“Sakit jiwa mertuamu, Syel,” umpat Radit.
“Maaf, Bu. Saya hanya ingin memperingatkan, jika Ibu berasumsi tidak jelas seperti ini dan menuduh yang tidak-tidak kepada Ibu Richelle, kami bisa membawa ini ke jalur hukum. Kami memiliki bukti kalau tak serupiah pun uang asuransi dan uang santunan dipakai oleh Ibu Richelle. Semuanya dipakai untuk membayar hutang Pak Ronald, bahkan itu juga belum cukup. Kalau Ibu tidak percaya, kami akan mengirimkan salinan kontrak hutang Pak Ronald. Selamat malam.”
Haikal mematikan sambungan telepon tersebut lebih dulu, tanpa menunggu apakah mertua Richelle masih akan berbicara tau justru masih akan menangis-nangis lagi.
Richelle mendesah panjang, mulutnya menganga. Pria macam apa yang menikahinya sebulan lebih yang lalu. Hutangnya di mana-mana, dan sekarang ia yang dituntut untuk membayar semua itu.
“Kalau orang ini menelepon lagi, gak usah dijawab!” Haikal memerintah. “Jangan percaya apapun yang diomongin, pokoknya kalau ada yang datang ke rumah ini, kamu harus cepet-cepet ngabarin aku. Jangan bertindak sendiri. Mengerti?”
Richelle menggelengkan kepalanya. “Aku gak ngerti, Kal. Aku punya salah apa sih sama mereka? Aku gak tau apa-apa dan malah ditagih ke mana-mana. Siang malem aku ditagih. Dituduh-tuduh pula.”
“Serahin semuanya sama aku, aku bakalan ngurus ini. Kamu gak perlu khawatir apapun, ada aku, Syel. Ada Radit, Billy, sama Daniel. Kita semua di sini buat pastiin kamu akan selalu baik-baik saja.”
Jalur hukum benar-benar ditempuh pada akhirnya. Rupanya debt collector yang datang menagih bukan debt collector biasa. Mereka memiliki perusahaan besar yang sah secara hukum dan tentunya juga memiliki pengacara. Bukan hanya Richelle saja yang disokong oleh Haikal. Tapi, penagih hutang yang ingin mendapatkan kembali uang mereka pun punya backingan di jalur hukum.
Orang tua Ronald pun tak berhenti meneror layaknya orang gila. Bahkan mereka sampai mendatangi rumah Richelle untuk menuntut uang asuransi milik mendiang Ronald. Bu Gina, wanita yang telah melahirkan Ronald itu tak sekali dua kali mengata-ngatai Richelle dengan segala umpatan dan ucapan buruk.
“Kenapa dia tak mau menemui saya? Kenapa? Ke mana dia? Dasar menantu durhaka!” Bu Gina berteriak-teriak di depan rumah. “Menantu macam apa yang ketika mertuanya datang berkunjung tapi pintu saja tidak mau dibuka.”
Bu Gina memencak, menunjuk-nunjuk penjaga yang berdiri di sisi pintu yang tertutup rapat. Beberapa hari terakhir sudah kembali ada penjaga yang ditugaskan di rumah Richelle. Walau bukan atas perintah Om Ferdinand, melainkan atas perintah Billy yang menyuruh orang-orang kepercayaannya. Sampai hari ini Om Ferdinand pun masih tak bisa dihubungi dan masih tak diketahui keberadaannya.
“Mana menantu saya itu?”
“Bu Richelle sedang tidak di rumah, Bu. Kami sudah berkali-kali menjawab pertanyaan Bu Gina.”
“Ke mana dia? Apa sekarang dia bersenang-senang dengan menggunakan uang asuransi milik anak saya? Apa dia menghabiskannya untuk kesenangan diri sendiri?” Wanita itu mendecih. “Rumah elit, tapi keuangan sulit. Sampai-sampai uang asuransi dari mendiang suaminya diembat habis-habisan. Memalukan sekali.”
Mobil yang ditumpangi Richelle dari pengadilan akhirnya tiba di depan rumah. Membuat Bu Gina dan suaminya—Pak Anto—langsung mendengkus keras. Mereka yakin bahwa yang ada di dalam mobil itu, pastilah menantunya yang durhaka.
“Mertua kamu ke sini lagi, Syel?”
“Hhh ….” Richelle hanya mendesah panjang. Perkara di pengadilan pun belum selesai, di rumah malah sudah disambut dengan masalah lain.
