Dua hari pertama Richelle belum melakukan tugas apapun. Selama itu ia lebih banyak mengamati kebiasaan para pegawai yang tinggal bersamanya. Ia juga mulai berkomunikasi dengan beberapa pegawai lainnya agar ia tak kesepian. Selain itu, ia tetap harus melapor bagaimana aktivitasnya pada empat pria itu (Haikal, Billy, Daniel, dan Radit).
“Bagaimana di sana, Syel?”
“Aku masih bingung, aku belum bekerja apa-apa di sini. Aku baru berkenalan dengan tetangga-tetangga kamarku.”
“Mereka memperlakukanmu dengan baik, ‘kan?” tanya Haikal melalui sambungan video call. Pria itu menghubungi Richelle di sela-sela jam istirahat makan siangnya.
“Sejauh ini baik-baik saja.”
“Kandunganmu bagaimana? Tidak ada masalah, ‘kan?”
“Baik-baik saja. Oh ya, apa yang sedang kau lakukan?”
“Aku?”
“Hmm ….”
Haikal mengangkat rice bowl pesannya ke depan layar ponselnya. Ia baru mendapatkan rice bowl tersebut dari asistennya.
“Makan siang,” jawab pria itu. “Kamu udah makan, Syel?”
“Udah. Tapi, laper lagi setelah liat makanan kamu.”
Pria itu tersenyum, “Aku akan mengirimkannya untukmu. Ada permintaan khusus?”
“Persis seperti yang kamu makan, Kal.”
“Makan siangmu akan segera diantarkan.”
Pria itu berdiri sebentar, meninggalkan kursinya menjadi kosong. Hingga yang dilihat Richelle dari sambungan video call hanyalah kursi kosong. Pemilik kursi itu sedang memerintahkan asistennya untuk memesankan makan siang untuk Richelle lalu diantarkan ke rumah Manggala.
“Tunggulah, aku sudah memesan rice bowl untukmu.”
“Terima kasih,” ujarnya sambil tersenyum. “Makanlah, aku ingin melihatmu makan.”
Haikal mulai menyendok lalu ia masukkan satu suapan penuh ke dalam mulutnya. Menikmatinya tanpa ragu-ragu, membuat Richelle menelan ludah sendiri karena tak sabar untuk makan juga.
“Enak, Kal?”
“Hmm ….” Hanya deheman yang terdengar, pria itu sibuk mengunyah sambil sesekali masih melihat dokumen-dokumen untuk keperluan persidangannya.
“Kal, sering-seringlah berbicara denganku melalui video call begini, biar aku tidak merasa kalau kalian meninggalkanku.”
Mendengar ucapan Richelle yang kedengarannya mulai merasa tak nyaman di tempat barunya, Haikal segera menelan makanannya, setelahnya ia lanjut dengan meneguk air minum.
“Memangnya siapa yang meninggalkanmu?”
“Entahlah, aku hanya merasa sendirian di sini. Di sini memang banyak orang, tapi aku belum benar-benar mengenal mereka dengan dekat. Aku sangat asing di sini. Yang membuatku bingung, seolah-olah di sini tuh gak jelas.”
“Gak jelas?” tanya Haikal dengan ekspresi serius. Sendok plastik yang tadi ia pegang itu sudah ia letakkan ke dalam rice bowl.
“Entahlah gimana bilangnya, tapi aku kan gak ngapa-ngapain di sini. Aku pikir aku bakalan bekerja, tapi gak. Aku juga belum mendapatkan jadwal penerbangan.”
“Di sana kan bukan maskapai penerbangan komersial, Syel. Makanya gak ada jadwal seperti yang kamu dapatkan dari Turkish Airlines. Kemungkinan kamu akan diberitahu hanya ketika mereka ada penerbangan. Bisa saja pemberitahuannya mendadak. Mungkin karena itulah kamu diminta stand by di sana. Agar kamu bisa langsung bekerja begitu dibutuhkan.”
“Iya juga sih,” jawab Richelle dengan ambigu. Jari-jarinya tampak menggaruk kepala. Artinya ia masih bingung.
