Prolog - Langit yang Hitam
“Syel, pesawat Captain Ronald kecelakaan.”
“Kamu yang tabah, yah.”
“Semua penumpang dan awak kabin, semuanya dinyatakan meninggal.”
“Sabar, Syel. Aku tau kamu kuat.”
“Suami kamu beneran di pesawat itu?”
Suara-suara itu bahkan masih berseliweran di kepala Richelle. Terus merongrong isi kepalanya. Memaksanya untuk ingat bahwa pria bernama Ronald—seorang pilot pesawat milik penerbangan Turkish Airlines—sudah tiada.
Ujung lilitan kain tipis berwarna hitam yang tersampir di pundaknya terjatuh—kerudung—bersamaan dengan setitik air dari ujung matanya yang menetes, tanpa ia sadari. Jatuh begitu saja. Seperti bukan atas keinginannya. Setitik air itu melonjak turun, begitu saja. Tidak permisi. Seolah sesukanya. Tidak mengindahkan bahwa sebenarnya Richelle menolak untuk menangis.
Ia tak mau menangisi kematian yang enggan ia percayai ini. Setidaknya jika orang-orang itu memberitakan tentang kematian suaminya, ia mau melihat jenazahya. Tapi, jangankan jenazah, selembar rambut dari mendiang suaminya pun tak ada untuk dipulangkan. Tak ada untuk ia lihat wujud terakhirnya. Untuk ia rengkuh di kali terakhir sebelum ia percaya bahwa pria yang menikahinya sebulan lalu benar-benar tiada.
"Mari kita semua mengirimkan bacaan surah Al-Fatihah untuk almarhum Pak Ronald, semoga beliau tenang di sisi-Nya."
Suara dari penceramah takziah itu membuat Richelle menatap nyalang. Tapi, yang ia lihat bahkan tak sempat untuk sadar bahwa sang pemilik rumah tengah marah atas ucapannya. Pria berpeci dan bersorban itu begitu khusyuk menundukkan kepala, melantunkan surah Al-Fatihah dengan teramat merdunya. Begitu pun dengan tamu-tamu lain. Semuanya menundukkan kepala, membacakan doa yang sama, untuk mendiang suami Richelle.
Hanya Richelle satu-satunya yang enggan untuk membaca doa itu. Toh, ia tak pernah percaya jika suaminya telah tiada. Doa macam apa yang harus ia kirimkan sementara seluruh hatinya, sepenuhnya memohon pria itu kembali.
Bahkan jika pria itu benar-benar mati sekalipun, ia akan berdoa agar pria itu tak tenang di alam sana. Sehingga mau tak mau, pria itu kembali ke sisi Richelle. Gila kedengarannya, memangnya bagaimana Richelle bisa bertindak waras saat ini?
Hanya ada takziah selama tiga hari, tak ada pemakaman. Toh, siapa yang harus dimakamkan jika jenazahnya tak ada. Tubuhnya sudah dipastikan hancur bersama dengan kepingan-kepingan pesawat. Tragis sekali cara takdir merenggut bahagia Richelle.
Pengantin baru, tapi sudah jadi janda.
Langit yang kubayangkan akan selalu cerah sejak kita bersama ternyata menyerang ekspektasiku.
Langitku hari ini menghitam tanpa aba-aba.
Tak terprediksi oleh ramalan cuaca mana pun.