“Gak usah turun, biar aku yang nyuruh mereka pergi,” ujar Billy seraya turun dari mobilnya.
Untunglah pria itu mengantar Richelle pulang, kalau Richelle pulang sendiri, bisa-bisa ia dihakimi oleh mertuanya.
“Oh, kalian memanggil polisi?!” Bu Gina tersenyum culas saat ia melihat pria berseragam turun dari mobil.
Hari ini Billy memiliki rapat di kesatuan tempatnya bertugas, dan mau tak mau, meski tak suka dengan seragam kepolisian, pria itu harus tetap mengenakannya. Mungkin ada untungnya juga, sehingga tak perlu repot-repot memperkenalkan diri, ia sudah ketahuan sebagai polisi.
“Selamat sore, Bu, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin bertemu dengan menantu saya,” jawab Pak Anto lebih dulu, mendahului istrinya yang tengah berkacak pinggang. Pria itu menghampiri Billy. Tampaknya ia lebih tenang dibandingkan istrinya.
“Dia ada di mobil itu, ‘kan?” tebak Bu Gina seraya menunjuk-nunjuk mobil milik Billy. “Suruh dia keluar, jangan bersembunyi. Apa sekarang dia membayar polisi juga untuk mengawalnya ke mana-mana? Pasti dia menggunakan uang asuransi milik Ronald untuk membayar polisi-polisi sepertimu.”
“Apakah Ibu memiliki bukti atas tuduhan Ibu barusan? Jika tidak, jangan sampai hal ini malah memperkeruh suasana. Harusnya hal ini bisa dibicarakan secara kekeluargaan dan dengan tenang, Bu, Pak.”
“Bagaimana kami mau bicara kalau dia sembunyi? Dia tidak mau menemui kami. Dia pasti sibuk bersenang-senang sendiri, menikmati uang peninggalan suaminya. Malang sekali nasib anak kami.”
“Maaf, Pak, Bu, tapi dari informasi yang kami dapatkan, Bu Richelle menolak untuk bertemu karena Ibu dan Bapak bertindak kurang sopan seperti ini. Selalu berteriak-teriak, selalu memfitnah, dan berkata kasar kepadanya.”
“Siapa yang memfitnah, saya hanya menyatakan kebenaran.”
“Makanya saya bertanya, Bu. Apakah Ibu memiliki bukti? Haruskah kita berbicara lebih formal di kantor polisi atau Ibu mau sampai ke pengadilan? Sejujurnya Bu Richelle tidak ingin sampai ke sana, Bu Richelle ingin secara kekeluargaan saja. Tapi, Bapak dan Ibu harus bisa bekerja sama juga, kalau Ibu dan Bapak bertindak anarkis dan melanggar keamanan, kami akan menempuh jalur hukum.”
“Baiklah, baiklah,” ujar Pak Anto. “Bu, tenang dulu.” Pria itu memberi perintah pada istrinya, disertai gerakan tangannya yang meminta agar sang istri lebih tenang. “Kami akan bicara baik-baik, di mana menantu kami?”
“Bagaimana kalau Bapak dan Ibu beristirahat dulu, saya dengar Bapak dan Ibu sudah berada di sini sejak jam 10 pagi. Nanti malam, Bu Richelle akan menemui Bapak dan Ibu sekaligus makan malam keluarga.”
“Makan malam keluarga?” ulang Bu Gina. “Jadi, polisi atau pengacara yang selalu menghalang-halangi kami untu bertemu Richelle tidak akan ikut, bukan?”
“Demi keamanan Bu Richelle, kami akan tetap mendampingi, termasuk pengacaranya. Bukan bermaksud ikut campur mengenai permasalahan keluarga Bapak dan Ibu, tapi ini sudah menyangkut jalur hukum. Ada kontrak dan rincian hutang piutang Pak Ronald yang harus dijelaskan oleh pengacara. Begitupun rincian asuransi yang Bapak dan Ibu pertanyakan.”
Bola mata Bu Gina bergerak memutar, wanita itu tak percaya. Dalam hati ia mendumel. Pasti kalian akan menunjukkan dokumen-dokumen palsu agar Richelle bisa menikmati uang milyaran itu sepuasnya. Jangan kira aku akan percaya.
Dua orang pelayan muncul dari dalam rumah. Mereka membungkuk sopan pada kedua mertua Richelle walau dua orang itu sudah membuat onar dan keributan sejak pagi.
“Sesuai permintaan Bu Richelle, Bapak dan Ibu bisa beristirahat dulu, kami sudah menyiapkan ruangannya.”