Sebenarnya yang paling membuat ia penasaran adalah kata ‘menemani’ yang dimaksud oleh Miss Yonna sebagai tugas kedua para pekerja di sana. Ia tak mendapatkan jawaban yang memuaskan ketika ia bertanya lebih lanjut. Wanita itu hanya mengatakan jika Pak Manggala akan memilih wanita-wanita untuk menemaninya. Tapi, tidak dikatakan menemani dalam hal apa.
“Kenapa? Ada yang aneh di sana? Katakan saja padaku. Atau kamu mau dijemput?”
“Berhentilah bersikap berlebihan, Kal. Sudah kubilang aku akan melakukan ini. Aku hanya belum terbiasa saja di sini. Mungkin karena aku masih baru. Lanjutkan makan siangmu, aku akan tidur siang.”
“Apa kau marah lagi padaku?”
“Tidak,” ketus Richelle. “Aku hanya ingin istirahat.” Lalu wanita itu menutup panggilannya.
Katanya tidak marah, tapi nada bicaranya ketus. Ia agak emosi saat Haikal mengatakan akan menjemputnya. Padahal ia belum juga mulai bekerja. Harusnya pria itu menyemangatinya.
Richelle hanya memainkan ponselnya sambil rebahan di tempat tidur saat pintu kamarnya diketuk. Ketukannya pun terburu-buru. Dengan segera ia turun dari tempat tidur dan menghampiri pintu untuk segera ia buka.
“Mungkinkah ini panggilan kerja untukku?” tanyanya sebelum menarik kenop pintu.
Begitu ia buka pintu, ia temukan seorang wanita bertubuh tinggi besar berdiri di sana. Tatapan matanya tajam seolah merajang tubuh Richelle menjadi potongan-potongan kecil. Membuat wanita hamil itu bergidik ngeri.
“Benar kamu yang bernama Richelle?”
“Be-benar.”
“Apakah ini benar makanan yang kamu pesan dari luar?” Wanita itu menunjukkan dua bungkus rice bowl dalam kantong plastik yang ia tenteng.
“Benar,” jawab Richelle beserta anggukan.
“Apakah kamu tidak makan siang barusan?”
“Saya makan siang.”
“Apakah itu tidak cukup? Apakah makanan yang kami sajikan tidak cukup untuk mengenyangkanmu? Atau makanan kami tidak cukup enak untuk memenuhi seleramu? Atau kau sedang mengolok-olok kami yang sudah repot-repot menyiapkan makan siang untuk seluruh penghuni rumah ini?” Wanita itu bertanya secara beruntun. Ucapannya cepat dan dengan nada marah. Suaranya yang melengking tinggi membuat beberapa tetangga kamar Richelle sampai keluar kamar.
Richelle membuka mulutnya, ingin mengucapkan penyangkalan. Sama sekali tak ada niat buruknya akan makanan yang ia pesan itu. Tidak untuk mengolok-ngolok para tukang masak. Juga tidak karena masakan yang telah ia konsumsi kurang enak. Semuanya baik-baik saja, mulai dari porsi, rasa, bahkan gizinya pun tak ia ragukan. Hanya saja ia ingin makan lagi. Semacam keinginan yang muncul begitu saja walau ia baru saja makan siang. Mungkin pengaruh kehamilannya.
“Apa maksudmu dengan memesan makanan ini? Apa kau tidak diberitahu jika semua penghuni rumah wajib memakan makanan yang disediakan di rumah ini? Kau tidak diberitahu jika semua penghuni rumah ini dilarang memakan makanan tak jelas dari luar?”
“Maaf,” jawab Richelle sembari menunduk. Ia berucap dengan lirih.
“Apa kau tau bagaimana lelahnya para tukang masak di sini? Kami bekerja siang dan malam uuntuk memberi kalian makanan. Tapi, kau seenaknya memesan makanan dari luar. Kalau makanan kami berikan tak cukup, mintalah lagi.”
“Bu-bukan itu, sa—” Ucapan Richelle langsung terpotong karena wanita berbadan besar itu terdengar kembali bersuara.
“Bukan apanya? Tukang masak kami merasa sangat tidak dihargai. Upaya kami tidak dihargai dengan makanan-makanan seperti ini.”
“Maaf, saya minta maaf.”
