahkan memiliki 4 pelayan. Bukankah Calvin terlalu memanjakan Briella?
"Mama! Mama!" Suara isak tangis terdengar dari kamar Meisie. Naluri keibuan yang ada di dalam diri Qyra membuatnya melangkah menuju ke kamar Meisie. Ia membuka pintu itu dan menemukan Meisie menangis di atas ranjang.
Qyra menghampiri Meisie. "Kenapa Meisie menangis?"
Meisie menatap mata Qyra dengan mata polosnya yang basah. "Mama... Mama..."
Qyra meraih tubuh mungil Meisie, membawa Meisie ke dalam pelukannya. "Mama Meisie sudah meninggal, Sayang. Meisie jangan menangis nanti Mama yang ada di langit ikut sedih melihat Meisie seperti ini." Qyra ingin sekali mengatakan hal sebaliknya. Ia ingin memberitahu Meisie bahwa yang ada di depannya saat ini adalah mamanya, tapi itu tidak mungkin. Meisie akan kebingungan jika ia memberitahu Meisie akan hal itu. "Meisie tidak ingin membuat mama sedih, kan?" Qyra menatap Meisie sendu. Jenis tatapan yang sering ia berikan pada Meisie ketika ia meminta pengertian dari gadis kecilnya.
Meisie menggelengkan kepalanya. Gadis itu mencoba menghentikan tangisannya, sedang Qyra menunggu keadaan Meisie menjadi lebih tenang.
Senyuman terlihat di wajah Qyra karena Meisie yang sekarang sudah diam. Ia melepaskan pelukannya dan kembali menidurkan Meisie di atas ranjang. "Anak baik. Sekarang Meisie lanjutkan tidurnya."
"Jangan pergi." Meisie menggenggam tangan Qyra.
Qyra merapikan anak rambut Meisie. Menghapus keringat yang muncul di kening Meisie. "Bibi tidak akan pergi. Tidurlah."
Meisie menatap Qyra, mencari keyakinan dari kata-kata Qyra. Kemudian ia menutup matanya setelah bisa mempercayai ucapan Qyra.
Memandangi Meisie ketika tidur adalah salah satu hobi Qyra sejak Meisie menjadi anaknya. Ia bisa menghabiskan dua jam untuk sekedar melihat betapa lelapnya tidur Meisie. Dan saat ini Qyra sedang melakukannya. Sudah lebih dari satu minggu ia tidak melihat malaikat kecilnya seperti ini.
Pintu kamar Meisie terbuka. Qyra yang sedang menemani Meisie melihat ke arah pintu. Ia menemukan Briella yang menatapnya tidak suka.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" Briella bertanya sinis.
"Nona Meisie menangis, jadi saya di sini menemaninya." Qyra menjawab seadanya.
"Menyingkirlah dari sini. Dan jangan menyentuh Meisie sesuka hatimu. Pelayan sepertimu cukup mengerjakan pekerjaan rumah saja!"
"Baik, Nyonya." Qyra melepaskan tangan Meisie perlahan agar tidak membuat Meisie terjaga. Ia berdiri dari ranjang Meisie. "Maafkan atas kelancangan saya, Nyonya." Qyra menundukan kepalanya lalu segera pergi.
Briella mendengus kesal. Bisa-bisanya seorang pelayan seperti Qyra mencoba mendekati putrinya. Lihat saja, Briella akan memastikan hari ini adalah hari pertama dan terakhir Qyra bekerja di kediaman kekasihnya.
Qyra menutup pintu kamar Meisie pelan. Qyra ingin sekali tertawa mengejek Briella, wanita itu merendahkan pelayan, apakah Briella lupa bahwa dirinya adalah anak seorang pelayan yang kebetulan bisa menikah dengan majikannya sendiri. Ia benar-benar jijik dengan Briella, tapi ia menahan dirinya agar ia bisa bekerja di sana lebih lama. Jika ia bersikap kurang ajar di hari pertamanya bekerja, maka impiannya untuk membalas dendam akan menjadi lebih sulit.
Qyra kembali bekerja. Membersihkan setiap sudut bagian rumah yang menjadi tanggung jawabnya.
Waktu berlalu. Sekarang sudah pukul 5 sore. Jam kerja Qyra sudah habis. Qyra sudah melepaskan seragam kerjanya dan melangkah keluar rumah.
Di taman kediaman rumah itu Meisie tengah bersama Briella dan Calvin. Dua orang itu tengah membujuk Meisie untuk makan. Semenjak kematian ibuhya, Meisie menjadi sulit makan. Tubuh Meisie terlihat semakin kurus, hal ini membuat Calvin khawatir.
Bagaimanapun cara Briella dan Calvin membujuk Meisie, bibir gadis kecil itu tetap tertutup rapat. Kali ini tak ada satu sendok pun yang masuk ke perutnya.