Pak Anto dan istrinya saling pandang sebelum mereka mengikuti dua pelayan itu. Mereka tak dibawa masuk ke dalam rumah. Kawasan rumah milik Richelle memang terbagi dalam beberapa gedung perumahan lagi. Di sisi kanan dari rumah utama ada bangunan lain yang biasanya difungsinya sebagai guesthouse. Guesthouse itu biasanya dipakai oleh mendiang orang tua Richelle ketika menerima tamu-tamu bisnisnya. Bangunannya tak kalah megah dengan rumah utama.
Setelah keadaan aman, barulah Billy kembali ke dalam mobil dan menemui Richelle.
“Are you okay?”
“Bohong banget kalau aku bilang aku baik-baik aja,” balas Richelle dengan senyum dipaksakan.
“Syel, kamu pucat.” Billy menyentuh dahi Richelle. “Kamu agak panas.”
“Kayaknya aku kecapean.”
“Ya udah, ayo masuk, kamu harus istirahat dulu sebelum menemui mertuamu yang gila itu nanti malam.”
Billy sebenarnya berencana pulang setelah mengantar Richelle, namun melihat keadaan wanita itu yang tampak kurang sehat, ia mengurungkan niatnya. Ia menemani Richelle di kamarnya, tahu kalau Richelle ditinggal sendirian, wanita itu bisa saja makin down.
“Syel, mau aku panggilin Daniel?”
“Untuk?”
“Kamu butuh dokter, Syel.”
“Bil, kamu tau, kamu keren banget pakai seragam kepolisian seperti itu.” Richelle mengalihkan pembicaraan, artinya ia menolak untuk bertemu dokter.
“Gak usah mengalihkan pembicaraan deh. Kamu tuh butuh obat, butuh diperiksa.”
“Aku butuh banyak hal, Bil. Aku butuh obat, dokter, waktu buat istirahat, tempat yang tenang, tapi yang paling aku butuhin adalah Ronald.”
“Pria berengsek itu, apa yang kamu butuhin dari dia, Syel?” Nada suara Billy pelan, tapi terdengar marah. “Kenapa kamu masih membutuhkan b******n itu?”
“Entah dia mati atau dia hidup, dia harus datang dan menyelesaikan masalah ini. Aku muak menyelesaikan masalah yang dia tinggalkan. Aku muak dengan kenyataan harus melibatkan kalian semua dalam masalah ini. Kayak apa sih pentingnya kita ngurusin masalah dia, padahal kita gak ada sangkut pautnya sama hutang-hutang dia.” Napas Richelle memburu. “Bahkan pengadilan saja sudah menyahkan kalau aku gak perlu bayar hutang-hutang itu, aku memang istrinya, tapi hutang-hutang itu sudah ada jauh sebelum kami menikah. Tapi, itu bahkan gak cukup untuk membebaskan aku dari semua ini.”
Billy berakhir menganga, apa yang bisa ia katakan saat ini. Tidak ada penghiburan apapun yang tepat untuk diungkapkan agar Richelle bisa beristirahat.
“Jika saja b******n itu punya kuburan, akan kugali kuburnya dan kutarik dia keluar dari liat lahatnya dan menyuruhnya menyelesaikan semua kekacauan ini. Sialnya, kenapa dia beruntung sekali bisa mati tanpa punya jasad untuk dikuburkan.”
“Aku bakalan nelpon Haikal buat ke sini,” ucap Billy pada akhirnya. Sadar bahwa ia tak bisa menenangkan Richelle sekarang. Dan orang yang paling bisa ia andalkan, hanyalah Haikal.
“No!” Richelle mencegah. “Stop, Bil. Haikal bakalan bikin aku makin pusing, kamu tau dia selalu mengomeliku.”
“Tapi, sekarang aku merasa seperti aku yang diomeli sama kamu, Syel. Padahal aku gak punya salah apa-apa. Kalau ada Haikal, kamu yang diem, biarin aja dia yang ngomel.”
Richelle mendesah panjang sebelum ia memilih membungkam mulutnya. Benar kata Billy, pria itu tak punya salah apa-apa, tapi sialnya malah ia yang harus menampung kekesalan Richelle. Bak dijadikan tempat sampah saja.
***
Di meja makan, mereka telah berhadapan. Makanan telah disajikan. Namun, tak seorang pun menyentuh makanannya meski Richelle—sang pemilik rumah—telah menyilakan para tamunya untuk menikmati makan malam tersebut.