“Jagalah sikapmu. Kudengar kau datang ke sini sebagai p********n atas hutang-hutangmu, kau tidak seperti yang lain di sini. Kalau yang lain datang untuk bekerja dan digaji. Sementara kau harus bekerja agar hutang-hutangmu bisa lunas. Kalau kau melanggar aturan, kau bisa dilempar pergi.”
“Ma-maaf.”
Richelle benar-benar tak sempat membela diri. Ia merasa sangat terintimidasi oleh wanita itu. Suaranya yang tegas, membuat nyali Richelle ciut. Belum lagi badannya yang besar, terlihat seolah ia akan memangsa Richelle.
Wanita itu melenggang pergi dengan langkah terburu-buru sambil membawa rice bowl kiriman Haikal untuk Richelle.
“Padahal bayiku ingin makan itu,” ujar Richelle dengan sedih seraya mengelus perutnya.
Tetangga kamar Richelle mendekati wanita hamil itu setelah tak terlihat lagi bayangan wanita berbadan besar itu di koridor.
“Kita memang dilarang memesan makanan dari luar. Itu sudah jadi aturan,” tutur wanita berambut hitam sebahu itu. Ia menepuk pundak Richelle, bermaksud menghiburnya. “Apa Miss Yonna tak memberi tahu padamu?”
“Miss Yonna mengatakannya,” jawab Richelle. “Katanya kita hanya boleh makan apa-apa yang disajikan di sini dan tidak boleh memesan makanan dari luar. Sepertinya aku lupa saat berbicara dengan temanku di telepon. Dia sedang makan, dan aku ngidam ingin memakan menu yang sama. Makanya temanku mengirimkan makanan untukku. Saking bersemangatnya, aku sampai lupa mengenai aturan makan di sini.”
“Kalau soal ngidam, mungkin kau akan mendapatkan aturan khusus. Kau bisa menemui Miss Yonna untuk mempertanyakan hal itu. Tapi, kau tak boleh terang-terangan menunjukkan makanan dari luar ketika berada di sini. Wanita yang tadi, dia adalah kepala koki di sini. Dia yang bertugas mengatur semua menu yang dimakan orang-orang di sini. Dia akan mengamuk ketika merasa usahanya tak dihargai, yah … seperti memesan makanan dari luar. Dia akan beranggapan kalau masakannya tak enak atau ada yang salah dengan hasil kerjanya.”
“Aku benar-benar tidak punya maksud seperti itu. Lain kali aku tak akan melakukannya lagi.”
“Kau mungkin harus menyiapkan diri.” Sarah mengingatkan. Wanita berambut hitam sebahu itu bernama Sarah.
“Maksudnya?”
“Setiap aturan yang dilanggar akan diurus oleh komite pendisiplinan. Di sini aturannya sangat ketat. Setiap tingkah laku kita diatur. Makanya kalau ada yang melanggar akan langsung ditangani oleh komite pendisiplinan.”
“Apa aku akan dipecat?” tanya Richelle dengan gusar. “Aku bahkan belum mulai bekerja.”
“Mungkin tak sampai dipecat, lagian kau orang baru. Apalagi kondisimu sedang hamil, wajar kalau kau mengidam. Katakan saja kondisimu sejujur-jujurnya.”
Ternyata bekerja di rumah pemilik Ellison Corp. tak seramah tampang pemiliknya. Rupanya ada banyak aturan dan aturan-aturannya dijalankan dengan sangat ketat. Seperti yang dikatakan oleh Sarah, Richelle dipanggil oleh komite pendisiplinan.
Pantas banyak sekali penghuni di rumah ini. Bahkan komite pendisiplinan juga ada. Jangan-jangan ada penjara juga di sini. Richelle berucap dalam hati saat ia beralih dari ruang makan seusai makan malam menuju ruang pendisiplinan.
Manggala yang kebetulan sedang berkeliling untuk melihat aktivitas para pegawainya tak sengaja melihat Richelle memasuki ruang pendisiplinan.
Pria itu menunjuk Richelle. “Bukankah dia orang baru itu?”
“Benar, Pak.” Miss Yonna menjawab.
Manggala menatap Miss Yonna, meminta penjelasan.
“Bu Richelle membuat kepala koki mengamuk karena memesan makanan dari luar.”
“Apakah dia tak diberi tahu mengenai aturan tentang makanan?”