Qyra merasa sedih melihat kondisi Meisie saat ini. Ia melangkah ke arah tiga orang yang sedang duduk di bangku taman.
"Tuan, biarkan saya mencobanya." Qyra menawarkan dirinya.
Calvin sudah kehilangan akal. Meski ia tidak percaya Qyra bisa memberi Meisie makan, tapi ia tetap menyerahkan piring yang ia pegang ke tangan Qyra.
"Nona Meisie, ayo makan." Qyra mengarahkan sendok ke mulut Meisie.
Meisie menatap Qyra kecewa. "Kenapa Bibi tidak menepati janji?"
Qyra berjongkok di depan Meisie. Ia terlihat begitu menyesal. "Maafkan bibi. Bibi harus membersihkan rumah tadi, jadi Bibi meninggalkan Nona Meisie. Ini memang salah Bibi. Bibi tidak akan mengelak."
Calvin yang mengerutkan keningnya, kini mengerti maksud dari ucapan putrinya. Tadi ia memeriksa kegiatan Meisie melalui kamera pengintai yang ia pasang di kamar Meisie. Dan ia melihat Qyra menemani Meisie tidur.
"Meisie tidak mau makan." Meisie menolak Qyra.
Briella tersenyum tipis. Ia senang karena Meisie juga menolak Qyra, si pelayan lancang.
"Meisie harus makan. Lihat, tubuh Meisie mengurus. Meisie tahu tengkorak?"
Meisie berpikir sejenak lalu menganggukan kepalanya.
"Jika Meisie tidak mau makan, maka Meisie akan seperti itu. Meisie tidak akan cantik lagi. Meisie mau?"
Meisie menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu buka mulut Meisie dan habiskan makanan ini." Qyra kembali mengarahkan sendok ke mulut Meisie.
Kali ini Qyra berhasil. Meisie memakan makanannya hingga habis. Apa yang Qyra lakukan membuat Briella jengkel setengah mati. Bagaimana bisa pelayan seperti Qyra bisa melakukannya. Sedang dirinya yang ibu kandung Meisie terus menerima penolakan. Ia bahkan sudah mengerahkan banyak cara, tapi Meisie tetap tidak mau makan.
Briella semakin ingin mendepak Qyra dari kediaman itu. Ia benci ada orang lain yang bisa mendekati putrinya sedang ia tidak. Briella menolak mengakui bahwa ia gagal mendekati putrinya sendiri.
"Qyra, mulai besok kau tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah ini lagi." Calvin bicara setelah Qyra selesai memberi Meisie minum.
Qyra menatap Calvin tercengang. Ia dipecat?
"Maksud Anda, Tuan?" Qyra bertanya pelan.
"Mulai besok bekerjalah sebagai baby sitter Meisie."
Qyra diam, sedang Briella langsung menatap Calvin terkejut. Bukan seperti ini yang ia katakan pada Calvin tadi. Ia meminta Calvin memecat Qyra, bukan malah menjadikan Qyra baby sitter putri mereka yang artinya Qyra akan semakin leluasa mendekati Meisie.
"Calvin?" Briella menatap Calvin tidak terima.
"Kau bisa, kan, bekerja seharian untuk menjaga Meisie? Kau bisa menggunakan salah satu kamar di kediaman ini." Calvin mengabaikan Briella sejenak. Ia masih bicara pada Qyra.
"Bisa, Tuan. Saya bisa." Qyra terlihat begitu senang. Ini jauh lebih baik dari menjadi pelayan.
"Calvin, kita perlu bicara." Briella meraih tangan Calvin dan membawa kekasihnya itu menjauh dari Qyra dan Meisie.
"Calvin, apa-apaan ini?" kesal Briella.
"Kita membutuhkan seseorang yang bisa menjaga Meisie. Dan sepertinya dia bisa menjaga Meisie."
"Tidak! Aku bisa menjaga Meisie."
"Kau setuju keluar dari dunia model?"
Briella diam.
"Tidak, bukan?" seru Calvin. "Dengar, Briella, aku tahu kau tidak suka Qyra bisa mendekati Meisie, tapi kau harus mengakui kita membutuhkannya. Meisie akan sakit jika terus-terusan tidak mau makan. Jadi kau tidak bisa menentang keputusanku. Qyra akan menjaga Meisie," putus Calvin.
Segala penolakan Briella tertahan di kerongkongannya. Ia hanya bisa mengumpat dalam hatinya, menyumpah serapah Qyra yang telah membuatnya terlihat tidak berguna sebagai seorang ibu.
Pelayan sialan! Aku pasti akan membuat kau ditendang dari kediaman ini! Briella bersumpah di dalam hatinya.
Tbc