“Tidak usah berbasa-basi dan sok baik,” ujar Bu Gina memecah keheningan. “Kami tidak bisa menikmati makanan-makanan mewah ini. Palingan semua ini juga dibeli dari uang asuransi peninggalan Ronald. Sebagai orang tuanya, kami tidak sanggup menelan sebutir pun beras yang kamu sajikan ini.”
Richelle memalingkan wajahnya, ia menenangkan diri. Uang asuransi peninggalan Ronald? Padahal tak serupiah pun masuk ke dalam tenggorokan Richelle. Setiap suap nasi yang ia makan, semuanya masih menggunakan uangnya sendiri.
“Langsung saja, apa yang ingin kalian bicarakan sampai membawa polisi dan pengacara di makan malam yang kalian sebut sebagai makan malam keluarga?”
“Sepertinya meja makan bukanlah tempat yang tepat untuk membicaran ini, bagaimana kalau kita beralih ke sebelah sini.”
Haikal berdiri lebih dulu, ia menunjuk ke ruangan tepat di sebelah ruang makan. Ada sofa dan meja di tengahnya. Pak Anto dan Bu Gina mengikuti, begitu juga Richelle dan Billy.
Haikal langsung saja meletakkan dokumen-dokumen yang dipertanyakan oleh Bu Gina dan Pak Anto.
“Silakan Bapak dan Ibu baca, ini adalah dokumen perjanjian hutang antara Pak Ronald dengan Ellison Corp. Semua rinciannya ada di sini, mulai dari waktu awal Pak Ronald meminjam uang dari perusahaan tersebut sampai rincian bunga. Di rincian terakhir bisa Bapak dan Ibu lihat sendiri nominal p********n, tanggal, dan tanda tangan Ibu Richelle yang membayarkannya.”
“Lantas?” tanya Bu Gina dengan tak tahu malu. “Saya tidak penasaran dengan ini, tapi dengan uang asuransi anak saya.”
Haikal mendekatkan dokumen lain. “Ini, Pak, Bu. Ini adalah rincian pencairan dan asuransi Pak Ronald, lengkap dengan jumlah dan tanggalnya. Kalau dokumen ini ….” Haikal menunjukkan dokumen lain. “Ini adalah dokumen yang menunjukkan dana santunan dari maskapai penerbangan Turkish Airlines untuk Pak Ronald yang kebetulan diserahkan kepada Bu Richelle. Nominal dan tanggalnya juga ada di dokumen ini. Silakan dibandingkan dengan jumlah pembyaran yang telah dibayarkan oleh Bu Richelle ke Ellicon Corp. Jumlah dana santunan ditambah dana asuransi Pak Ronald, semuanya dibayarkan ke Ellison Corp. Dan itu juga masih belum cukup untuk membayar keseluruhannya. Jadi, tuduhan Bapak dan Ibu yang menyatakan kalau Bu Richelle bersenang-senang dengan uang milyaran dari dana asuransi Pak Ronald sama sekali tidak benar. Juga termasuk makanan yang tadi disajikan juga tak didapatkan dari uang tersebut. Serupiah pun tidak ada yang masuk ke kantong Bu Richelle.”
Bu Gina mendecak. “Dokumen-dokumen ini bisa saja kalian palsukan. Apa susahnya sekadar membuat tanda tangan seperti ini.”
Billy menggelengkan kepalanya. Betul-betul sakit jiwa orang ini.
“Maaf, Bu, tapi dokumen-dokumen ini semuanya dapat kami pertanggungjawabkan kebenaran dan kevalidannya. Dokumen-dokumen ini semuanya sudah masuk ke pengadilan. Karena saat ini kami juga sedang menempuh jalur hukum melawan Ellison Corp. yang menuntut Bu Richelle untuk membayar seluruh hutang-hutang Pak Ronald. Jadi, jika Bapak dan Ibu meragukan kebenaran dokumen ini, kami tidak keberatan untuk bertemu di meja persidangan.”
“Cih, kalian mengancam?”
“Sama sekali tidak, Bu. Kami sudah berupaya bersikap profesional kepada Bapak dan Ibu. Kami menunjukkan semua bukti-bukti yang kami miliki, tapi tampaknya respon Bapak dan Ibu kurang bersahabat. Jadi, kalau memang ada yang masih membuat Bapak dan Ibu ragu terhadap kami, silakan menempuh jalur hukum. Bapak dan Ibu juga bisa menuntut Ellison Corp. dan Turkish Airlines yang mengeluarkan dokumen-dokumen ini jika Bapak dan Ibu masih menganggap kalau ini semua palsu.”