“Saya memberi tahunya, Pak. Saya sendiri yang menjelaskan padanya.”
“Lantas kenapa dia melanggar?”
“Saya akan mendapatkan jawabannya langsung dari ruang pendisiplinan, Pak,” jawab Miss Yonna. “Saya akan melaporkannya setelah ini.”
“Tidak, tidak,” tolak Manggala seraya menggelengkan kepala. Pria itu justru melangkahkan kakinya menuju ruang pendisiplinan. Dibandingkan harus lewat Miss Yonna, ia memilih untuk mengetahui secara langsung.
Keberadaan Manggala di ruang pendisiplinan langsung membuat Richelle terkesiap. Separah itukah kesalahannya hingga Manggala sendiri yang harus turun tangan langsung untuk mendisiplinkannya? Bagus kalau masih didisiplinkan, kalau ia langsung dipecat? Bagaimana dengan hutang-hutangnya?
“Pak Manggala.” Richelle menyebut nama pria itu dengan ragu-ragu. Ia menunduk hormat sekaligus sebagai bentuk permintaan maafnya.
Jantung Richelle berdetak kencang saat pria itu duduk di hadapannya, seolah-olah akan mengadilinya. Ia merasa seperti disidang kembali, mirip saat ia berada di pengadilan karena perkara hutang-hutang Ronald.
Manggala menolehkan kepala kepada wanita dengan rambut terikat itu—Bu Irina—ia yang bertanggung jawab dalam komite pendisiplinan.
“Silakan dimulai.”
“Baik, Pak.”
Richelle menarik napas dalam-dalam sebelum ia tahan untuk beberapa saat dan ia embuskan perlahan. Matanya melirik, atau lebih tepatnya mencoba mencuri tatap pada wajah Manggala. Tak seperti saat pertama kali ia melihatnya, kini wajah ramahnya tak terlihat. Ekspresinya kini terlihat datar saja. Membuat Richelle semakin resah.
“Bu Richelle, kami menerima laporan jika tadi siang Bu Richelle memesan rice bowl.”
“Benar, Bu. Tapi, lebih tepatnya saya mendapatkan kiriman pesanan rice bowl dari teman saya.”
“Bisa dijelaskan bagaimana Ibu Richelle bisa sampai mendapatkan kiriman pesanan rice bowl? Apakah Ibu Richelle tidak pernah diberitahu soal aturan makanan di sini?”
“Saya diberitahu, Bu.”
“Berarti Bu Richelle sadar sepenuhnya kalau Ibu Richelle melanggar aturan kami dengan terang-terangan?”
“Saya lupa, Bu,” jawabnya. “Saya terlalu bersemangat untuk memakan rice bowl tersebut, makanya saya sampai lupa dengan aturan tentang makanan di sini?”
“Lupa? Apa mungkin Ibu Richelle memiliki gangguan kesehatan, dalam hal ini mudah lupa?”
“Tidak, bukan seperti itu. Saya akan menjelaskan kronologisnya, Bu. Tadi siang, saya berbicara dengan teman saya melalui video call. Kebetulan dia sedang menyantap makan siangnya berupa rice bowl. Kelihatannya sangat enak ….” Richelle menjeda sesaat karena ia menelan air liurnya sendiri. Bahkan membicarakannya saja membuat ia kembali mengidamkan makanan tersebut. Tapi, apalah daya kalau ternyata aturan di rumah Manggala semengerikan ini. “… makanya saya jadi mengidam. Teman saya pun menawarkannya untuk mengirim makanan ke sini. Saking bersemangatnya, saya sudah tak ingat lagi kalau ada aturan tentang pemesanan makanan dari luar. Yang saya pikirkan hanyalah ngidam saya terpenuhi dulu.”
“Baik, kami paham maksud Bu Richelle. Biarkan saya menjelaskan kembali aturan-aturan di sini, Bu. Tiap aturan tentunya kami buat dengan pertimbangan kebaikan bersama. Sekali aturan dilanggar, artinya harus ada konsekuensinya. Bukan berarti kami tidak paham dengan kondisi pribadi Bu Richelle, tapi lagi-lagi aturan ini untuk kebaikan bersama. Saat satu orang mulai dibiarkan begitu saja karena alasan-alasan tertentu, maka yang lain juga akan mulai membuat alasan untuk melanggar aturan.”
“Tapi, saya tidak akan dipecat, ‘kan?” tanya Richelle dengan resah. Ia tatap mata Bu Irina dan Manggala bergantian, wajahnya memelas.
“Belum, tapi tentu ada konsekuensinya.”
“Baiklah, selama saya tidak dipecat.”
“Sekali lagi saya sampaikan, kami bukan bermaksud tidak peduli dengan kondisi Bu Richelle yang sedang hamil dan mengidam, tapi aturan tetaplah aturan.”
“Saya paham, Bu. Saya siap mendapatkan konsekuensi sesuai aturan yang saya langgar.”
Manggala kini berdiri. Ia sudah mendapatkan informasi yang ia butuhkan. Pria itu tak berkata apapun, ia langsung saja berjalan menuju pintu.
“Oh ya, Bu, apa saya boleh bertanya?”
“Tentu, silakan,” jawab Bu Irina dengan sopan.
“Saya kan sedang hamil dan selama hamil ngidam adalah hal yang tidak terhindarkan. Saya mungkin bisa meredam keinginan pribadi, tapi keinginan bayinya susah untuk dikontrol. Apa ada kebijakan untuk saya?”
“Saya rasa Bu Irina sudah menjawab pertanya Bu Richelle.” Suara Manggala terdengar, rupanya pria itu masih belum keluar. “Aturan tetaplah aturan, tak ada perlakuan khusus untuk ibu hamil. Begitu kami membolehkan Bu Richelle melanggar aturan dengan alasan ngidam, maka pegawai-pegawai lain akan kompak membuat seribu satu macam alasan untuk melanggar juga.”
“Baik, saya paham, Pak.” Richelle menjawab dengan lemas.
“Apakah jawaban tersebut sudah cukup jelas?”
“Sangat jelas, Pak.”
Pria itu segera keluar setelah mendengar jawaban Richelle. Sementara Richelle merutuk dalam hati. Sedikit menyesal sudah mengelu-elukan keramahan pria itu dua hari yang lalu. Rupanya keramahannya hanya di awal saja. Belakangnya pahit. Tidak manusiawi sekali, padahal Richelle hamil.
“Bu Richelle,” panggil Bu Irina, menarik kesadaran Richelle agar perhatiannya kembali terpusat pada wanita itu.
“Iya.”
“Sepertinya saya harus menjelaskan kenapa kami sangat ketat mengenai makanan, itu karena kami sangat menjaga kesehatan para pegawai di sini. Tiap makanan yang disajikan oleh koki kami, semuanya dipastikan gizinya. Bahan makanannya dipilih dengan selektif, proses pengolahannya pun dilakukan dengan higienis, dan dalam proses itu semua diawasi oleh ahli gizi kami. Makanya aturan soal makanan sangat ketat. Kalau kami mulai melonggarkan aturan ini, khawatirnya para pegawai gampang memesan makanan-makanan dari luar yang tak terjamin bahan bakunya, kebersihannya, maupun dari segi gizinya. Kami tak mau jika pegawai-pegawai kami menurun kesahatannya sehingga mempengaruhi kinerjanya. Satu saja pegawai kami yang terganggu kesehatannya, akan sangat berpengaruh pada keseluruhan pekerjaan di rumah ini, karena kita semua di sini bekerja sebagai tim.”
“Ah, iya. Saya paham, Bu. Mohon maaf atas ketidakpekaan saya. Oh ya, bagaimana dengan hukuman yang harus saya terima?”
“Untuk jenis hukumannya, kami harus tetap berkonsultasi langsung dengan Pak Manggala selaku pemilik rumah ini. Jadi, Pak Manggala sendiri yang akan menentukan hukumannya. Kami akan memberikan informasi lebih lanjut setelah Pak Manggala memberikan keputusannya.”
“Ah, baiklah.”
Aku bakalan dihukum macam apa oleh orang itu? Richelle bertanya-tanya dalam hati, dengan resah.
Kupikir ada titik terang kali ini. Sepertinya aku yang terlalu cepat berharap karena wajah yang ramah itu.
Nyatanya, itu hanya topeng.
Ah, lihatlah aku … sungguh penilaianku yang terlalu dangkal.