“Kalian menantang kami? Jangan kira kami takut hanya karena kami bukan konglomerat seperti kalian. Oke, ayo kita menempuh jalur hukum. Jangan kira kami akan langsung takut kalau kalian menyebutkan soal pengadilan atau menyebutkan soal perusahaan-perusahaan besar itu,” pungkas Bu Gina dengan penuh keyakinan. “Dan kamu …,” tunjuknya pada Richelle. “Jangan kira saya akan ikhlas kamu berfoya-foya dengan uang asuransi anak saya.”
Telinga Richelle berdengung, kepalanya berdenyut cepat, sementara penglihatannya terasa menggelap. Ia bangkit dengan kaki yang agak sempoyongan. Ia mual, ia ingin sekali muntah setelah mendengar segala macam kata-kata kasar dan tuduhan Bu Gina. Ia berjalan terburu-buru, dengan tubuhnya yang tak stabil. Membuat Haikal cepat-cepat mengikuti dan memegang tangannya, berniat membantu.
“Syel, Richelle ….”
Langsung saja membuat Bu Gina geram. “Lihat! Di depan kami saja kamu pegang-pegangan dengan laki-laki lain. Suamimu bahkan belum sebulan meninggalnya, tapi sudah mesra-mesraan dengan laki-laki lain. Kamu memang perempuan tidak benar,” cercanya. “Dasar perempuan sial! Kamu yang membawa sial untuk anak kami sampai dia meninggal.”
Richelle tak tahan lagi, cercaan itu semakin membuat perutnya bergejolak. Ia muak sekali mendengar seluruh penghinaan wanita itu. Ia menutu mulutnya sendiri, mencegah kalau ia sampai muntah sebelum sempat mencapai toilet terdekat.
Sepertinya Haikal cukup peka dengan gelagat tubuh Richelle, makanya ia menuntun dengan cepat, membawa Richelle ke toilet.
Akhirnya Richelle melepaskan isi perutnya yang bergejolak itu. Napasnya agak memburu setelah ia berhasil memuntahkan cairan dari perutnya. Bukan sisa-sisa makanan, hanya cairan yang sedikit kental, sisanya mungkin segala umpatan Bu Gina ikut termuntahkan oleh Richelle dalam wujud tak kasat mata.
Haikal memantu dengan menyerahkan handuk kecil untuk Richelle mengelap mulut saat wanita itu berkumur-kumur.
“Aku bisa memenjarakan mereka,” ucap Haikal.
Richelle tak mengiyakan, pun tak menolak. Ia lebih fokus untuk membasuh wajahnya sekaligus menenangkan diri.
“Kembalilah ke kamar untuk beristirahat, aku akan mengurus mereka.”
Richelle meraih lengan Haikal saat ia mendudukkan diri di atas closet. Pria itu mengulas senyum seraya mengelus rambut Richelle beberapa saat. “Aku akan memanggil Daniel untuk memeriksamu.”
Richelle membuka mulut, hendak mencegah. Tapi, suara Haikal sudah terdengar lebih dulu.
“Kamu tau kan kamu harus menurut padaku?”
Akhirnya wanita itu mendesah pasrah sebelum ia memilih keluar dari toilet. Di depan toilet sudah ada Billy yang berdiri di sana.
“Aku mengusir mereka.” Tanpa ditanya, ia langsung memberi tahu apa yang sudah ia lakukan. “Kalau mereka muncul lagi, terutama mantan ibu mertuamu itu, artinya dia mau mati. Entah apapun itu, menelepon, mengirim pesan, apalagi jika berani datang ke sini lagi.”
“Kau mengancamnya?” tanya Haikal.
Billy menggelengkan kepala. Bukan sekadar mengancam. Lebih tepatnya ia menodongkan pistol miliknya pada wanita itu. Hanya kalimat singkat yang diucap Billy, tapi keduanya langsung pergi. Rupanya bukan penjara yang mereka takutkan, tapi kematian.
“Satu kata lagi keluar dari mulut kalian, kepala kalian akan meledak.” Tapi, ucapannya pada Pak Anto dan Ibu Gina hanya ia simpan sendiri, tak perlu ia beritahu pada Richelle. Pasti hanya akan membuatnya terbebani.
Langit, tolong kerja samanya. Aku sudah terlalu sakit dan lelah.
Tubuhku hancur diterjang badai, tubuhku hangus disambar petir.
Tolong berbaik hatilah padaku.